Teknologi RAS untuk Kemajuan Perikanan Budidaya, Seperti Apa?
Perikanan budidaya dengan mengadopsi teknologi resirculating aquaculture system (RAS) terus dikembangkan Pemerintah Indonesia dalam setahun terakhir ini. Pengembangan tersebut, bertujuan untuk menggenjot produksi dan sekaligus menaikkan pendapatan para pembudidaya yang tersebar di berbagai daerah.
Salah satu provinsi yang terlibat dalam pengembangan itu, adalah DI Yogyakarta. Provinsi yang dipimpin gubernur dari keraton Nyayogyakarta Hadiningrat itu, membuat lokasi percontohan untuk teknologi RAS pada perikanan budidaya Unit Pembenihan Rakyat (UPR)di desa wisata Bokasen, Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto, sistem RAS memiliki keunggulan dibandingkan dengan sistem konvensional, yakni mampu menghasilkan produktivitas yang jauh lebih tinggi.
“Dimana padat tebar nila mampu digenjot hingga mencapai 5.000 ekor/meter kubik, sedangkan padat tebar pada sistem konvensional hanya mencapai 50 ekor/meter kubik. Artinya, dengan penerapan sistem RAS ini produktivitas bisa digenjot hingga 100 kali lipat dibanding dengan sistem konvensional,” ungkap dia pekan lalu.
Selain faktor produktivitas, Slamet mengatakan, praktik perikanan budidaya dengan sistem RAS juga sangat menghemat penggunaan air, dan dapat dilakukan pada areal yang terbatas. Disamping itu, penggunaan teknologi RAS akan memberikan jalan keluar atas tantangan perikanan budidaya seperti perubahan iklim dan kualitas lingkungan.
Manfaat tersebut kemudian diakui Ketua Kelompok Mina Ngremboko Saptono. Sejak menggunakan teknologi RAS, produktivitas benih ikan nila meningkat secara signifikan, ukuran 5-7 cm sebanyak minimal 108.000 ekor per bulan dengan padat tebar per kolam sebanyak 30.000 ekor.
“Dengan pengelolaan sistem RAS sebanyak empat kolam, kami menargetkan pendapatan minimal Rp9.180.000/bulan atau minimal Rp91,8 juta/tahun,” paparnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, penggunaan teknologi RAS untuk perikanan budidaya menjadi sangat penting saat ini. Mengingat, kebutuhan ikan juga sedang mengalami kenaikan setelah tingkat konsumsi ikan masyarakat naik dari 36 kilogram/kapita/tahun menjadi 43 kg/kapita/tahun.
“Subsektor budidaya akan terus didorong dalam mensuplai kebutuhan pangan berbasis ikan bagi masyarakat,” jelasnya.
Penggunaan teknologi seperti RAS juga akan sangat membantu perkembangan perikanan budidaya di masa sekarang dan akan datang. Terlebih, karena tantangan saat ini adalah bagaimana mengatasi persoalan perubahan iklim dan lingkungan yang sulit untuk dihindari.
Oleh itu, kata Susi, agar perubahan iklim tidak mengurangi produktivitas, maka perlu ada intervensi teknologi yang adaptif. Apalagi, perkembangan teknologi budidaya kian dinamis dan harus ditularkan secara masif ke masyarakat.
“Dukungan pembangunan UPR sistem RAS diharapkan akan mampu naikan produktivitas secara signifikan. Saya minta dukungan ini dimanfaatkan sebaik baiknya,” tandas dia.
Inovasi RAS
Slamet Soebjakto memaparkan, sebelum diadopsi di Indonesia, teknologi RAS sudah lebih dulu diterapkan di negara perikanan maju seperti Norwegia. Di sana, teknologi RAS mampu menggenjot angka produksi hingga berkali-kali lipat dari sistem sebelumnya yang sudah diterapkan.
Untuk di Indonesia, teknologi modern tersebut pertama kali dikembangkan Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Tatelu, Minahasa, Sulawesi Utara. Pengembangan tersebut, kata Slamet, merupakan penyesuaian dengan kondisi alam dan kemampuan pembiayaan setiap pembudidaya yang ada di Indonesia.
“Ini adalah teknologi modern yang ada di negara (perikanan) maju. Kita sudah bisa mengadopsinya dengan model dan perangkat prasarana yang lebih murah,” ungkap dia.
Slamet memaparkan, teknologi RAS adalah teknologi dengan menerapkan sistem budidaya ikan secara intensif dengan menggunakan infrastruktur yang memungkinkan pemanfaatan air secara terus-menerus (resirkulasi air). Dia menyebut, pemanfaatan tersebut seperti fisika filter, biologi filter, ultra violet (UV), generator oksigen yang berfungsi untuk mengontrol dan menstabilkan kondisi lingkungan ikan.
“Itu untuk mengurangi jumlah penggunaan air dan meningkatkan tingkat kehidupan ikan,” tutur dia.
Kepala BPBAT Tatelu Fernando S mengungkapkan, prinsip dasar teknologi RAS di seluruh dunia memiliki kesamaan, yaitu memanfaatkan air sebagai media pemeliharaan secara berulang-ulang dengan mengendalikan beberapa indikator kualitas air agar tetap pada kondisi prima.
Untuk teknologi tersebut, Fernando mengatakan, pihaknya sudah melakukan modifikasi sesuai kondisi yang ada. Selain itu, untuk menekan biaya menjadi lebih murah, peralatan yang gunakan juga menggunakan produk dalam negeri.
“Tujuannya sudah jelas, produk dalam negeri bisa menekan biaya dari sisi investasi,” jelas dia.
Dengan biaya sebesar Rp80 juta saja, Fernando memaparkan, pembudidaya sudah bisa membiayai pemasangan teknologi RAS yang dikembangkan. Biaya tersebut, meliputi pembelian alat-alat yang digunakan seperti O2 generator, tanki filter, venturi, blower, ultraviolet, dan material lainnya.
Dengan biaya tersebut, Fernando menuturkan, pembudidaya sudah bisa memiliki peralatan yang bisa digunakan untuk pemakaian selama enam tahun. Nilai tersebut, jauh lebih murah dibandingkan dengan sistem serupa yang didatangkan langsung dari negara lain yang bisa mencapai ratusan juta rupiah.
“Saya katakan ini RAS hasil karya anak negeri, dengan hasil yang tidak jauh beda dengan system RAS lain, namun dengan harga yang jauh lebih murah,” sebut dia.
Produksi Naik
Lebih jauh Fernando mengungkapkan, dengan menggunakan teknolog RAS, pembudidaya ikan bukan saja mampu memenuhi kebutuhan benih berkualitas, namun juga bisa meningkatkan produksinya sebanyak mungkin.
Dengan pertimbangan untuk pembudidaya lokal, Fernando menyebut, pihaknya sengaja mengembangkan teknologi RAS dengan rancangan mampu melakukan produksi minimal 1 juta ekor benih ikan nila ukuran 2-3 cm dengan masa pemeliharaan maksimal 1 bulan per siklus.
“Adapun, unit RAS yang tersedia saat ini adalah sebanyak 20 bak fiber berbentuk bulat dengan diameter masing-masing bak 100 cm,” ungkap dia.
Secara ekonomi, Fernando mengatakan, dengan biaya instalasi sistem RAS senilai lebih kurang Rp80 juta dengan biaya penyusutan mencapai Rp13,3 juta pertahun dan biaya operasional berkisar Rp1,5 juta per bulan, maka setidaknya akan diraup pendapatan kotor hingga 100 juta per tahun atau lebih dari Rp8 juta rupiah per bulan.
Tak hanya meningkatkan daya saing secara ekonomi, Fernando menambahkan, penggunaan teknologi RAS akan membantu para pembudidaya untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, serumit apapun tantangan di masa depan, itu akan bisa diatasi melalui RAS.
Dengan segala keuntungan tersebut, baik Fernando maupun Slamet Soebjakto mengharapkan teknologi RAS bisa berkembang lebih besar lagi dan digunakan oleh para pembudidaya ikan di seluruh Indonesia. Untuk saat ini, teknologi tersebut sudah diadopsi oleh Balai Perikanan KKP dan diharapkan produksi di masing-masing Balai tersebut bisa meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar