Rabu, 14 Desember 2022

 

Seperti Apa Peran Teknologi Bioflok untuk Ketahanan Pangan Nasional?

Peran ikan sebagai benteng ketahanan pangan nasional, hingga kini dinilai masih belum maksimal. Padahal, dengan potensi yang dimiliki Indonesia, ikan berpeluang menggantikan lauk pauk berbahan nabati sebagai pendukung utama ketahanan pangan. Oleh itu, Pemerintah Indonesia ditantang untuk terus melakukan inovasi untuk memanfaatkan ikan sebagai penopang ketahanan pangan utama.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto mengatakan, untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional yang semakin tinggi, maka langkah utama yang perlu dilakukan adalah melalui intensifikasi teknologi yang efektif dan efisien.
“Semua pelaku perikanan budidaya harus berkreasi mengedepankan Iptek dalam pengelolaan usaha budidaya ikan. Intinya dengan kondisi saat ini, produktivitas budidaya harus bisa dipacu dalam lahan terbatas dan dengan penggunaan sumberdaya air yang efisien,” ungkap dia di Jakarta awal pekan ini.
Menurut Slamet, dalam mewujudkan ketahanan pangan yang bersumber dari ikan, masyarakat saat ini dihadapkan pada kondisi terjadinya perubahan iklim disertai penurunan kualitas lingkungan secara global. Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan semakin sedikitnya lahan untuk kebutuhan pangan dan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan nasional.
“Kebutuhan pangan dari ikan akan meningkat tajam seiring dengan target Indonesia untuk meningkatkan konsumsi masyarakat hingga 50 kilogram per orang per kapita pada 2019. Dengan target itu, maka suplai ikan perlu setidaknya 14,6 juta ton per tahun,” ujar dia.
Salah satu upaya untuk menambah suplai ikan untuk masyarakat, kata Slamet, adalah dengan menambah produksi ikan secara nasional. Namun, untuk melakukan itu, diperlukan upaya yang sangat keras karena produksi ikan nasional berada dalam kondisi fluktuatif.
Teknologi Bioflok
Slamet Soebjakto mengungkapkan, salah satu upaya yang dilakukan KKP dalam menambah suplai ikan secara nasional, adalah dengan mengembangkan inovasi teknologi sistem bioflok dalam budidaya lele. Teknologi tersebut, kata dia, dinilai berhasil karena bisa meningkatkan produksi dalam jumlah yang banyak.
“Bioflok ini menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, apalagi saat ini produk lele sangat memasyarakat sebagai sumber gizi yang digemari,” jelas dia.

Tentang teknologi tersebut, Slamet memaparkan, saat ini popularitasnya semakin meningkat di kalangan masyarakat dan pembudidaya ikan. Kondisi itu bisa terjadi, karena teknologi tersebut dinilai mampu menggenjot produktivitas lele, penggunaan lahan yang tidak terlalu luas dan juga hemat sumber air.
Menurut Slamet, semua efek positif itu bisa didapat, karena teknologi tersebut mengadopsi bentuk rekayasa lingkungan yang mengandalkan suplai oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme, dan secara langsung dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan.
“Dengan mengunakan teknologi bioflok, produksi lele bisa mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat dari produksi biasa. Ini yang disukai para pembudidaya dan bermanfaat untuk menambah suplai ikan secara nasional,” ungkap dia.
Slamet membandingkan, untuk budidaya dengan sistem konvensional dengan padat tebar 100 ekor/m3 itu memerlukan waktu 120-130 hari untuk panen. Sedangkan untuk sistem bioflok dengan padat tebar 500-1000 ekor/m3 itu hanya membutuhkan 100-110 hari saja.
Tidak hanya itu, Slamet menyebut, teknologi bioflok membuat produksi lele di banyak daerah menjadi sangat efisien. Dia mencontohkan, dengan rata-rata padat tebar 1.000 ekor/m3, maka dalam satu kolam bulat ukuran diameter 3 m, dapat ditebar benih lele sebanyak min. 3.000 ekor.
“Dengan ukuran dan jumlah ekor yang ditanam tersebut, bioflok mampu menghasilkan lele konsumsi mencapai lebih dari 300 kilogram per siklus. Artinya jika dibanding dengan teknologi konvensional, bioflok mampu menaikan produktivitas lebih dari 3 kali lipat,” papar dia.
Dengan kelebihan itu, Slamet menyebut kalau budidaya dengan bioflok sangat menguntungkan. Hal itu karena, pendapatan dari satu kolam akan mengalami peningkatan tiga kali lipat jika dibandingkan dengan menggunakan budidaya biasa.

Syamsul Mansur, pembudidaya ikan dengan metode bioflok di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulsel. Ada sekitar 3000 ekor ikan nila yang ditebar di kolam yang hanya berukuran 2×3 meter itu setinggi 80 cm itu. Begitu padatnya sehingga tak ada ruang yang cukup bagi ikan untuk berenang bebas. Foto: Wahyu Chandra.

Kelebihan lain dari teknologi bioflok ini, kata Slamet, adalah bisa mengintegrasikan diri dengan sistem lain seperti hidroponik. Sistem tersebut,yaitu memanfaatkan air buangan limbah budidaya yang mengandung mikroba sebagai pupuk untuk tanaman sayuran.
“Tentunya ini adalah bentuk keberhasilan inovasi teknologi budidaya, dan sekaligus menjadi jawaban tepat bagiamana memenuhi kebutuhan pangan masyarakat saat ini. Inovasi teknologi harus mampu menjawab tantangan dan masalah, serta mampu memanfaatkan peluang yang ada,” tambah dia.
Manfaat positif yang dihasilkan dari teknologi tersebut, menurut Slamet, membuktikan kalau bioflok adalah teknologi yang ramah lingkungan. Fakta tersebut juga menjadi catatan positif karena teknologi budidaya perikanan kini mengarah pada konsep keberlanjutan.
Ketua I Assosiasi Pengusaha Catfish Indonesia Iimsa Hemawan menyampaikan budidaya lele bioflok merupakan usaha yang mengandalkan teknologi, sehingga faktor kedisiplinan dalam penerapan prosedur operasi standar (SOP) menjadi sangat penting.
“Pendampingan teknologi harus dilakukan secara intens, dengan metode yang memungkinkan masyarakat memahami dan mengadopsi secara mudah,” jelas dia.
Dengan penggunaan teknologi, Slamet berharap, target produksi ikan lele secara nasional yang diproyeksikan sebesar 1,39 juta ton pada 2017 bisa tercapai. Saat ini, realisasi hingga triwulan 1, produksi nasional lele sudah mencapai 225 ribu ton
Syamsul Mansur, pembudidaya ikan di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulsel, mulai mencoba budidaya ikan lele metode bioflok ini di pekarangan rumah. Kelebihannya karena tidak meninggalkan bau seperti halnya budidaya lele secara konvensional. Foto: Wahyu Chandra.

Bioflok untuk Pesantren
Untuk memasyarakatkan teknologi bioflok, Pemerintah Indonesia menjadikan pesantren di berbagai daerah sebagai lokasi pengembangan untuk budidaya perikanan tersebut. Dengan cara tersebut, ke depan diharapkan produksi ikan, khususnya lele bisa meningkat secara nasional dan akan membantu suplai bahan pangan ikan nasional.
“Kita punya tanggung jawab moral untuk membangun pesantren, bukan hanya secara ekonomi saja, namun juga bagaimana turut serta dalam meningkatkan kualitas SDM yang ada. Dengan mulai memperkenalkan ikan sebagai sumber pangan bagi mereka, kita ingin generasi muda di lingkungan pondok pesantren lebih cerdas dengan mulai membiasakan mengkonsumsi ikan,” ungkap dia.
Untuk melaksanakan pengenalan teknologi tersebut, Slamet menuturkan, KKP pada tahun ini menyalurkan bantuan untuk 7 pesantren, 12 kelompok pembudidaya dan 2 lembaga pendidikan. Kesemuanya itu ada di 16 provinsi yang mencakup wilayah perbatasan RI seperti Belu (Nusa Tenggara Timur), Sarmi dan Wamena (Papua), Nunukan (Kalimantan Utara).
Khusus untuk pesantren, Slamet memperkirakan akan ada 78.500 santri yang ikut serta dalam program pengembangan budidaya berbasis bioflok tersebut. Program tersebut nantinya akan menghasilkan pergerakan ekonomi di pondok pesantren dan yayasan.
Dukungan ini diharapkan akan mampu menghasilkan produksi ikan lele konsumsi sebanyak 370,8 ton per siklus atau 1.452 ton, dengan nilai ekonomi produksi sebesar Rp21,78 miliar per tahun. Untuk hasil produksi tersebut, diperkirakan tenaga kerja yang dapat terlibat mencapai 1.030 orang.
“Kedua, meningkatnya konsumsi ikan per kapita di kalangan masyarakat pondok pesantren,” kata dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PADA UNIT USAHA BUDIDAYA CBIB - Cara Budidaya ...