2. Parameter Kimia
Sumber : https://blog.ub.ac.id/yusriadiblog/2013/11/04/parameter-kualitas-air/
2.1. Besi
Besi atau Ferrum (Fe) merupakan metal berwarna putih keperakan, liat, dan dapat dibentuk. Pada umumnya, besi di dalam air dapat bersifat :
- Terlarut sebagai Fe2+ (fero) atau Fe3+ (feri)
- Tersuspensi sebagai butir koloidal (diameter < 1 µm) atau lebih besar, seperti Fe2O3, FeO, FeOOH, Fe(OH)3, dan sebagainya
- Tergabung dengan zat organis atau zat padat inorganis (seperti tanah liat)
Besi di alam dapat ditemui dalam bentuk pyrite (FeS2), hematite (Fe2O3), magnetite (Fe3O4), limonite [FeO(OH)], goethite (HFeO2), dan ochre [Fe(OH)3] (Cole, 1988 dan Moore, 1991). Senyawa besi pada umumnya sukar larut dan cukup banyak terdapat di dalam tanah. Kadang-kadang besi juga terdapat sebagai senyawa siderite (FeCO3) yang bersifat mudah larut dalam air (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).
Pada perairan alami dengan pH sekitar 7 dan kadar oksigen terlarut yang cukup, ion ferro yang bersifat mudah larut, dioksidasi menjadi ion ferri. Pada oksidasi ini terjadi pelepasan elektron. Sebaliknya, pada reduksi ferri menjadi ferro, terjadi penangkapan elektron. Proses oksidasi dan reduksi besi tidak melibatkan oksigen dan hidrogen (Eckenfelder, 1989; Mackereth et al., 1989 dalam Effendi, 2003). Reaksi oksidasi ion ferro menjadi ion ferri ditunjukkan dalam persamaan (2.2).
Fe2+ → Fe3+ + e– |
(2.2) |
Proses oksidasi dan reduksi besi melibatkan bakteri sebagai mediator. Bakteri kemosintesis Thiobacillus dan Ferrobacillus memiliki sistem enzim yang dapat mentransfer elektron dari ion ferro ke oksigen, menghasilkan ion ferri, air, dan energi bebas untuk sintesis bahan organik dari karbondioksida. Bakteri kemosintesis bekerja optimum pada pH rendah (sekitar 5). Metabolisme bakteri Desulfovibrio menghasilkan H2SO4 yang dapat melarutkan besi (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).
Pada pH sekitar 7,5 – 7,7 ion ferri mengalami oksidasi dan berikatan dengan hidroksida membentuk Fe(OH)3 yang bersifat tidak larut dan mengendap (presipitasi) di dasar perairan, membentuk warna kemerahan pada substrat dasar. Oleh karena itu, besi hanya ditemukan pada perairan yang berada dalam kondisi anaerob (anoksik) dan suasana asam (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).
Pada perairan alami, besi berikatan dengan anion membentuk senyawa FeCl2, Fe(HCO3), dan FeSO4. Pada perairan yang diperuntukkan bagi keperluan domestik, pengendapan ion ferri dapat mengakibatkan warna kemerahan pada porselin, bak mandi, pipa air, dan pakaian. Kelarutan besi meningkat dengan menurunnya pH.
Pada air permukaan jarang ditemui kadar Fe yang lebih besar dari 1 mg/l, tetapi dalam air tanah, kadar Fe dapat jauh lebih tinggi. Pada air yang tidak mengandung oksigen, seperti air tanah, besi berada sebagai Fe2+ yang cukup padat terlarut, sedangkan pada air sungai yang mengalir dan terjadi aerasi, Fe2+ teroksidasi menjadi Fe3+ yang sulit larut pada pH 6 sampai 8 (kelarutan hanya di bawah beberapa µg/l), bahkan dapat menjadi ferihidroksida Fe(OH)3 atau salah satu jenis oksida yang merupakan zat padat dan bisa mengendap. Dalam air sungai, besi berada sebagai Fe2+, Fe3+ terlarut, dan Fe3+ dalam bentuk senyawa organis berupa koloidal. Besi merupakan sumber makanan utama bagi bakteri besi (crentothrix, leptothrix, dan gallionella) yang dapat menimbulkan bau, bentuknya kotor, dan memiliki rasa yang aneh.
Besi termasuk unsur yang penting bagi makhluk hidup. Pada tumbuhan, besi berperan sebagai penyusun sitokrom dan klorofil. Kadar besi yang berlebihan dapat menimbulkan warna merah, menimbulkan karat pada peralatan logam, serta dapat memudarkan bahan celupan (dyes) dan tekstil. Pada tumbuhan, besi berperan dalam sistem enzim dan transfer elektron pada proses fotosintesis. Besi banyak digunakan dalam kegiatan pertambangan, industri kimia, bahan celupan, tekstil, penyulingan, minyak, dan sebagainya (Eckenfelder, 1989 dalam Effendi, 2003). Pada air minum, Fe dapat menimbulkan rasa, warna (kuning), pengendapan pada dinding pipa, pertumbuhan bakteri besi, dan kekeruhan.
Besi dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan haemoglobin. Banyaknya Fe di dalam tubuh dikendalikan pada fase absorbsi. Tubuh manusia tidak dapat mengekskresikan Fe. Oleh karena itu, manusia yang sering mendapat transfusi darah, warna kulitnya menjadi hitam karena akumulasi Fe. Sekalipun Fe diperlukan oleh tubuh, dalam dosis besar dapat merusak dinding usus dan dapat menyebabkan kematian. Debu Fe juga dapat diakumulasi di dalam alveoli dan menyebabkan berkurangnya fungsi paru-paru.
Metode fenantroline dapat digunakan untuk mengukur kandungan besi di dalam air, kecuali terdapat fosfat atau logam berat yang mengganggu. Metode ini dilakukan berdasarkan kemampuan 1,10-phenantroline untuk membentuk ion kompleks setelah berikatan dengan Fe2+. Warna yang dihasilkan sesuai dengan hukum Beer dan dapat diukur secara visual menggunakan spektrofotometer.
2.2. Fluorida (F)
Fluor (F) merupakan salah satu unsur yang melimpah pada kerak bumi. Fluor adalah halogen yang sangat reaktif sehingga selalu terdapat dalam bentuk senyawa. Unsur ini ditemukan dalam bentuk ion fluorida (F–). Fluor yang berikatan dengan kation monovalen, misalnya NaF, AgF, dan KF bersifat mudah larut; sedangkan fluor yang berikatan dengan kation divalen, misalnya CaF2 dan PbF2 bersifat tidak larut dalam air.
Sumber fluorida di alam adalah fluorspar (CaF2), cryolite (Na3AlF6), dan fluorapatite. Keberadaan fluorida juga dapat berasal dari pembakaran batu bara. Fluorida banyak digunakan dalam industri besi baja, gelas, pelapisan logam, aluminium, dan pestisida (Eckenfelder, 1989).
Sejumlah kecil fluorida menguntungkan bagi pencegahan kerusakan gigi, akan tetapi konsentrasi yang melebihi kisaran 1,7 mg/liter dapat mengakibatkan pewarnaan pada enamel gigi, yang dikenal dengan istilah mottling (Sawyer dan McCarty, 1978). Kadar yang berlebihan juga dapat berimplikasi terhadap kerusakan pada tulang.
Fluorida anorganik bersifat lebih toksik dan lebih iritan daripada yang organik. Keracunan kronis menyebabkan orang menjadi kurus, pertumbuhan tubuh terganggu, terjadi fluorisasi gigi serta kerangka, dan gangguan pencernaan yang disertai dengan dehidrasi. Pada kasus keracunan berat akan terjadi cacat tulang, kelumpuhan, dan kematian.
2.3. Kesadahan
Kesadahan (hardness) disebabkan adanya kandungan ion-ion logam bervalensi banyak (terutama ion-ion bervalensi dua, seperti Ca, Mg, Fe, Mn, Sr). Kation‑kation logam ini dapat bereaksi dengan sabun membentuk endapan maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan/karat pada peralatan logam. Kation-kation utama penyebab kesadahan di dalam air antara lain Ca2+, Mg2+, Sr2+, Fe2+, dan Mn2+. Anion-anion utama penyebab kesadahan di dalam air antara lain HCO3 –, SO42-, Cl–, NO3 –, dan SiO32-. Air sadah merupakan air yang dibutuhkan oleh sabun untuk membusakan dalam jumlah tertentu dan juga dapat menimbulkan kerak pada pipa air panas, pemanas, ketel uap, dan alat-alat lain yang menyebabkan temperatur air naik.
Kesadahan air berkaitan erat dengan kemampuan air membentuk busa. Semakin besar kesadahan air, semakin sulit bagi sabun untuk membentuk busa karena terjadi presipitasi. Busa tidak akan terbentuk sebelum semua kation pembentuk kesadahan mengendap. Pada kondisi ini, air mengalami pelunakan atau penurunan kesadahan yang disebabkan oleh sabun. Endapan yang terbentuk dapat menyebabkan pewarnaan pada bahan yang dicuci. Pada perairan sadah (hard), kandungan kalsium, magnesium, karbonat, dan sulfat biasanya tinggi (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003). Jika dipanaskan, perairan sadah akan membentuk deposit (kerak). Pada Tabel 2.5 diperlihatkan klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan.
Tabel 2.5 Klasifikasi Perairan Berdasarkan Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/l CaCO3) |
Klasifikasi Perairan |
< 50 |
Lunak (soft) |
50 – 150 |
Menengah (moderately hard) |
150 – 300 |
Sadah (hard) |
> 300 |
Sangat sadah (very hard) |
Sumber : Peavy et al, 1985 dalam Effendi, 2003
Nilai kesadahan air diperlukan dalam penilaian kelayakan perairan untuk
kepentingan industri dan domestik. Tebbut (1992) dalam Effendi (2003)
mengemukakan bahwa nilai kesadahan tidak memiliki pengaruh langsung
terhadap kesehatan manusia. Nilai kesadahan juga digunakan sebagai dasar
bagi pemilihan metode yang diterapkan dalam proses pelunakan air.
Dampak dari air sadah sebagai berikut :
Sabun sulit berbusa
Sabun terbuat dari garam natrium dan potasium dari asam lemah. Jika terdapat ion kalsium dan magnesium, akan terbentuk Ca palmitat atau Mg palmitat dalam bentuk endapan sehingga sabun tidak berbusa.
Pembentukan kerak pada boiler
Dalam air terdapat bikarbonat (HCO3–). Dalam temperatur normal bentuk tersebut stabil, namun dalam temperatur tinggi akan menghasilkan kerak. Apabila terdapat Mg2+, maka CO2 akan terlepas dan pH air akan naik. Kerak yang timbul dapat mempersempit volume boiler dan meningkatkan tekanan pada boiler sehingga memungkinkan boiler meledak.
Kerak pada pipa penyaluran air
Pada pipa distribusi air, kerak dapat mengakibatkan pemampatan dan mempengaruhi aliran air karena kerak yang muncul akan menaikkan faktor kekasaran (c) dan mengakibatkan debit turun.
Air permukaan memiliki nilai kesadahan yang lebih kecil daripada air tanah. Perairan dengan nilai kesadahan kurang dari 120 mg/l CaCO3 dan lebih dari 500 mg/l CaCO3 kurang baik bagi peruntukkan domestik, pertanian, dan industri. Namun, air sadah lebih disukai oleh organisme daripada air lunak.
Kesadahan pada awalnya ditentukan dengan titrasi menggunakan sabun standar yang dapat bereaksi dengan ion penyusun kesadahan. Dalam perkembangannya, kesadahan ditentukan dengan titrasi menggunakan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid) atau senyawa lain yang dapat bereaksi dengan kalsium dan magnesium. Kation-kation yang biasa mengakibatkan kesadahan pada air diperlihatkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Kation-kation Penyusun Kesadahan dan Anion-anion Pasangan/Asosiasinya
Kation |
Anion |
Ca2+ |
HCO3 – |
Mg2+ |
SO42- |
Sr2+ |
Cl– |
Fe2+ |
NO3– |
Mn2+ |
SiO32- |
Sumber : Sawyer dan McCarty, 1978
Kesadahan diklasifikasikan berdasarkan dua cara, yaitu berdasarkan ion logam (metal) dan berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam. Berdasarkan ion logam (metal), kesadahan dibedakan menjadi kesadahan kalsium dan kesadahan magnesium. Berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan karbonat dan kesadahan non-karbonat.
Kesadahan Kalsium dan Magnesium
Kalsium dan magnesium merupakan penyebab utama kesadahan air karena kandungannya dalam air lebih besar dibandingkan ion logam bervalensi dua lainnya. Kesadahan kalsium dan magnesium digunakan untuk menentukan jumlah kapur dan soda abu yang dibutuhkan dalam proses pelunakan air (lime-soda ash softening). Jika kesadahan kalsium sudah ditentukan, maka kesadahan magnesium
dapat dicari dengan pengurangan kesadahan kalsium dengan kesadahan total sesuai persamaan (2.3).
Kesadahan Total – Kesadahan Kalsium = Kesadahan Magnesium (2.3)
Pada penentuan nilai kesadahan, keberadaan besi dan mangan dianggap sebagai pengganggu karena dapat bereaksi dengan pereaksi yang digunakan. Untuk mendapatkan kadar ion kalsium dan ion magnesium dari nilai kesadahan, digunakan persamaan (2.4) dan (2.5) (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).
Kadar Ca2+ (mg/liter) = 0,4 x kesadahan kalsium |
(2.4) |
Kadar Mg2+ (mg/liter) = 0,243 x kesadahan magnesium |
(2.5) |
Kesadahan Karbonat dan Non-Karbonat
Pada kesadahan karbonat, kalsium dan magnesium berasosiasi dengan ion CO32- dan HCO3–. Pada kesadahan non-karbonat, kalsium dan magnesium berasosiasi dengan ion SO42-, Cl–, dan NO3–. Kesadahan karbonat disebut kesadahan sementara karena sangat sensitif terhadap panas dan mengendap dengan mudah pada suhu tinggi. Kesadahan non-karbonat disebut kesadahan permanen karena kalsium dan magnesium yang berikatan dengan sulfat dan klorida tidak mengendap dan nilai kesadahan tidak berubah meskipun pada suhu tinggi.
Kesadahan karbonat dan kesadahan non-karbonat dapat diketahui menggunakan persamaan (2.6 – 2.8) (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
Apabila Alkalinitas Total < Kesadahan Total Maka Kesadahan Karbonat = Alkalinitas Total |
(2.6) |
Apabila Alkalinitas Total ≥ Kesadahan Total Maka Kesadahan Karbonat = Kesadahan Total |
(2.7) |
Kesadahan Non-karbonat = Kesadahan Total – Kesadahan Karbonat |
(2.8) |
Metode Titrasi EDTA merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur kesadahan di dalam air menggunakan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) atau garam natriumnya sebagai titran. EDTA membentuk ion kompleks yang sangat stabil dengan Ca2+ dan Mg2+, juga ion-ion logam bervalensi dua lainnya.
Indikator Eriochrome Black T (EBT) merupakan indikator yang sangat baik untuk menunjukkan bahwa ion penyebab kesadahan sudah terkompleksasi. Indikator EBT yang berwarna biru ditambahkan pada air sadah (pH 10), membentuk ion kompleks dengan Ca2+ dan Mg2+ yang berwarna merah anggur. Pada saat titrasi dengan EDTA, ion-ion kesadahan bebas dikompleksasi. EDTA mengganggu ion kompleks (M.EBT) karena mampu membentuk ion kompleks yang lebih stabil dengan ion-ion kesadahan. Hal ini membebaskan indikator EBT, dimana warna wine red berubah menjadi biru, menunjukkan titik akhir titrasi.
2.4. Klorida (Cl)
Sekitar 3/4 dari klorin (Cl2) yang terdapat di bumi berada dalam bentuk larutan. Unsur klor dalam air terdapat dalam bentuk ion klorida (Cl–). Ion klorida adalah salah satu anion anorganik utama yang ditemukan pada perairan alami dalam jumlah yang lebih banyak daripada anion halogen lainnya. Klorida biasanya terdapat dalam bentuk senyawa natrium klorida (NaCl), kalium klorida (KCl), dan kalsium klorida (CaCl2). Selain dalam bentuk larutan, klorida dalam bentuk padatan ditemukan pada batuan mineral sodalite [Na8(AlSiO4)6]. Pelapukan batuan dan tanah melepaskan klorida ke perairan. Sebagian besar klorida bersifat mudah larut.
Klorida terdapat di alam dengan konsentrasi yang beragam. Kadar klorida umumnya meningkat seiring dengan meningkatnya kadar mineral. Kadar klorida yang tinggi, yang diikuti oleh kadar kalsium dan magnesium yang juga tinggi, dapat meningkatkan sifat korosivitas air. Hal ini mengakibatkan terjadinya perkaratan peralatan logam. Kadar klorida > 250 mg/l dapat memberikan rasa asin pada air karena nilai tersebut merupakan batas klorida untuk suplai air, yaitu sebesar 250 mg/l (Rump dan Krist, 1992 dalam Effendi, 2003). Perairan yang diperuntukkan bagi keperulan domestik, termasuk air minum, pertanian, dan industri, sebaiknya memiliki kadar klorida lebih kecil dari 100 mg/liter (Sawyer dan McCarty, 1978). Keberadaan klorida di dalam air menunjukkan bahwa air tersebut telah mengalami pencemaran atau mendapatkan rembesan dari air laut.
Klorida tidak bersifat toksik bagi makhluk hidup, bahkan berperan dalam pengaturan tekanan osmotik sel. Klorida tidak memiliki efek fisiologis yang merugikan, tetapi seperti amonia dan nitrat, kenaikan akan terjadi secara tiba-tiba di atas baku mutu sehingga dapat menyebabkan polusi. Toleransi klorida untuk manusia bervariasi berdasarkan iklim, penggunaannya, dan klorida yang hilang melalui respirasi. Klorida dapat menimbulkan gangguan pada jantung/ginjal.
Di Indonesia, khlor digunakan sebagai desinfektan dalam penyediaan air minum untuk menghilangkan mikroorganisme yang tidak dibutuhkan. Beberapa alasan yang menyebabkan klorin sering digunakan sebagai desinfektan adalah sebagai berikut (Tebbut, 1992 dalam Effendi, 2003) :
- Dapat dikemas dalam bentuk gas, larutan, dan bubuk (powder).
- Harga relatif murah.
- Memiliki daya larut yang tinggi serta dapat larut pada kadar yang tinggi.
- Residu klorin dalam bentuk larutan tidak berbahaya bagi manusia, jika terdapat dalam kadar yang tidak berlebihan.
- Bersifat sangat toksik bagi mikroorganisme, dengan cara menghambat aktivitas metabolisme mikroorganisme tersebut.
Proses penambahan klor dikenal dengan klorinasi. Klorin yang digunakan sebagai desinfektan adalah gas klor yang berupa molekul klor (Cl2) atau kalsium hipoklorit [Ca(OCl)2]. Penambahan klor secara kurang tepat akan menimbulkan bau dan rasa pada air. Pada kadar klor kurang dari 1.000 mg/liter, semua klor berada dalam bentuk ion klorida (Cl–) dan hipoklorit (HOCl), atau terdisosiasi menjadi H+ dan OCl–.
Selain bereaksi dengan air, klorin juga bereaksi dengan senyawa nitrogen membentuk mono-amines, di-amines, tri-amines, N-kloramines, N-kloramides, dan senyawa nitrogen berklor lainnya. Monokloramines (NH2Cl) adalah bentuk senyawa klor dan nitrogen yang utama di perairan. Senyawa ini bersifat stabil dan biasanya ditemukan beberapa hari setelah penambahan klorin. Klor yang berikatan dengan senyawa kimia lain dikenal sebagai klorin terikat, sedangkan klorin bebas adalah ion klorida dan ion hipoklorit yang tidak berikatan dengan senyawa lainnya.
Penentuan jumlah klorin di perairan diperlukan dalam proses pengolahan air baku untuk keperluan domestik dan pengolahan limbah cair yang menggunakan klorin sebagai desinfektan, untuk mengetahui kadar klorin yang tersisa di perairan.
Metode Mohr (Argentometric) dapat digunakan untuk pemeriksaan klorida menggunakan larutan perak nitrat (0,0141 N) untuk mentitrasi sehingga dapat bereaksi dengan larutan N/71 dimana setiap mm ekivalen dengan 0,5 mg ion klorida. Pada titrasi, ion klorida dipresipitasi sebagai klorida putih perak berdasarkan persamaan reaksi (2.9).
Ag+ + Cl– ↔ AgCl (Ksp = 3 x 10-10) |
(2.9) |
Titik akhir dengan indikator potassium chromate dapat menunjukkan kehadiran Ag+. Ketika ion klorida mencapai 0, konsentrasi ion perak akan meningkat dimana kelarutan produk kromat perak meningkat dan terbentuk warna merah coklat sesuai dengan persamaan reaksi (2.10).
2 Ag+ + CrO42- ↔ Ag2CrO4 (Ksp = 5 x 10-12) |
(2.10) |
Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang akurat antara lain :
- Digunakan contoh air yang seragam, dianjurkan 100 ml, sehingga konsentrasi ion pada titik akhir titrasi konstan.
- pH berada dalam rentang 7 atau 8 karena Ag+ dipresipitasi sebagai AgOH pada pH tinggi dan CrO42- akan berubah menjadi Cr2O72- pada pH rendah.
- Jumlah indikator harus diperhatikan untuk mengukur konsentrasi Cr2O42- atau Ag2CrO4 yang terbentuk sangat cepat atau sangat lama.
2.5. Mangan
Mangan (Mn), metal kelabu-kemerahan, merupakan kation logam yang memiliki karakteristik kimia serupa dengan besi. Mangan berada dalam bentuk manganous (Mn2+) dan manganik (Mn4+). Di dalam tanah, Mn4+ berada dalam bentuk senyawa mangan dioksida yang sangat tak terlarut di dalam air dan mengandung karbondioksida. Pada kondisi reduksi (anaerob) akibat dekomposisi bahan organik dengan kadar yang tinggi, Mn4+ pada senyawa mangan dioksida mengalami reduksi menjadi Mn2+ yang bersifat larut. Mn2+ berikatan dengan nitrat, sulfat, dan klorida serta larut dalam air. Mangan dan besi valensi dua hanya terdapat pada perairan yang memiliki kondisi anaerob (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003). Jika perairan mendapat cukup aerasi, Mn2+ mengalami reoksidasi membentuk Mn4+ yang selanjutnya mengalami presipitasi dan mengendap di dasar perairan (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).
Mangan biasanya muncul dalam air sumur sebagai Mn(HCO3)2, MnCl2, atau MnSO4. Mangan juga dapat ditemukan di dasar reservoir dimana terjadi kondisi anaerob akibat terjadinya proses dekomposisi. Kenaikan pH menjadi 9 – 10 dapat menyebabkan Mg berpresipitasi dalam bentuk yang tidak terlarut.
Kadar mangan pada kerak bumi sekitar 950 mg/kg. Sumber alami mangan adalah pyrolusite (MnO2), rhodocrosite (MnCO3), manganite (Mn2O3.H2O), hausmannite (Mn3O4), biotite mica [K(Mg,Fe)3(AlSi3O10)(OH)2], dan amphibole [(Mg,Fe)7Si8O22(OH)2] (McNeely et al., 1979; Moore, 1991 dalam Effendi 2003).
Kadar mangan pada perairan alami sekitar 0,2 mg/liter atau kurang. Kadar yang lebih besar dapat terjadi pada air tanah dalam dan pada danau yang dalam. Perairan yang diperuntukkan bagi irigasi pertanian untuk tanah yang bersifat asam sebaiknya memiliki kadar mangan sekitar 0,2 mg/liter, sedangkan untuk tanah yang bersifat netral dan alkalis sekitar 10 mg/liter.
Mangan merupakan nutrien renik yang esensial bagi tumbuhan dan hewan. Logam ini berperan dalam pertumbuhan dan merupakan salah satu komponen penting pada sistem enzim. Defisiensi mangan dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat serta terganggunya sistem saraf dan proses reproduksi. Pada tumbuhan, mangan merupakan unsur esensial dalam proses metabolisme.
Meskipun tidak bersifat toksik, mangan dapat mengendalikan kadar unsur toksik di perairan, misalnya logam berat. Jika dibiarkan di udara terbuka dan mendapat cukup oksigen, air dengan kadar mangan (Mn2+) tinggi (lebih dari 0,01 mg/liter) akan membentuk koloid karena terjadinya proses oksidasi Mn2+ menjadi Mn4+. Koloid ini mengalami presipitasi membentuk warna cokelat gelap sehingga air menjadi keruh.
Mangan merupakan ion logam yang dapat menimbulkan masalah dalam sistem penyediaan air minum, masalah utama timbul pada air tanah dan kesulitannya adalah ketika sumber air mengandung mangan pada musim-musim tertentu. Hal ini disebabkan adanya reaksi-reaksi kimia yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Masuknya mangan ke dalam sistem penyediaan air minum akibat adanya perubahan kondisi lingkungan sebagai hasil reaksi biologi secara garis besar dituliskan sebagai berikut :
- Air tanah yang mengandung sejumlah mangan selalu kekurangan oksigen terlarut dan mengandung karbondioksida dalam jumlah yang tinggi. Mangan hadir dalam bentuk Mn2+. Tingginya kandungan karbondioksida menunjukkan adanya oksidasi materi organik oleh bakteri yang ekstensif, sedangkan tidak adanya oksigen terlarut menunjukkan berkembangnya kondisi anaerob.
- Masalah mangan di sumber air permukaan berkolerasi dengan stratifikasi reservoar, tetapi hanya terjadi jika kondisi anaerob terjadi di lapisan hipolimnion. Mangan terlarut yang dilepaskan dari lumpur di dasar reservoar akan terkandung di dalam air lapisan hipolimnion sampai terjadi arus balik. Pada waktu ini, mangan didistribusikan di dalam reservoar dan menyebabkan masalah dalam suplai air sampai tercapainya waktu yang cukup untuk terjadinya reaksi oksidsi dan sedimentasi pada kondisi alami.
- Keberadaan buangan organik di sekitar sumber air menghasilkan kondisi anaerob pada tanah dan menyebabkan kualitas air menjadi buruk akibat banyaknya mangan terlarut.
- Dengan dasar petimbangan termodinamika, hanya Mn(IV) yang terdapat dalam tingkat oksidasi stabil untuk mangan di dalam air yang mengandung oksigen. Jadi, bentuk-bentuk ini hanya dapat direduksi menjadi Mn(II) yang terlarut pada kondisi reduksi yang sangat anaerob.
- Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa bakteri yang mampu menggunakan Mn+4 sebagai akseptor elektron untuk metabolisme energi dalam kondisi anaerob dan mereduksinya menjadi Mn2+.
- Aliran air tanah dari lapisan hypolimnion ke permukaan akan membawa mangan dan menimbulkan masalah air minum sampai terjadi proses oksidasi dan sedimentasi secara alami.
Konsentrasi mangan dalam suatu contoh air biasanya mencapai beberapa miligram per liter, oleh karena itu digunakan metode kolorimetri. Metode ini dilakukan berdasarkan oksidasi mangan dari kondisi rendah ke Mn(VII) yang membentuk ion permanganat berwarna tinggi. Warna yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi mangan dan dapat diukur secara visual atau fotometrik.
Metode persulfat sesuai untuk penyelidikan mangan secara berkala karena pre‑treatment contoh air tidak diperlukan untuk mencegah interferensi klorida. Ammonium persulfat biasa digunakan sebagai agen pengoksidasi. Interferensi klorida dapat dicegah dengan penambahan Hg2+ untuk membentuk kompleks HgCl2 karena konstanta stabilitas HgCl2 sebesar 1,7×1013 dan konsentrasi ion klorida menurun sampai level bawah sehingga tidak dapat mereduksi ion permanganat sesuai reaksi (2.11). Ag+ berfungsi sebagai katalis untuk mengoksidasi mangan dengan valensi yang lebih rendah.
2 Mn2+ + 5 S2O82- + 8 H2O → 2 MnO4 – + 10 SO42- + 16 H+ |
(2.11) |
2.6. Natrium
Natrium (Na) adalah salah satu unsur alkali utama yang ditemukan di perairan dan merupakan kation penting yang mempengaruhi kesetimbangan keseluruhan kation di perairan. Natrium elemental sangat reaktif, sehingga bila berada di dalam air akan terdapat sebagai suatu senyawa. Hampir semua senyawa natrium mudah larut dalam air dan bersifat sangat reaktif.
Sumber utama natrium di perairan adalah albite (NaAlSi3O8), nepheline (NaAlSiO4), halite (NaCl), dan mirabilite (Na2SO4.10H2O). Garam-garam natrium digunakan dalam industri sehingga limbah industri dan limbah domestik merupakan sumber natrium antropogenik. Hampir semua perairan alami mengandung natrium dengan kadar antara 1 mg/liter hingga ribuan mg/liter. Pengukuran kadar natrium perlu dilakukan jika perairan diperuntukkan bagi air minum dan kepentingan irigasi pertanian.
Natrium bagi tubuh tidak merupakan benda asing, tetapi toksisitasnya tergantung pada gugus senyawanya. NaOH atau hidroksida Na sangat korosif, tetapi NaCl justru dibutuhkan olah tubuh.
2.7. Nitrat
Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat merupakan proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi. Oksidasi nitrit menjadi amonia ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.12), sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.13) (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003).
2 NH3 + 3 O2– → 2 NO2 – + 2 H– + 2 H2O |
(2.12) |
2 NO2 – + O2– → 2 NO3– |
(2.13) |
Proses nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter sebagai berikut (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003) :
- Pada kadar oksigen terlarut < 2 mg/liter, reaksi akan berjalan lambat.
- Nilai pH yang optimum bagi proses nitrifikasi adalag 8 – 9. Pada pH < 6, reaksi akan berhenti.
- Bakteri yang melakukan nitrifikasi cenderung menempel pada sedimen dan bahan padatan lainnya.
- Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih lambat daripada bakteri heterotrof. Jika perairan banyak mengandung bahan organik, pertumbuhan bakteri heterotrof akan melebihi pertumbuhan bakteri nitrifikasi.
- Suhu optimum proses nitrifikasi adalah 20 oC – 25 oC. Pada kondisi suhu kurang atau lebih dari kisaran tersebut, kecepatan nitrifikasi berkurang.
Amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi merupakan proses mikrobiologis yang sangat dipengaruhi oleh suhu dan aerasi (Novotny dan Olem, 1994 dala Effendi 2003). Nitrat yang merupakan sumber nitrogen bagi tumbuhan dikonversi menjadi protein, sesuai dengan persamaan reaksi (2.14).
NO3– + CO2 + tumbuhan + cahaya matahari → protein | (2.14) |
Nitrat merupakan salah satu sumber utama nitrogen di perairan. Kadar nitrat pada perairan alami tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/liter menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (bloomingKadar nitrat secara alamiah biasanya agak rendah, namum kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali pada air tanah di daerah-daerah yang diberi pupuk yang mengandung nitrat. Kadar nitrat tidak boleh lebih dari 10 mg NO3/l atau 50 (MEE) mg NO3/l.
Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Konsumsi air yang mengandung kadar nitrat yang tinggi akan menurunkan kapasitas darah untuk mengikat oksigen, terutama pada bayi yang berumur kurang dari lima bulan. Keadaan ini dikenal sebagai methemoglobinemia atau blue baby disease yang mengakibatkan kulit bayi berwarna kebiruan (cyanosis) (Davis dan Cornwell, 1991; Mason, 1993 dalam Effendi, 2003).
Penetapan nitrogen nitrat merupakan analisa yang sulit dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Berdasarkan Standard Methods, metode yang digunakan adalah metode Asam Phenoldisulfat dan Metode Brusin. Brusin merupakan senyawa kompleks organik yang bereaksi dengan nitrat pada kondisi asam dan peningkatan temperatur di alam menghasilkan warna kuning. Metode Brusin mempunyai kelebihan dari metode phenoldisulfat, dimana klorida dalam konsentrasi normal tidak mengganggu, tetapi warna yang dihasilkan tidak mengikuti hukum Beer’s.
2.8. Nitrit
Di perairan alami, nitrit (NO2) ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dengan gas nitrogen (denitrifikasi) yang berlangsung pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.15) (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003).
NO3 – + H+ → 1/2 (H2O + N2) + 5/4 O2 |
(2.15) |
Pada denitrifikasi, gas N2 dilepaskan dari dalam air ke udara. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah.
Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Di perairan, kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/liter (Sawyer dan McCarty, 1987). Bagi manusia dan hewan, nitrit bersifat lebih toksik daripada nitrat.
Garam-garam nitrit digunakan sebagai penghambat terjadinya proses korosi pada industri. Pada manusia, konsumsi nitrit yang berlebihan dapat mengakibatkan terganggunya proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin darah, yang selanjutnya membentuk met-hemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen. Selain itu, NO2 juga dapat menimbulkan nitrosamin (RR’N – NO) pada air buangan tertentu yang dapat menyebabkan kanker. Penetapan nitrogen pada umumnya digunakan sebagai pengontrol derajat purifikasi yang terjadi pada pengolahan biologis.
Metode Reaksi Diazotasi – Spectrofotometri merupakan metode yang digunakan untuk pemeriksaan nitrit. Metode ini menggunakan dua macam reagen yaitu asam sulfanilat dan 1–naphthylamine hydrocloride. Reaksi antara reagen dan nitrit terjadi pada suasana asam dan ditentukan secara kolorimetris menggunakan spektrofotometer. Pada pH 2 sampai 2,5, nitrit berikatan dengan hasil reaksi antara diazo asam sulfanilik dan N-(1-naftil)-etilendiamin dihydrocloride membentuk celupan berwarna ungu kemerah-merahan. Warna tersebut mengikuti hukum Beer-Lambert dan menyerap sinar dengan panjang gelombang 543 nm. Hasil yang diperoleh akan dibandingkan warnanya dengan warna standar.
2.9. pH
pH merupakan suatu parameter penting untuk menentukan kadar asam/basa dalam air. Penentuan pH merupakan tes yang paling penting dan paling sering digunakan pada kimia air. pH digunakan pada penentuan alkalinitas, CO2, serta dalam kesetimbangan asam basa. Pada temperatur yang diberikan, intensitas asam atau karakter dasar suatu larutan diindikasikan oleh pH dan aktivitas ion hidrogen. Perubahan pH air dapat menyebabkan berubahnya bau, rasa, dan warna. Pada proses pengolahan air seperti koagulasi, desinfeksi, dan pelunakan air, nilai pH harus dijaga sampai rentang dimana organisme partikulat terlibat.
Asam dan basa pada dasarnya dibedakan dari rasanya kemudian dari efek yang ditimbulkan pada indikator. Reaksi netralisasi dari asam dan basa selalu menghasilkan air. Ion H+ dan OH– selalu berada pada keseimbangan kimiawi yang dinamis dengan H2O berdasarkan reaksi (2.16).
H2O ↔ H+ + OH– |
(2.16) |
Ion hidrogen bersifat asam. Keberadaan ion hidrogen menggambarkan nilai pH derajat keasaman yang dinyatakan dengan persamaan (2.17)
pH = – log [H+] ……….(2.17)
Konsentrasi ion hidrogen dalam air murni yang netral adalah 10-7 g/l. Nilai disosiasi (Kw) pada suhu 25oC sebesar 10-14 seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.18).
[H+] + [OH–] = Kw |
(2.18) |
Skala pH berkisar antara 0 – 14. Klasifikasi nilai pH adalah sebagai berikut :
- pH = 7 menunjukkan keadaan netral
- 0 < pH < 7 menunjukkan keadaan asam
- 7 < pH < 14 menunjukkan keadaan basa (alkalis)
Air minum sebaiknya netral, tidak asam/basa, untuk mencegah terjadinya pelarutan logam berat dan korosi jaringan distribusi air minum. pH standar untuk air minum sebesar 6,5 – 8,5. Air adalah bahan pelarut yang baik sekali, maka dibantu dengan pH yang tidak netral, dapat melarutkan berbagai elemen kimia yang dilaluinya.
Pengukuran pH dapat dilakukan menggunakan kertas lakmus, kertas pH universal, larutan indikator universal (metode Colorimeter) dan pHmeter (metode Elektroda Potensiometri). Pengukuran pH penting untuk mengetahui keadaan larutan sehingga dapat diketahui kecenderungan reaksi kimia yang terjadi serta pengendapan materi yang menyangkut reaksi asam basa.
Elektroda hidrogen merupakan absolut standard dalam penghitungan pH. Karena elektroda hidrogen mengalami kerumitan dalam penggunaannya, ditemukanlah elektroda yang dapat dibuat dari gelas yang memberikan potensial yang berhubungan dengan aktivitas ion hidrogen tanpa gangguan dari ion-ion lain. Penggunaannya menjadi metode standard dari pengukuran pH.
Pengukuran pH diatas 10 dan pada temperatur tinggi sebaiknya menggunakan elektroda gelas spesial. Alat-alat yang digunakan pada umumnya distandarisasi dengan larutan buffer, dimana nilai pH nya diketahui dan lebih baik digunakan larutan buffer dengan pH 1 – 2 unit yang mendekati nilai pH contoh air.
Mackereth et al. (1989) dalam Effendi, 2003 berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan yang bersifat asam (pH rendah) bersifat korosif. pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan Olem, 1994 dalamEffendi 2003).
2.10. Sulfat
Ion sulfat (SO4) adalah anion utama yang terdapat di dalam air. Jumlah ion sulfat yang berlebih dalam air minum menyebabkan terjadinya efek cuci perut pada manusia. Sulfat mempunyai peranan penting dalam penyaluran air maupun dalam penggunaan oleh umum.
Sulfat banyak ditemukan dalam bentuk SO42- dalam air alam. Kehadirannya dibatasi sebesar 250 mg/l untuk air yang dikonsumsi oleh manusia. Sulfat terdapat di air alami sebagai hasil pelumeran gypsum dan mineral lainnya. Sulfat dapat juga berasal dari oksidasi terakhir sulfida, sulfit, dan thiosulfat yang berasal dari bekas tambang batubara. Kehadiran sulfat dapat menimbulkan masalah bau dan korosi pada pipa air buangan akibat reduksi SO42- menjadi S– dalam kondisi anaerob dan bersama ion H+ membentuk H2S.
Dalam pipa, proses perubahan secara biologis terjadi selama transportasi air buangan. Perubahan ini memerlukan O2. Apabila kandungan O2 tidak cukup dari aerasi natural udara dalam pipa, terjadi reduksi sulfat dan terbentuk ion sulfida. S– akan berubah menjadi H2S pada pH tertentu dan sebagian lepas ke udara di atas air buangan. Bila pipa berventilasi baik dan dindingnya kering, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Bila terjadi hal sebaliknya, keseimbangan berkumpul pada dinding bagian atas pipa. H2S larut dalam air sesuai dengan tekanan parsial udara dalam pipa dan bakteri akan mengoksidasi H2S menjadi H2SO4, yang dapat merusak beton (dikenal dengan ”crown” korosi).
Metode turbidimeter merupakan salah satu metode analisa yang digunakan untuk mengukur sulfat dengan prinsip barium sulfat terbentuk setelah contoh air ditambahkan barium khlorida yang berguna untuk presipitasi dalam bentuk koloid dengan bantuan larutan buffer asam yang mengandung MgCl, potassium nitrat, sodium asetat, dan asam asetat sesuai reaksi (2.19).
SO42- + BaCl2 →BaSO4 (koloid) + 2 Cl– |
(2.19) |
Metode ini dapat dilakukan dengan cepat dan lebih sering digunakan daripada metode lainnya. Konsentrasi sulfat > 10 mg/l dapat dianalisa dengan mengambil sulfat dalam jumlah kecil dan melarutkannya dalam 50 ml contoh air.
2.11. Kalium
Kalium (K) atau potasium yang menyusun sekitar 2,5 % lapisan kerak bumi adalah salah satu unsur alkali utama di perairan. Di perairan, kalium terdapat dalam bentuk ion atau berikatan dengan ion lain membentuk garam yang mudah larut dan sedikit sekali membentuk presipitasi. Cole (1988) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa kalium cenderung membentuk micas yang bersifat tidak larut. Kondisi ini mengakibatkan kadar kalium di perairan lebih sedikit daripada kadar natrium.
Hampir 95 % dari produksi kalium digunakan sebagai pupuk bagi tanaman. Selain itu, kalium juga digunakan dalam industri gelas, farmasi, karet sintetis, sabun, detergen, dan sebagainya.
Perairan dengan rasio Na : K kurang dari 10 bersifat toksik bagi beberapa organisme akuatik. Kadar kalium yang terlalu tinggi sehingga melebihi 2.000 mg/liter berbahaya bagi sistem pencernaan dan saraf manusia. Kadar kalium sebanyak 50 mg/liter dan kadar natrium 100 mg/liter yang terdapat secara bersamaan kurang baik bagi kepentingan industri karena dapat membentuk karat dan menyebabkan terjadinya korosi pada peralatan logam.
2.12. Zat Organik
Zat organik (KMnO4) merupakan indikator umum bagi pencemaran. Tingginya zat organik yang dapat dioksidasi menunjukkan adanya pencemaran. Zat organik mudah diuraikan oleh mikroorganisme. Oleh sebab itu, bila zat organik banyak terdapat di badan air, dapat menyebabkan jumlah oksigen di dalam air berkurang. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka jumlah oksigen akan semakin menipis sehingga kondisi menjadi anaerob dan dapat menimbulkan bau.
Setiap senyawa organik mengandung ikatan karbon yang dikombinasikan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Bahan organik berasal dari tiga sumber utama sebagai berikut (Sawyer dan McCarty, 1978) :
- Alam, misalnya fiber, minyak nabati dan hewani, lemak hewani, alkaloid, selulosa, kanji, gula, dan sebagainya.
- Sintesis, yang meliputi semua bahan organik yang diproses oleh manusia.
- Fermentasi, misalnya alkohol, aseton, gliserol, antibiotika, dan asam; yang semuanyan diperoleh melalui aktivitas mikroorganisme.
Karakteristik bahan organik yang membedakannya dari bahan anorganik adalah sebagai berikut (Sawyer dan McCarty, 1978) :
- Senyawa organik biasanya mudah terbakar.
- Senyawa organik mempunyai titik leleh dan titik didih yang lebih rendah.
- Senyawa organik kurang larut dalam air.
- Beberapa senyawa organik memiliki formula yang serupa (isomer).
- Reaksi dengan senyawa lain berlangsung lambat karena bukan terjadi dalam bentuk ion, melainkan dalam bentuk molekul.
- Berat molekul senyawa organik bisa menjadi sangat tinggi, seringkali lebih dari 1000.
- Kebanyakan senyawa organik berfungsi sebagai sumber makanan bakteri.
Organik pada sistem air alami berasal dari sumber-sumber alami maupun aktivitas manusia. Organik yang terlarut dalam air biasa ditemukan dalam dua kategori, yaitu :
Organik Biodegradable
Materi biodegradable mengandung organik yang dapat digunakan sebagai makanan bagi mikroorganisme yang hidup di alam dalam waktu yang singkat. Dalam bentuk terlarut, materi ini mengandung zat tepung, lemak, protein, alkohol, asam, aldehid, dan ester. Materi ini dapat menyebabkan masalah warna, rasa, bau, serta merupakan efek kedua yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme pada substansi-substansi tersebut. Penggunaan organik terlarut oleh mikroba dapat terjadi melalui proses oksidasi dan reduksi. Kondisi aerob merupakan hasil akhir dekomposisi organik oleh mikroba yang bersifat stabil dan merupakan senyawa yang masih dapat diterima. Proses anaerob menghasilkan produk yang tidak stabil dan tidak dapat diterima.
Organik Non Biodegradable
Beberapa materi organik resisten dari degradasi biologis. Asam tannin, lignin, selulosa, dan fenol biasa ditemukan pada sistem air alami. Molekul dengan ikatan yang kuat dan struktur cincin merupakan esensi non biodegradable. Sebagai contoh senyawa detergen alkylbenzenesulfonate (ABS), dimana dengan adanya cincin benzene, senyawa tersebut tidak dapat terbiodegradasi. Sebagai surfaktan, ABS menyebabkan busa pada IPAL dan meningkatkan kekeruhan.
Beberapa organik yang non biodegradable bersifat toksik bagi organisme. Hal ini ditemukan pada pestisida organik, beberapa industri kimia, dan campuran hidrokarbon yang berkombinasi dengan klorin. Sebagian besar pestisida bersifat toksik kumulatif dan menyebabkan beberapa masalah pada rantai makanan yang lebih tinggi.
Pengukuran organik non biodegradable dapat dilakukan menggunakan tes COD (Chemical Oxygen Demand). Organik non biodegradable dapat ditentukan dari analisa TOC (Total Organic Compound). BOD dan TOC dapat mengukur fraksi biodegradable dari organik, dimana BOD harus disubstraksi dari COD dan TOC untuk menghitung organik non biodegradable.
Secara umum, komponen penyusun materi organik terdiri dari 6 unsur, yaitu :
- Unsur mikro : Nitrogen (N), Phosfor (P), Sulfur (S)
- Unsur makro : Karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O)
Penetapan materi organik dapat dilakukan dengan metode Titrasi Permanganometri, yang dapat dituliskan dalam persamaan reaksi (2.20).
Zat anorganik + KMnO4→ tidak berubah warna lagiZat organik + KMnO4→ CO2 + H2O |
(2.20) |
Pada penetapan zat organik dengan metode Titrasi Permanganometri, digunakan KMnO4 untuk membedakan antara zat organik dan zat anorganik. KMnO4 dapat mengoksidasi zat-zat anorganik jauh lebih cepat daripada zat organik, selain itu proses reduksi zat organik oleh KMnO4 memerlukan temperatur yang lebih tinggi. Penetapan zat organik hanya dapat dilakukan setelah seluruh reduktor (KMnO4) telah habis bereaksi dengan zat anorganik. Zat organik dioksidasi oleh KMnO4 berlebih dalam suasana asam dan panas. Kelebihan KMnO4 akan direduksi oleh asam oksalat berlebih dan kelebihan asam oksalat akan dititrasi kembali oleh KMnO4. Hal ini dapat juga dilakukan menggunakan Hexane-Extractable pada air tesuspensi. Prinsipnya adalah adsorbsi dan flokulasi dengan hidroksida aluminium dari materi organik tersuspensi. Kandungan materi organik dalam air dapat dijadikan indikator pencemar bila konsentrasinya cukup tinggi, karena zat organik dapat diuraikan secara alami oleh bakteri sehingga kadar DO menurun.
2.13. CO2 Agresif
Karbondioksida (CO2) adalah komponen normal dalam semua air alami dan merupakan gas yang mudah larut dalam air. CO2 di alam terdiri dari CO2 bebas dan CO2 terikat yang tergantung pada pH air. CO2 bebas terdiri dari CO2 yang berada dalam kesetimbangan, diperlukan untuk memelihara ion bikarbonat (HCO3–) dan CO2 agresif yang dapat melarutkan CaCO3 dan bersifat korosif. CO2 terikat hadir dalam bentuk bikarbonat (HCO3–) dan karbonat (CO32-). CO2 agresif merupakan CO2 yang berada dalam keseimbangan dan diperlukan untuk memelihara ion bikarbonat dalam air.
Air permukaan pada umumnya mengandung < 10 mg CO2 bebas/liter, namun beberapa air tanah mengandung lebih banyak lagi. Tidak semua CO2 bersifat agresif. CO2 bersifat agresif apabila terjadi kesetimbangan dalam reaksi (2.21).
CO2 + H2O ↔ HCO3– + H+ |
(2.21) |
Kadar HCO3– yang meningkat akan membuat kesetimbangan bergeser ke arah CO2. CO2 menjadi agresif dan berusaha mempercepat kesetimbangan melalui reaksi dengan CaCO3 atau benda lain sehingga terjadi kekorosifan.
CO2 dapat berasal dari beberapa sumber, antara lain :
- Masuknya CO2 melalui air permukaan oleh absorbsi dari atmosfer. Hal ini hanya terjadi ketika konsentrasi CO2 dalam air lebih kecil daripada konsentrasi CO2 dalam atmosfer dan mengikuti Hukum Henry, yang berbunyi ”Antara konsentrasi CO2 di udara dengan CO2 terlarut dalam air akan terjadi kesetimbangan (CO2 atm ↔ CO2 terlarut).”
- Proses oksidasi biologi materi organik. Hal ini terutama terjadi pada air tercemar. Oksidasi bakteri tersebut mengeluarkan CO2 sebagai hasil akhir, baik aerob maupun anaerob.
- Aktivitas fotosintesis yang dibatasi. Hal ini terjadi apabila konsentrasi CO2 dalam air lebih besar daripada konsentrasi CO2 di atmosfer.
- Perkolasi air ke dalam tanah. Air tanah mengandung 30 – 50 mg/l CO2. Hal ini disebabkan air mengalami perkolasi dalam tanah yang tidak mengandung cukup kalsium/magnesium karbonat untuk menetralisir CO2 melalui pembentukan bikarbonat.
- Spesies karbon, misal CaCO3 (kapur).
- Proses dekomposisi materi organik.
Air yang banyak mengandung CO2 akan bersifat korosif karena dapat melarutkan logam yang terdapat pada pipa penyaluran air sehingga dapat terjadi korosi pada pipa distribusi air minum. Korosi disebabkan air mempunyai pH rendah, yang disebabkan adanya kandungan CO2 agresif yang tinggi.
Beberapa metode penentuan CO2 agresif yang dapat dilakukan antara lain :
2.13.1. Metode nomografik
Dilakukan menggunakan grafik Mudlein-Frankfurt dan Langlier Index dengan satuan mg/l. Parameter yang harus diketahui bila menggunakan metode ini adalah CO2 bebas (ditetapkan sesuai prosedur penetapan asiditas dan alkalinitas) dan HCO3– (kesadahan sementara). Jika hasilnya berada di atas kesetimbangan, maka terdapat CO2 agresif dan jika hasilnya berada di bawah kestimbangan, maka tidak terdapat CO2 agresif. Index CO2 dikatakan agresif jika konsentrasi CO2 dalam air dan konsentrasi CO2 seimbang. Air agresif terhadap CaCO3 jika mengandung CO2 terlarut yang lebih besar daripada kondisi setimbang menurut persamaan reaksi (2.22) dan (2.23).
CaCO3 ↔ Ca2+ + CO32- |
(2.22) |
CaCO3 + CO2 + H2O → Ca2+ + 2 HCO3– |
(2.23) |
Kondisi A = agresif → [CO2] terlarut > [CO2] setimbang
Kondisi B = setimbang → [CO2] ada = [CO2] setimbang
Kondisi C = pengendapan → [CO2] ada < [CO2] setimbang
2.13.2. Teoritis
Metode ini dilakukan dengan menggunakan pH dan kadar HCO3 dalam air, berdasarkan kemampuan air dalam melarutkan marmer.
2.13.3. Metode titrasi
Metode ini dapat dilakukan baik secara potensiometri maupun dengan indikator.
Beberapa hal yang menyebabkan pentingnya pemeriksaan CO2 di dalam air sebagai berikut :
- Merupakan karakteristik kualitas air yang penting, yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan pH (buffer capacity).
- Berhubungan dengan proses pelunakan, koagulasi, dan netralisasi.
- Berhubungan dengan masalah korosi dan kesadahan dalam air.
Beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menghilangkan CO2 agresif dalam air antara lain :
- Aerasi. Metode ini dilakukan dengan cara mengeluarkan CO2 dalam air dengan memasukkan O2 agar CO2 yang ada dalam air kembali ke atmosfer.
- Penambahan zat kimia yaitu kapur (CaO) dan batu marmer (CaCO3) untuk menaikkan pH air sampai 8,3.
Agar memperoleh hasil yang baik, perlu diperhatikan pengumpulan, penanganan, dan analisa CO2. Dibandingkan di dalam air, tekanan parsial CO2 lebih besar di atmosfer, oleh karena itu pengukuran CO2 di udara harus dihindari dengan cara menutup rapat kontainer yang digunakan.
2.14. Daya Pengikat Chlor (DPC)
Dalam pengolahan air diperlukan pembubuhan senyawa desinfektan yang bertujuan mencegah penyebaran waterborne disease (penyakit bawaan air). Bermacam-macam zat kimia seperti ozon (O3), klor (Cl2), klordioksida (ClO2), dan proses fisik seperti penyinaran dengan UV dan pemanasan digunakan untuk desinfeksi air. Dari berbagai macam zat, klor merupakan zat kimia yang sering digunakan karena harganya murah dan masih mempunyai daya desinfeksi sampai beberapa jam setelah pembubuhannya (residu klor).
Selain membasmi bakteri dan mikroorganisme seperti amoeba dan ganggang, klor dapat mengoksidasi ion-ion logam seperti Fe2+ dan Mn2+ menjadi Fe3+ dan Mn4+ serta memecah molekul organis seperti warna. Selama proses tersebut, klor direduksi menjadi klorida (Cl–) yang tidak mempunyai daya desinfeksi.
Klor berasal dari gas klor (Cl2), NaOCl, Ca(OCl)2 (kaporit), atau larutan HOCl (asam hipoklorik). Breakpoint chlorination (klorinasi titik retak) merupakan jumlah klor yang dibutuhkan sehingga semua zat yang dioksidasi dapat teroksidasi, amoniak hilang sebagai N2, serta masih ada residu klor aktif terlarut yang konsentrasinya dianggap perlu untuk pembasmian kuman-kuman.
Klorin digunakan dalam bentuk klorin bebas atau hipoklorit. Kedua unsur ini berfungsi sebagai potensial agen oksidasi. Korin bereaksi dengan air membentuk hipoklorous dan asam hipoklorik sesuai reaksi (2.24).
Cl2 + H2O ↔ HOCl + H+ + Cl– |
(2.24) |
Klorindioksida merupakan agen desinfeksi yang efektif, terutama untuk air yang mempunyai pH tinggi. Selain itu, senyawa ini sangat efektif untuk memecah fenol. Klorindioksida merupakan gas yang tidak stabil dan dihasilkan dari penggabungan senyawa sodium klorit dengan klorin kuat. Desinfeksi dengan ozon merupakan salah satu desinfektan kuat lainnya. Ozon lebih efektif bila konsentrasi air rendah.
Gas klor merupakan oksidan yang kuat sehingga bersifat racun bagi manusia. Pada konsentrasi rendah, klorin membunuh mikroorganisme dengan memasuki sel dan bereaksi dengan enzim serta protoplasma. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, oksidasi dinding sel akan memusnahkan organisme tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain bentuk klor, pH, konsentrasi, waktu kontak, tipe organisme, dan temperatur.
Dampak penambahan klorin bagi kesehatan secara langsung sebenarnya tidak ada, tetapi penambahan klorin berlebih menyebabkan air menjadi payau. Fungsi lain dari klorin adalah :
- Sebagai tracer.
- Detektor kontaminasi pada air tanah.
- Kontrol pemompaan air tanah pada lokasi dimana ada intrusi air laut.
2.15. Asiditas
Asiditas adalah kapasitas kuantitatif air untuk bereaksi dengan basa kuat sehingga menstabilkan pH hingga mencapai 8,3 atau kemampuan air untuk mengikat OH– untuk mencapai pH 8,3 dari pH asal yang rendah. Semua air yang memiliki pH < 8,5 mengandung asiditas.
Pada dasarnya, asiditas (keasaman) tidak sama dengan pH. Asiditas melibatkan dua komponen, yaitu jumlah asam, baik asam kuat maupun asam lemah (misalnya asam karbonat dan asam asetat), serta konsentrasi ion hidrogen. Menurut APHA (1976) dalam Effendi (2003), pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif air untuk menetralkan basa sampai pH tertentu, yang dikenal dengan base-neutralizing capacity (BNC); sedangkan Tebbut (1992) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa pH hanya menggambarkan konsentrasi ion hidrogen.
Pada kebanyakan air alami, air buangan domestik, dan air buangan industri bersifat buffer karena sistem karbondioksida-bikarbonat. Pada titrasi beberapa asam lemah, dapat diketahui bahwa titik akhir stoikiometri dari asam karbonat tidak dapat dicapai sampai pH sekitar 8,5. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua air yang memiliki pH < 8,5 mempunyai sifat asiditas. Biasanya titik akhir phenophtalein pada pH 8,2 sampai 8,4 digunakan sebagai titik referensi.
Dari titrasi terhadap asam karbonat dan asam kuat, diketahui bahwa asiditas dari air alami disebabkan oleh CO2 yang merupakan agen efektif dalam air yang memiliki pH > 3,7 atau disebabkan oleh asam mineral kuat yang merupakan agen efektif dalam air dengan pH < 3,7. Dapat dikatakan bahwa asiditas di dalam air disebabkan oleh CO2 terlarut dalam air, asam-asam mineral (H2SO4, HCl, HNO3), dan garam dari asam kuat dengan basa lemah.
Asiditas Total (Asiditas Phenophtalein)
Asiditas total merupakan asiditas yang disebabkan adanya CO2 dan asam mineral. Karbondioksida merupakan komponen normal dalam air alami. Sumber CO2 dalam air dapat berasal dari adsorbsi atmosfer, proses oksidasi biologi materi organik, aktivitas fotosintesis, dan perkolasi air dalam tanah. Karbondioksida dapat masuk ke permukaan air dengan cara adsorbsi dari atmosfer, tetapi hanya dapat terjadi jika konsentrasi CO2 dalam air < kesetimbangan CO2 di atmosfer. Karbondioksida dapat diproduksi dalam air melalui oksidasi biologi dari materi organik, terutama pada air tercemar. Pada beberapa kasus, jika aktivitas fotosintesis dibatasi, konsentrasi CO2 di dalam air dapat melebihi keseimbangan CO2 di atmosfer dan CO2 akan keluar dari air. Air permukaan secara konstan mengadsorpsi atau melepas CO2 untuk menjaga keseimbangan dengan atmosfer.
Air tanah dan air dari lapisan hypolimnion di danau dan reservoir biasanya mengandung CO2 dalam jumlah yang cukup banyak. Konsentrasi ini dihasilkan dari oksidasi materi organik oleh bakteri dimana materi organik ini mengalami kontak dengan air dan pada kondisi ini CO2 tidak bebas untuk keluar ke atmosfer. CO2 merupakan produk akhir dari oksidasi bakteri secara anaerobik dan aerobik. Oleh karena itu konsentrasi CO2 tidak dibatasi oleh jumlah oksigen terlarut.
Asiditas Mineral (Asiditas Metil Orange)
Asiditas mineral merupakan asiditas yang disebabkan oleh asam mineral. Dapat juga disebut asiditas metil orange karena untuk menentukan titik akhir titrasi digunakan indikator metil orange untuk mencapai pH 3,7. Asiditas mineral di dalam air dapat berasal dari industri metalurgi, produksi materi organik sintetik, drainase buangan tambang, dan hidrolisis garam-garam logam berat.
Asiditas mineral terdapat di limbah industri, terutama industri metalurgi dan produksi materi organik sintetik. Beberapa air alami juga mengandung asiditas mineral. Kebanyakan dari limbah industri mengandung asam organik. Kehadirannya di alam dapat ditentukan dengan titrasi elektrometrik dan gas chromatografi.
Garam logam berat, terutama yang bervalensi 3, terhidrolisa dalam air untuk melepaskan asiditas mineral sesuai dengan reaksi (2.25).
FeCl3 + 3 H2O ↔ Fe (OH)3 + 3 H+ + 3 Cl– |
(2.25) |
Kehadirannya dapat diketahui dari pembentukan endapan ketika pH larutan meningkat selama netralisasi. Air yang mengandung asiditas biasanya bersifat korosif sehingga memerlukan banyak biaya untuk menghilangkan/mengontrol substansi yang menyebabkan korosi (umumnya CO2). Jumlah keberadaan asiditas merupakan faktor penting dalam penentuan metode pengolahan, apakah dengan aerasi atau netralisasi sederhana dengan kapur atau sodium hidroksida. CO2 merupakan pertimbangan penting dalam mengestimasi persyaratan kimia untuk pelunakan kapur/kapur soda. Dalam penelitian ini, digunakan titrasi asam basa dengan indikator phenophtalein (p) dan metil orange (m) sesuai reaksi (2.26) sampai (2.28).
H+ + OH– → H2O |
(2.26) |
CO2 + OH– → HCO3 – |
(2.27) |
HCO3 – + H+ → H2O + CO2 |
(2.28) |
Karbondioksida dan asiditas mineral dapat diukur dengan larutan standar menggunakan reagen alkaline. Asam mineral dapat diukur dengan titrasi pada pH 3,7 sehingga disebut asiditas metil orange. Titrasi contoh air pada pH mencapai 8,3 dapat mengukur asam mineral dan asiditas dari asam lemah. Asam mineral dapat dinetralkan ketika pH mencapai 3,7. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam CaCO3. Karena CaCO3 memiliki berat ekivalen 50, maka N/50 NaOH digunakan sebagai agen penitrasi sehingga 1 ml ekivalen dengan 1 mg asiditas.
2.16. Alkalinitas
Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa menurunkan pH larutan atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas merupakan hasil reaksi terpisah dalam larutan dan merupakan analisa makro yang menggabungkan beberapa reaksi. Alkalinitas merupakan kemampuan air untuk mengikat ion positif hingga mencapai pH 4,5.
Alkalinitas dalam air disebabkan oleh ion-ion karbonat (CO32-), bikarbonat (HCO3–), hidroksida (OH–), borat (BO32-), fosfat (PO43-), silikat (SiO44-), ammonia, asam organik, garam yang terbentuk dari asam organik yang resisten terhadap oksidasi biologis. Dalam air alami, alkalinitas sebagian besar disebabkan adanya bikarbonat, karbonat, dan hidroksida. Pada keadaan tertentu, keberadaan ganggang dan lumut dalam air menyebabkan turunnya kadar CO2 dan HCO3– sehingga kadar CO32- dan OH– naik dan pH larutan menjadi naik.
Pada awalnya, alkalinitas adalah gambaran pelapukan batuan yang terdapat pada sistem drainase. Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang dapat melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat. Jika Me merupakan logam alkali tanah (misalnya kalsium dan magnesium), maka reaksi yang menggambarkan pelarutan batuan karbonat ditunjukkan dalam reaksi (2.29).
MeCO3 + CO2 + H2O → Me2+ + 2HCO32- |
(2.29) |
Kalsium karbonat merupakan senyawa yang memberi kontribusi terbesar terhadap nilai alkalinitas dan kesadahan di perairan tawar. Senyawa ini terdapat di dalam tanah dalam jumlah yang berlimpah sehingga kadarnya di perairan tawar cukup tinggi. Kelarutan kalsium karbonat menurun dengan meningkatnya suhu dan meningkat dengan keberadaan karbondioksida. Kalsium karbonat bereaksi dengan karbondioksida membentuk kalsium bikarbonat [Ca(HCO3)2] yang memiliki daya larut lebih tinggi dibandingkan dengan kalsium karbonat (CaCO3) (Cole, 1983 dalam Effendi 2003).
Tingginya kadar bikarbonat di perairan disebabkan oleh ionisasi asam karbonat, terutama pada perairan yang banyak mengandung karbondioksida (kadar CO2 mengalami saturasi/jenuh). Reaksi pembentukan bikarbonat dari karbonat adalah reaksi setimbang dan mengharuskan keberadaan karbondioksida untuk mempertahankan bikarbonat dalam bentuk larutan. Jika kadar karbondioksida bertambah atau berkurang, maka akan terjadi perubahan kadar ion bikarbonat.
Bikarbonat mengandung asam (CO2) dan basa (CO32-) pada konsentrasi yang sama, seperti yang ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.30).
2 HCO3 – ↔ CO2 + CO32- + H2O |
(2.30) |
Selain karena bereaksi dengan ion H+, karbonat dianggap basa karena dapat mengalami hidrolisis menghasilkan OH- seperti persamaan reaksi (2.31).
CO32- + H2O ↔ HCO3– + OH– |
(2.31) |
Sifat kebasaan CO32- lebih kuat daripada sifat keasaman CO2 sehingga pada kondisi kesetimbangan, ion OH– dalam larutan bikarbonat selalu melebihi ion H+.
Akumulasi hidroksida menyebabkan perairan yang banyak ditumbuhi algae memiliki nilai pH yang tinggi, sekitar 9 – 10. Nilai alkalinitas sangat dipengaruhi oleh pH. Dengan kata lain, alkalinitas berperan sebagai sistem penyangga (buffer) agar perubahan pH tidak terlalu besar. Alkalinitas juga merupakan parameter pengontrol untuk anaerobic digester dan instalasi lumpur aktif.
Alkalinitas ditetapkan melalui titrasi asam basa. Asam kuat seperti asam sulfat dan asam klorida dapat menetralkan zat-zat alkaliniti yang bersifat basa sampai titk akhir titrasi (titik ekivalensi) kira-kira pada pH 8,3 dan 4,5. Titik akhir ini dapat ditentukan oleh jenis indikator yang dipilih dan perubahan nilai pH pada pHmeter waktu titrasi asam basa. Reaksi yang terjadi ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.32) sampai (2.34).
OH– + H+ ↔ H2O |
(pH = 8,3) |
(2.32) |
CO32- + H+ ↔ HCO3 – |
(pH = 8,3) |
(2.33) |
HCO3 – + H+ ↔ H2O + CO2 |
(pH = 4,5) |
(2.34) |
Jumlah asam yang diperlukan untuk mencapai titik akhir pada pH 8,3 (sebagian dari alkalinitas total) dikenal sebagai nilai P (phenolphtalein) dan yang diperlukan sampai pH 4,3 dikenal sebagai nilai T (total alkalinity) atau M (metil orange).
Air ledeng memerlukan ion alkalinitas dalam konsentrasi tertentu. Jika kadar alkalinitas terlalu tinggi dibandingkan kadar Ca2+ dan Mg2+, air menjadi agresif dan menyebabkan karat pada pipa. Alkalinitas yang rendah dan tidak seimbang dengan kesadahan dapat menyebabkan timbulnya kerak CaCO3 pada dinding pipa yang memperkecil diameter/penampang basah pipa.
Satuan alkalinitas dinyatakan dengan mg/liter kalsium karbonat (CaCO3) atau mili-ekuivalen/liter. Selain bergantung pada pH, alkalinitas juga dipengaruhi oleh komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion. Nilai alkalinitas perairan alami hampir tidak pernah melebihi 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh oragnisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi.
Nilai alkalinitas berkaitan erat dengan korosivitas logam dan dapat menimbulkan permasalahan pada kesehatan manusia, terutama yang berhubungan dengan iritasi pada sistem pencernaan (gastro intestinal). Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30 – 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas > 40 mg/liter CaCO3 disebut perairan sadah (hard water), sedangkan perairan dengan nilai akalinitas < 40 mg/liter disebut perairan lunak (soft water). Untuk kepentingan pengolahan air, sebaiknya nilai alkalinitas tidak terlalu bervariasi
Alkalinitas berperan dalam hal-hal sebagai berikut :
Sistem penyangga (buffer)
Bikarbonat yang terdapat pada perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi berperan sebagai penyangga (buffer capacity) perairan terhadap perubahan pH yang drastis. Jika basa kuat ditambahkan ke dalam perairan, maka basa tersebut akan bereaksi dengan asam karbonat membentuk garam bikarbonat dan akhirnya menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan ke dalam perairan, maka asam tersebut akan digunakan untuk mengonversi karbonat menjadi bikarbonat dan bikarbonat menjadi asam karbonat. Fenomena ini menjadikan perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi tidak mengalami perubahan pH secara drastis (Cole, 1988 dalam Effendi 2003). Pada sistem penyangga, CO2 berperan sebagai asam dan ion HCO3– berperan sebagai garam.
Koagulasi kimia
Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air atau air limbah bereaksi dengan air membentuk presipitasi hidroksida yang tidak larut. Ion hidrogen yang dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alkalinitas, sehingga alkalinitas berperan sebagai penyangga untuk mengetahui kisaran pH optimum bagi penggunaan koagulan. Dalam hal ini, nilai alkalinitas sebaiknya berada pada kisaran optimum untuk mengikat ion hidrogen yang dilepaskan pada proses koagulasi.
Pelunakan air (water softening)
Alkalinitas adalah parameter kualitas air yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah soda abu dan kapur yang diperlukan dalam proses pelunakan (softening) dengan metode presipitasi yang bertujuan untuk menurunkan kesadahan.
Perubahan pH yang terjadi pada perairan yang memiliki nilai alkalinitas rendah cukup besar, sedangkan perubahan pH yang terjadi pada perairan yang memiliki nilai alkalinitas sedang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa alkalinitas yang lebih tinggi memiliki sistem penyangga yang lebih baik.
Alkalinitas biasanya dinyatakan sebagai :
Alkalinitas phenophtalein
Alkalinitas phenophtalein dapat diketahui dengan titrasi asam sampai mencapai pH dimana HCO3– merupakan spesies karbonat dominan (pH = 8,3).
Alkalinitas total
Alkalinitas total dapat diketahui dengan titrasi asam untuk mencapai titik akhir metil orange (pH = 4,5) dimana spesies karbonat dan bikarbonat telah dikonversi menjadi CO2.
Alkalinitas pada air memberikan sedikit masalah kesehatan. Alkalinitas yang tinggi menyebabkan rasa air yang tidak enak (pahit). Pengukuran asiditasalkalinitas harus dilakukan sesegera mungkin dan biasanya dilakukan di tempat pengambilan contoh. Batas waktu yang dianjurkan adalah 14 hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar