Teknologi Digital Mulai Digunakan untuk Perikanan Budidaya Nasional
- Menyongsong revolusi industri 4.0, KKP menguatkan kapasitas diri seluruh pembudidaya ikan, dengan membentuk kampung digital berbasis pada komoditas andalan daerah masing-masing di seluruh Indonesia.
- Percontohan kampung digital dilaksanakan di Desa Krimun dan Desa Puntang, Kecamatan Losarang, Indramayu, Jabar, pada pengembangan komoditas lele. Dan penggunaan teknologi digital, yatu aplikasi eFishery melalui alat pemberi pakan otomatis.
- Adopsi digital pada perikanan budidaya, bisa menaikkan nilai jual komoditas budidaya, kepastian pasar, sarana dan prasarana usaha menjadi lebih efisien, serta kemudahan akses teknologi produksi.
- Sejak diperkenalkan pada 2013, aplikasi eFishery sudah digunakan ratusan pembudidaya yang untuk mengontrol penggunaan pakan, dan sukses panen hingga empat kali dalam setahun.
Kemajuan zaman yang ditandai dengan revolusi industri 4.0, menjadi tantangan yang besar bagi para pelaku usaha perikanan budidaya di Indonesia. Revolusi tersebut memaksa para pelaku usaha untuk terus berinovasi agar bisa meningkatkan kapasitas diri dan juga produk usaha yang sedang dan akan dibudidayakan. Termasuk, penggunaan alat otomatis yang dikendalikan dari aplikasi buatan perusahaan rintisan (start up) yang mengembangkan sektor perikanan dan kelautan.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyongsong revolusi industri 4.0 adalah dengan menguatkan kapasitas diri seluruh pembudidaya ikan. Bentuk nyata dari upaya tersebut, adalah dengan membentuk kampung-kampung digital di seluruh Indonesia.
“Kampung tersebut bisa berbasis pada berbagai komoditas andalan daerah masing-masing,” jelasnya, pekan lalu di Jakarta.
Percontohan dari kampung digital tersebut, mulai dilaksanakan di Desa Krimun dan Desa Puntang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Di kedua desa tersebut, KKP melakukan inisiasi kepada para pembudidaya ikan yang fokus pada pengembangan komoditas lele. Sementara, untuk penggunaan teknologi digital, dilakukan langsung oleh start up eFishery melalui alat pemberi pakan otomatis.
Penggunaan teknologi digital pada kedua desa tersebut, menurut Slamet menjadi yang pertama kali di Indonesia. Adopsi teknologi digital tersebut, akan membuat kedua desa tersebut melaksanakan budidaya perikanan dengan menerapkan sistem teknologi informasi melalui penggunaan alat pengendali pemberian pakan yang dikendalikan dari aplikasi pintar.
Melalui implementasi teknologi informasi, Slamet berharap, pembudidaya ikan di masa mendatang bisa lebih siap menghadapi persaingan, terutama menghadapi revolusi industri 4.0 yang saat ini sedang berjalan di Indonesia. Dengan aplikasi digital, pembudidayaan bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan efisiensi usahanya sehingga pendapatan mereka meningkat.
Slamet menerangkan, dengan adopsi digital pada perikanan budidaya, itu akan berdampak positif karena bisa menaikkan nilai jual komoditas budidaya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Selain itu, dengan konsep digital, pembudidaya juga mendapatkan kepastian pasar, sarana dan prasarana usaha menjadi lebih efisien, serta kemudahan akses teknologi produksi.
“Itu akan membuat usaha budidaya semakin efisien, dan akhirnya pendapatan pembudidaya juga akan meningkat. Lewat revolusi digital, investasi juga bisa dilakukan secara daring (online), dan prosesnya bisa semakin efektif,” tuturnya.
Efisiensi Budidaya
Kemudahan yang didapatkan para pembudidaya ikan di masa sekarang, melalui revolusi industri 4.0, menurut Slamet, akan menyebabkan efisiensi bekerja mereka menjadi lebih cepat dan singkat. Hal itu, karena pembudidaya bisa mengunduh aplikasi digital yang dikembangkan start up pada telepon pintar mereka. Setelah itu, mereka bisa mengatur waktu dan jumlah pemberian pakan ikan melalui aplikasi tersebut.
“Penggunaan authomatic feeder ini di sistem budidaya air tawar akan membuat penggunaan pakan lebih efisien sehingga nilai rasio konversi ikan atau FCR (food convertion ratio) dapat ditekan. Itulah kelebihan dengan menggunakan aplikasi yang dikembangkan start up, seperti milik eFishery yang fokus pada pengembangan bidang perikanan,” jelas Slamet.
Dengan penggunaan teknologi digital pada aplikasi, ia sangat yakin kalau permintaan terhadap komoditas lele akan semakin meningkat. Saat ini saja, tanpa ada campur tangan dari teknologi digital, konsumsi lele di masyarakat terus meningkat dan menjadi primadona. Tak hanya itu, dengan teknologi digital, permintaan lele untuk pasar ekspor juga akan semakin meningkat lagi.
Meski demikian, Slamet meminta para pembudidaya ikan untuk bisa melaksanakan usaha budidaya ikan dengan menggunakan prinsip berkelanjutan. Dengan demikian, prinsip ramah lingkungan pada usaha tersebut akan tetap dijalankan dan berlanjut terus sampai kapan pun.
”Penataan kawasan budidaya seperti pengaturan IPAL (instalasi pengolahan air limbah), sirkulasi keluar masuk air untuk budidaya berkelanjutan harus benar-benar diimplementasikan,” ucapnya.
Setelah penerapan teknologi bisa berjalan, Slamet mengingatkan kepada para pembudidaya ikan untuk bisa segera membentuk koperasi untuk memperkuat kelembagaan ekonomi pembudidaya. Kehadiran koperasi, berikutnya akan sangat bermanfaat bagi para pembudidaya ikan untuk mengakses berbagai fasilitas dan dukungan usaha yang disediakan Pemerintah dan lembaga keuangan lain.
Tentang teknologi informasi yang sekarang berkembang dengan sangat pesat, Slamet menyebut kalau itu juga akan dirasakan banyak manfaatnya oleh para pembudidaya ikan, hanya jika itu digunakan dengan benar. Termasuk, untuk mendapatkan informasi ketersediaan benih unggul, pakan, sarana dan prasarana produksi perikanan budidaya.
“Teknologi informasi dapat mengefisienkan rantai distribusi, sehingga harga jual di tingkat konsumen lebih murah dari pasar tradisional,” ucapnya.
CEO eFisher Gibran Huzaifah menjelaskan, penggunaan alat pemberi pakan otomatis yang dikendalikan dari aplikasi, akan mewujudkan efisiensi penggunaan pakan pada usaha budidaya ikan. Keuntungan tersebut akan didapatkan, karena aplikasi akan mengatur pemberikan pakan dan jumlah takarannya secara otomatis. Semua itu, bisa dioperasikan secara sederhan dari telepon pintar.
“Itu yang membuat penggunaan pakan akan menjadi jauh lebih hemat jika dibandingkan tanpa penggunaan aplikasi,” sebutnya.
Hemat Pakan
Sejak diperkenalkan pada 2013 atau hampir enam tahun lalu, Gibran mengungkapkan bahwa saat ini sudah ada ratusan pembudidaya yang memanfaatkan aplikasi yang dirancang oleh start up bentukannya. Selama menggunakan aplikasi untuk mengontrol penggunaan pakan, para pembudidaya, khususnya pembudidaya lele diketahui sukses melaksanakan panen hingga empat kali dalam setahun.
Dengan fakta seperti itu, Gibran optimis kalau industri perikanan budidaya nasional bisa lebih berkembang lagi di masa mendatang. Hal itu, karena potensi perikanan budidaya nasional diketahui masih sangat besar dan dukungan dari pembudidaya ikan juga sangat kuat dan mereka terkenal akan keuletan serta menjadi salah satu yang terbaik di dunia untuk industri akuakultur.
“Oleh sebab itu, saya yakin kita bisa menjadi pionir dalam implementasi teknologi dalam kegiatan budidaya ikan,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu Edi Umaedi menyampaikan, Kabupaten Indramayu layak menjadi percontohan kampung perikanan digital karena memiliki lahan berupa kolam budidaya air tawar yang cukup luas yakni 560,87 hektar. Dari luas tersebut, 58,68 persen atau 329,15 hektar digunakan untuk budidaya ikan lele yang sentranya ada di Kecamatan Losarang, Kandanghaur dan Sindang. Untuk produksi, pada 2018 Indramayu sanggup mencapai angka 85.496,85 ton atau naik 79,15 persen dari 2017 yang hanya sanggup mencapai 67.671,84 ton.
“Nilai produksinya pun meningkat dari Rp996.975.580.000 menjadi Rp1.336.963.249.000 atau naik 74,57 persen pada periode yang sama,” pungkasnya.
Selain eFishery, start up lain yang juga ikut mendukung berjalannya revolusi industri 4.0 pada perikanan budidaya, adalah aplikasi Minapoli yang diciptakan oleh seorang anak muda bernama Rully Setya Purnama. Menurut dia, teknologi itu bertujuan untuk memperluas dan memperkuat sekaligus sinergi jaringan industri perikanan.
“Minapoli berperan sebagai hub jaringan informasi dan bisnis perikanan Minapoli berperan sebagai hub jaringan informasi dan bisnis perikanan,” ucapnya.
Selain Minapoli, teknologi lain yang ikut meramaikan transformasi industri akuakultur di Indonesia, adalah Iwa-Ke, fisHby, Jala, InFishta dan Growpal. Iwa-Ke adalah aplikasi pemasaran beragam ikan seperti ikan nila merah, patin dan gurami. Adapun, sarana yang dipakai antara lain ojek daring, Iwa-Ke Depot, dan mitra pembudidaya yang luasnya sudah mencapai lebih dari 60 hektare dan jaringan pembudidaya di berbagai provinsi.
Sementara, FisHby merupakan start up digital akuakultur untuk menggalang dana yang dibutuhkan pembudidaya dan menyalurkannya sesuai dengan perjanjian di awal. Kemudian, Jala adalah solusi bertambak udang yang menawarkan sistem manajemen terkini, dengan berbasis data, untuk membantu petambak membuat keputusan manajemen yang tepat berdasarkan informasi aktual yang terjadi di tambak.
Dalam hal investasi akuakultur, start up berbasis digital seperti InFishta bisa bertugas untuk melakukan pencarian modal invertasi perikanan bagi pembudidaya ikan. Terakhir, Growpal adalah start up yang memberikan peluang untuk membuat perubahan secara sosial melalui penanaman investasi dengan keuntungan yang menjanjikan di sektor perikanan dan kelautan.