Rabu, 03 Oktober 2018

Akhirnya, Teknologi Bioflok untuk Lele Masuk Pesantren

Budidaya sistem bioflok yang terbukti lebih baik dari sistem konvensional, akhirnya diterapkan di pondok pesantren yang tersebar di 15 provinsi mulai Juli nanti. Program tersebut, menggandeng dua organisasi kemasyarakatan (Ormas) terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menjelaskan, program tersebut untuk tahap pertama akan dilaksanakan di 73 pesantren dengan menyasar 78.500 santri yang ada di dalamnya. Saat ini, 15 pesantren yang dimaksud tersebut sedang melakukan proses identifikasi dan verifikasi.
“Setelah itu kemudian akan ditentukan siapa calon penerima program tersebut. Setelah itu, baru akan dilaksanakan secara serentak di pondok-pondok pesantren yang ditunjuk,” ujar dia belum lama ini.


Slamet mengatakan, ada dua alasan kenapa KKP memilih pondok pesantren sebagai lokasi untuk menggelar program lele bioflok. Pertama, karena pesantren adalah lembaga non formal yang menjadi lingkungan paling efektif untuk belajar pengenalan usaha. Dengan demikian, program usaha lele bioflok ini diharapkan bisa cepat diterima dan bisa membantu untuk mewujudkan pemberdayaan umat.
Kedua, Slamet melanjutkan, dipilihnya pesantren, karena Pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di lingkungan pesantren melalui penyediaan dan peningkatan gizi berbasis ikan.
“Saat ini tingkat konsumsi ikan di lingkungan pesantren hanya sekitar 9 kilogam per kapita per tahun, melalui program ini paling tidak ada peningkatan menjadi 15 kilogram per kapita per tahun,” ungkap dia.
Budidaya sistem bioflok sendiri, kata Slamet, adalah budidaya yang akan meningkatkan produktivitas hingga tiga kali lipat dibandingkan sistem konvensional. Selain itu dari kualitas produk, bioflok diakui konsumen bahwa daging lele yang dihasilkan memiliki citarasa lebih enak dengan warna daging lebih putih.
Slamet menyebut, dengan potensi yang baik, dia optimis potensi ekonomi yang ada di pondok pesantren bisa digerakkan secara maksimal dan berikutnya kemajuan akan diraih oleh pondok pesantren tersebut.

Syamsul Mansur, pembudidaya ikan di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulsel, mulai mencoba budidaya ikan lele metode bioflok ini di pekarangan rumah. Kelebihannya karena tidak meninggalkan bau seperti halnya budidaya lele secara konvensional. Foto: Wahyu Chandra.

Lebih jauh Slamet menggambarkan, dengan asumsi per paket bantuan sebanyak 12 kolam bulat (diameter 3 m), produksi lele yang dihasilkan bisa mencapai 12,15 ton per tahun dengan nilai pendapatan mencapai Rp182 juta. Dengan kata lain, pembudidaya di pesantren akan mendapatkan nilai tambah keuntungan rata-rata sebesar Rp3.900 per kg.

Koperasi Pesantren
Untuk melaksanakan program tersebut, Slamet menjelaskan, KKP menyalurkannya melalui koperasi yang ada di pesantren. Koperasi tersebut sekaligus akan berperan sebagai pengelola kegiatan usaha dan penyangga akses pasar. Untuk itu, koperasi harus bisa berperan aktif menjadi mitra usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan para santri.
“Sisa dari hasil penjualan terhadap produksi ikan lele, agar digunakan untuk mengembangkan usaha budidaya ikan. Penting melakukan re-investasi untuk kesinambungan usaha,” tutur dia.
Nahnudin, perwakilan dari Ponpes Mihbahul Huda, Tegal, Jawa Tengah menyampaikan apresiasi atas realisasi program “Lele Bioflok Masuk Pesantren” ini. Dirinya menyambut baik upaya Pemerintah yang mulai konsen melirik pesantren sebagai objek pemberdayaan.
“Dengan adanya pengenalan usaha lele bioflok ini, nanti selain untuk kepentingan usaha, juga sebagai ladang pembelajaran untuk mencetak wirausahawan di kalangan para santri yang selama ini hanya mendapatkan pembelajaran mengaji saja. Selama ini kami hanya konsen belajar ngaji, mulai saat ini kemampuan santri akan lebih,” ungkapnya
Hal senada juga diungkapkan Samsul Arifin dari Ponpes Al Amiriah. Menurut dia, program ini diharapkan akan mendorong kemandirian pesantren melalui pengenalan usaha agribisnis budidaya lele. Terlebih, kata dia, jumlah santri yang ada di pesantren jumlahnya cukup banyak mencapai 300 orang santri inap dan 1.200 santri sekolah.
“Kami mengucapkan terimakasih kepada pemerintah yang telah memberikan dukungan dan perhatian bagi perkembangan pesantren yang ada di Indonesia,” pungkas dia.

Syamsul Mansur, pembudidaya ikan dengan metode bioflok di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulsel. Ada sekitar 3000 ekor ikan nila yang ditebar di kolam yang hanya berukuran 2×3 meter itu setinggi 80 cm itu. Begitu padatnya sehingga tak ada ruang yang cukup bagi ikan untuk berenang bebas. Foto: Wahyu Chandra.

Ketahanan Pangan
Selain untuk pengembangan ekonomi dan peningkatan gizi santri di pesantren, Slamet menyebut bahwa program budidaya lele bioflok juga bermanfaat besar untuk menciptakan ketahanan pangan. Tujuan itu bisa tercapai, karena ikan adalah lauk pauk yang bisa menggantikan berbahan nabati yang selama ini dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Slamet Soebjakto mengatakan, untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional yang semakin tinggi, maka langkah utama yang perlu dilakukan adalah melalui intensifikasi teknologi yang efektif dan efisien. Salah satunya, adalah dengan mengintensifkan penggunaan teknologi bioflok dalam sistem budidaya perikanan.
“Semua pelaku perikanan budidaya harus berkreasi mengedepankan Iptek dalam pengelolaan usaha budidaya ikan. Intinya dengan kondisi saat ini, produktivitas budidaya harus bisa dipacu dalam lahan terbatas dan dengan penggunaan sumberdaya air yang efisien,” ungkap dia.
Menurut Slamet, dalam mewujudkan ketahanan pangan yang bersumber dari ikan, masyarakat saat ini dihadapkan pada kondisi terjadinya perubahan iklim disertai penurunan kualitas lingkungan secara global. Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan semakin sedikitnya lahan untuk kebutuhan pangan dan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan nasional.
“Kebutuhan pangan dari ikan akan meningkat tajam seiring dengan target Indonesia untuk meningkatkan konsumsi masyarakat hingga 50 kilogram per orang per kapita pada 2019. Dengan target itu, maka suplai ikan perlu setidaknya 14,6 juta ton per tahun,” ujar dia.

Budidaya lele dengan menggunakan teknologi system bioflok yang sedang digalakkan oleh Dirjen Perikanan Budidaya KKP. Teknologi bioflok ini diyakin dapat meningkatkan produksi lele sampai tiga kali lipat. Foto : DJPB KKP

Salah satu upaya untuk menambah suplai ikan untuk masyarakat, kata Slamet, adalah dengan menambah produksi ikan secara nasional. Namun, untuk melakukan itu, diperlukan upaya yang sangat keras karena produksi ikan nasional berada dalam kondisi fluktuatif.
Sementara itu Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Nilanto Perbowo mengungkapkan, potensi sumber daya ikan di Indonesia dikenal sangat berlimpah. Tetapi, dari potensi besar tersebut, minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan sebagai lauk masih harus terus ditingkatkan.
Menurut Nilanto, ikan sebagai sumber protein sangat relevan untuk mendukung program prioritas Pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Selain itu, ikan juga meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat berbasis pada kelautan dan perikanan.
“Jika konsumsi ikan nasional meningkat, ini dapat menjadi penghela industri perikanan nasional. Ini juga dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dan mewujudkan kemandirian ekonomi untuk mendukung percepatan pembangunan industri perikanan nasional,” ungkap dia.
Nilanto mengungkapkan, dengan potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia sekarang, itu juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong perluasan dan kesempatan kerja, serta meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan bagi masyarakat.
Untuk itu, perlu didorong minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan hingga lebih memasyarakat. Salah satunya caranya, kata Nilanto, yaitu melalui program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN) yang sudah dicanangkan oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri pada 4 April 2004.
“Gerakan ini untuk membangun kesadaran gizi individu maupun kolektif masyarakat agar gemar mengonsumsi ikan. Gerakan ini melibatkan seluruh komponen atau elemen bangsa. Ini bukan hanya menjadi tugas KKP saja, tetapi juga menjadi tugas seluruh komponen institusi, lembaga, dan masyarakat,” ucap dia.
Lebih lanjut Nilanto mengatakan, hingga saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi pada Balita yang tersebar di seluruh daerah. Berdasarkan Global Nutrition Report yang dirilis pada 2014, sebanyak 37,2 persen Balita mengalami pertumbuhan kerdil (stunting), 12,1 persen pertumbuhan kurang dari standar usianya (wasting) dan 11,9 persen mengalami kelebihan berat badan (overweight).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PADA UNIT USAHA BUDIDAYA CBIB - Cara Budidaya ...