Selasa, 22 Desember 2020

 MUTU LINGKUNGAN TAMBAK


Sumber  : https://defishery.wordpress.com/2011/03/06/pengolahan-hasil-perikanan/


Mutu lingkungan tambak berhubungan dengan timbulnya penyakit, karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi mutu lingkungan, se-hingga usaha untuk mencegah timbulnya penyakit dapat dilakukan sedini mungkin.


Mutu lingkungan tambak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor lingkungan mikro (internal) dan faktor lingkungan makro (eksternal). Ling-kungan mikro adalah kondisi lingkungan di dalam lingkup tambak yang sepenuhnya dapat dikendalikan oleh petani tambak, sedangkan lingkungan makro adalah kondisi lingkungan di luar tambak, termasuk daerah pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS), yang mempunyai pengaruh cukup dominan terhadap mutu lingkungan mikro di dalam tambak, tetapi sulit untuk dikendalikan oleh petani tambak.


Lingkungan Mikro


Komponen yang berpengaruh dominan terhadap mutu lingkungan mikro terutama adalah : tanah/lahan tambak, tata letak dan konstruksi tambak, pengelolaan budidaya, dan jasad pengganggu.


Lahan/tanah tambak. Dua  hal  pokoknya yang perlu diperhatikan dalam mem-persiapkan tambak adalah jenis dan tekstur tanah (Poernomo, 1989; Poernomo, 1992). Lebih dari 75% jenis tanah di lahan pasang surut yang tersedia untuk pembangunan tambak adalah tanah pirit, sisanya berupa tanah gambut, dan tanah-tanah endapan baru (tanah timbul).


Lahan dengan tebal lapisan gambut lebih dari 0,5 m tidak dianjurkan untuk tambak, sedangkanlahan berpirit walaupun ber-masalah masih dapat diperbaiki dengan cara yang mudah dan murah. Perbaikan (reklamasi) tanah untuk tambak memer-lukan air laut yang cukup dan mudah mengalir karena gerakan pasang surut, serta tanggul tidak bocor (Poernomo, 1983; Poernomo, 1986; Poernomo, 1992; Poernomo and Singh, 1982).


Masalah yang sering dijumpai pada tambak udang intensif adalah :


Tambak-tambak yang dibangun di lahan gambut atau tanah berpirit, tanggulnya sangat rapuh sehingga tanah dasar tambak tidak dapat direklamasi, karena tidak dapat dikeringkan dengan baik. Penge-ringan tanah dasar secara sempurna mutlak harus dilakukan dalam proses reklamasi.

Walaupun tanggul cukup kuat dan tanah dasar dapat kering dengan se reklamasi ini tidak pernah dilakukan oleh petani. Aki-batnya pada musim tanam pertama sampai kedua udang masih dapat dipanen. Setelah itu, panen gagal karena udang yang dipelihara mati akibat gangguan fisik atau terserang penyakit. Kegagalan terbesar di Sumatera Utara disebabkan oleh karena tanahnya berpirit serta dipengaruhi oleh air rawa yang alkalinitasnya rendah dan kandungan asam organiknya tinggi. Kasus kegagalan karena tanah pirit juga banyak dijumpai di daerah lain, yaitu : Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Utara, Bali dan Jawa.

Usaha yang dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut adalah melakukan reklamasi secara tuntas pada tahap awal setelah konstruksi tambak selesai dan melakukan penebaran setelah reklamasi. Tambak tidak dapat dibangun pada tanah yang bertekstur pasir, sebab air terlalu banyak hilang, sehingga sulit memperoleh mutu air yang stabil dalam tambak. Selain itu kepadatan plankton sulit diper-tahankan, sehingga udang mengalami stres. Pada kondisi demikian bisa digunakan plastik untuk melapisi atau menutup tanah dasar dan lereng tanggul (tambak plastik), namun biayanya cukup mahal.


Tata letak dan Konstruksi.


Tata letak dan konstruksi tambak mempunyai fungsi strategis terhadap mutu air di dalam tambak udang intensif. Tata letak harus dibuat sedemikian rupa sehingga air buangan limbah dari petakan tidak mencemari sumber air pasok. Tata letak tersebut sangat penting terutama bagi tambak intensif yang terletak di satu hamparan.


Pada saat ini, hampir di setiap hamparan tambak intensif mempunyai saluran pasok utama dan buang pada tiap unit tambak yang kondisinya tumpang tindih, sehingga terjadi kontaminasi limbah dari air tambak. Kontaminasi limbah tersebut akan semakin parah karena pembuangan dan pengambilan air oleh masing-masing petani tambak tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan. 

Tangkap

 PERIKANAN TANGKAP

Sumber : https://defishery.wordpress.com/2011/03/11/dictionary-term/

Penangkapan ikan adalah aktivitas menangkap ikan. Istilah menangkap ikan tidak berarti bahwa yang ditangkap adalah ikan, namun istilah ini juga mencakup mollusca, cephalopoda, crustacea, dan echinoderm, dan hewan laut yang ditangkap tidak selalu hewan laut yang hidup di alam liar (perikanan tangkap), tapi juga ikan budi daya. Metode yang digunakan bervariasi, seperti tangkap tangan, tombak, jaring, kail, danjebakan ikan. Istilah penangkapan ikan terkadang juga mencakup usaha penangkapan mamalia air seperti paus, sehingga berkembang istilah perburuan paus.


Berdasarkan data FAO, total pelaku usaha penangkapan ikan komersial dan budi daya adalah 38 juta orang dan memberikan pekerjaan kepada 500 juta orang secara langsung maupun tidak langsung.[1] Pada tahun 2005, konsumsi ikan yang ditangkap di alam liar per kapita adalah 14.4 kilogram per tahun, sedangkan dari perikanan budi daya adalah 7.4 kilogram.


SEJARAH


Penangkapan ikan adalah praktek yang dilakukan sejak zaman prasejarah, sekitar zaman Paleolitikum (40 ribu tahun yang lalu).[3] Analisis isotopik dari sisa tulang belulang manusia Tianyuan yang berusia 40 ribu tahun diketahui bahwa ia mengkonsumsi ikan air tawar secara berkala.[4][5] Ciri arkeolgi seperti tumpukan sampah makanan,[6] sisa tulang ikan, dan lukisan gua menunjukan bahwa boga bahari dikonsumsi sebagai cara bertahan hidup yang penting. Selama masa itu, manusia utamanya hidup sebagai pemburu pengumpul dan secara berkala berpindah. Namun di Lepenski Vir terdapat pemukiman manusia purba yang diperkirakan bersifat permanen dan mereka sangat terkait dengan aktivitas penangkapan ikan sebagai sumber utamabahan pangan.


METODE


Terdapat berbagai metode untuk menangkap ikan dan juga hewan lainnya, seperti metode tangkap tangan,tombak, jaring, kail, dan jebakan ikan. Penangkapan ikan rekreasi, komersial, dan ahli memancing dapat menggunakan berbagai metode dalam satu waktu. Pemancing rekreasi mencari kesenangan dan aktivitas olahraga dalam memancing, sedangkan penangkapan ikan komersial mencari ikan untuk tujuan keuntungan. Pemancing tradisional menggunakan metode tradisional berteknologi rendah untuk bertahan hidup, dan biasanya terdapat di negara miskin atau dipertahankan sebagai warisan budaya di negara maju dan berkembang. Sebagian besar pemancing rekreasi menggunakan metode angling dan pemancing komersial menggunakan metode jaring.


Terdapat hubungan antara berbagai metode penangkapan ikan dan pengetahuan tentang ikan dan sifatnya, termasuk migrasi ikan, bagaimana ikan mencari makan, dan habitatnya. Penggunaan metode penangkapan ikan tertentu dapat membuahkan hasil yang amat bergantung pada pengetahuan tambahan tersebut.[7] Beberapa nelayan bahkan mengikuti langit (solunar theory) karena mereka percaya pola ikan dalam mencari makan dipengaruhi posisi bulan dan matahari.


ALAT TANGKAP


Pukat Udang (Shrimp Trawl)

Pukat udang adalah jenis jaring berbentuk kantong dengan sasaran tangkapannya udang. Jaring dilengkapi sepasang (2 buah) papan pembuka mulut jaring (otter board) dan Turtle ExcluderDevice/TED, tujuan utamanya untuk menangkap udang dan ikan dasar (demersal), yang dalam pengoperasiannya menyapu dasar perairan dan hanya boleh ditarik oleh satu kapal motor.


Pukat Ikan (Fish Net)

Pukat Ikan atau Fish Net adalah jenis penangkap ikan berbentuk kantong bersayap yang dalam operasinya dilengkapi (2 buah) papan pembuka mulut (otter board), tujuan utamanya untuk menangkap ikan perairan pertengahan (mid water) dan ikan perairan dasar (demersal), yang dalam pengoperasiannya ditarik melayang di atas dasar hanya oleh 1 (satu) buah kapal bermotor.


Pukat Kantong (Seine Net)

Pukat Kantong adalah alat penangkapan ikan berbentuk kantong yg terbuat dari jaring & terdiri dari 2 (dua) bagian sayap, badan dan kantong jaring. Bagian sayap pukat kantong (seine net) lebih panjang dari pada bagian sayap pukat tarik (trawl). Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap berbagai jenis ikan pelagis, dan demersal. Pukat Kan

Penyuluh Perikanan

 DASAR-DASAR PENYULUHAN PERIKANAN


Sumber: Pusat Pengembangan Penyuluhan Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan


PENGERTIAN PENYULUHAN


Penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Penyuluhan, dapat diartikan sebagai suatu sistem pendidikan yang bersifat non formal bagi pelaku utama dan/atau pelaku usaha beserta keluarganya


Penyuluhan perikanan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka tahu, mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup;


TUJUAN PENYELENGGARAAN  PENYULUHAN PERIKANAN


Memperkuat pengembangan kelautan dan perikanan, yang maju dan modern dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan

Memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi;

Memberikan kepastian bagi terselenggaranya penyuluhan yang produktif, efektif, efisien, terdesentralisasi, partisipatif, terbuka, berswadaya, bermitra sejajar, kesetaraan gender, berwawasan luas ke depan, berwawasan lingkungan, dan bertanggung gugat yang dapat menjamin terlaksananya pembangunan kelautan dan perikanan

Memberikan perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mendapatkan pelayanan penyuluhan serta bagi penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan; dan

Mengembangkan sumber daya manusia, yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan kelautan dan  perikanan

PELAKU UTAMA KEGIATAN PENYULUHAN PERIKANAN


Nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan beserta keluarga intinya


Pelaku usaha  adalah perorangan warganegara Indonesia  atau  korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha perikanan


Kelembagaan nelayan, pembudi daya ikan, pengolah  ikan ( pelaku utama ) adalah lembaga yang  ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk pelaku utama.


Penyuluh pegawai negeri sipil adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup kelautan dan perikanan,  untuk melakukan kegiatan penyuluhan.


Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang penyuluhan.


Penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh.


PENYULUH NON FUNGSIONAL.


Pegawai negeri sipil bukan pejabat penyuluh fungsional yang ditetapkan  oleh pejabat yang berwenang untuk  melaksanakan tugas penyuluhan perikanan


PENYULUH TENAGA KONTRAK.


Tenaga profesional yang diberi tugas dan  wewenang untuk melaksanakan tugas  penyuluhan perikanan dlm suatu ikatan kerja selama jangka waktu tertentu


PENYULUH KEHORMATAN.


Seseorang yang bukan petugas penyuluh perikanan yang karena jasanya diberi penghargaan sebagai Penyuluh Kehormatan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan rekomendasi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan Wakil Masyarakat.


Rekomendasi adalah pemberian persetujuan terhadap teknologi  yang akan digunakan sebagai materi penyuluhan.


Materi penyuluhan adalah bahan  penyuluhan dalam  berbagai bentuk yang  meliputi informasi teknologi, rekayasa sosial, manajemen ekonomi, hukum, dan kelestarian lingkungan.


Programa  penyuluhan  adalah rencana tertulis yang disusun secara sistematis untuk memberikan arah dan pedoman sebagai alat pengendali pencapaian  tujuan penyuluhan.


Kelembagaan penyuluhan   adalah lembaga pemerintah dan/atau masyarakat yang me

Perijinan Perikanan

Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 26/PERMEN-KP/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Pasal 16 Ayat 1. Persyaratan Penerbitan SIUP adalah sebagai berikut :

rencana usaha meliputi rencana investasi, rencana kapal, dan rencana operasional;
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik kapal atau perusahaan, dengan menunjukkan aslinya;
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan, dengan menunjukkan aslinya;
surat keterangan domisili usaha;
fotokopi akta pendirian perusahaan dengan menunjukkan aslinya;
fotokopi pengesahan badan hukum bagi perusahaan perikanan yang menggunakan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dengan jumlah kumulatif 300 (tiga ratus) GT keatas;
surat pernyataan bermeterai cukup dari pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan yang menyatakan:
a. kesanggupan membangun, memiliki UPI, atau bermitra dengan UPI yang telah memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) bagi usaha perikanan tangkap terpadu;
b. kesediaan mematuhi dan melaksanakan semua ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. kebenaran data dan informasi yang disampaikan.

Surat Izin Kapal Penangkapan Ikan (SIPI)

PENERBITAN IZIN BARU

Fotokopi SIUP
Fotokopi Grosse Akta dengan menunjukkan aslinya dan fotokopi Buku Kapal Perikanan, apabila grosse Akta dalam jaminan bank, harus melampirkan fotokopi akta hipotik dengan menunjukkan aslinya
Spesifikasi teknis alat penangkapan ikan yang digunakan
Fotokopi gambar rencana umum kapal (General Arragment)
Data kapal dengan format sebagaimana tercantum dalam lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini
Rencana target spesies penangkapan ikan
Surat Pernyataan bermaterai cukup dari pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan yang menyetakan :
Kesanggupan menerima, membantu kelancaran tugas dan menjaga keselamatan petugas pemantau (Observer) untuk kapal penangkap ikan berukuran 30 GT keatas
Kesanggupan untuk menjaga kelestarian SDI dan lingkungannya
Kesanggupan mengisi log book sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
Kesanggupan menggunakan nakhoda dan ABK berkewarganegaraan Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
Kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmitter Sistem Pemantauan kapal Perikanan (SPKP) sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
Kesanggupan merealisasikan pembangunan, kepemilikan UPI, atau kemitraan dengan UPI yang telah memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) bagi usaha perikanan tangkap terpadu
Kapal yang digunakan tidak tercantum dalam daftar kapal yang melakukan penangkapan ikan secara tidak sah, tidak melaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated fishing)
Kebenaran data dan informasi yang disampaikan
PENERBITAN IZIN PERPANJANGAN

Fotokopi SIUP
Fotokopi SIPI yang diperpanjang
Fotokopi Grosse Akta dengan menunjukkan aslinya dan fotokopi Buku Kapal Perikanan, apabila grosse Akta dalam jaminan bank, harus melampirkan fotokopi akta hipotik dengan menunjukkan aslinya
Surat Keterangan Aktivasi Transmitter SPKP yang masih berlaku
Surat Keterangan dari kepala Pelabuhan tempat kapal tersebut berpangkalan, yang menyatakan bahwa kapal tersebut berpangkalan dan mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan sesuai dengan yang tercantum dalam SIPI
Bukti penyampaian Laporan Kegiatan Usaha (LKU) dan Laporan Kegiatan Penangkapan (LKP)
Surat Pernyataan bermaterai cukup dari pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan yang menyatakan :
a. Kapal penangkap ikan tidak terdapat perubahan fungsi, spesifikasi teknis dan/atau alat penangkapan ikan
b. Kesanggupan menerima, mambantu kelancaran tugas, dan menjaga keselamatan petugas pemantau (observer) untuk kapal penangkap ikan berukuran 30 GT keatas
c. Telah merea

 

BUDIDAYA IKAN DAN UDANG ORGANIK

Untuk Semua jenis Biota Air : ( Air Asin, Payau, Tawar )

Sumber : https://defishery.wordpress.com/2010/02/01/perikanan-organik/

Perikanan organic merupakan upaya baru dalam peningkatan produksi dibidang perikanan dengan memanfaatkan keseimbangan ekosistem, polusi air yang disebabkan adanya kotoran ikan dan makan yang tidak habis menyebabkan produksi menurun dikarenakan banyaknya kasus kematian ikan dikolam, belum lagi polusi alam yang disebabkan aroma air kolam akan menimbulkan problem tersendiri dikalangan para petani ikan.
Dengan tehnologi organic untuk menekan polusi dikolam perikanan adalah cara yang cukup efektif untuk mengatasi berbagai masalah kematian ikan, penggantian air setiap kolam mulai keruh dan bau bukan sebuah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini, disamping akan menambah biaya perawatan dan produksi kemungkinan stress karena pemindahan akan air akan terjadi.
Salah satu cara adalah dengan menggunakan bio activator mikroba yang bisa mengurai limbah menjadi unsur yang bermanfaat bagi ekosistem kolam ikan, selain itu secara alami bisa menggunakan beberapa jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomis seperti kangkung, selada air, dan genjer bisa sedikit membantu polusi air kolam, disamping juga sebagai komoditi tambahan bagi petani ikan dari hasil panen sayuran, jenis sayuran ini bisa dijadikan sebagai makanan tambahan bagi ikan peliharaan.seperti halnya metode tumpang sari pada lahan sayuran bisa diterapkan juga dikolam perikanan dengan cara diatas.
Dengan mikroba akan meningkatkan produktifitas dan akan menghemat biaya pakan hingga 40%. Bio activator ini berfungsi sebagai penumbuh plankton sebagai makanan tambahan ikan dan meningkatkan kesuburan tanah disekitar lahan perikanan

Untuk Perluas Kolam / Tambak 1 are ( 100 m2 ) :

1. Menyiapkan Lahan Tambak Pemeliharaan

– Siapkan tambak / kolam dengan kedalam yang diinginkan baik dengan pola tradisional maupun moderen ( super Intensive )

– Setelah kolam siap aplikasikan Produk RI 1 pakan ikan dan udang dengan koposisi 30cc : 3 liter air, semprotkan diatas permukaan dasar kolam dengan merata, bertujuan untuk menguraikan kandungan kimia atau residu kimia yang terkandung dalam tanah.

– Bilamana Tambak atau kolam sudah tersedia dan sudah seringkali dipergunakan untuk pemeliharaan, kuras airnya terlebih dahulu sampai kering kemudian kupas permukaan dasar kolam + 5 – 10 cm dengan tujuan agar sisa – sisa kotoran ikan & udang dapat terbuang keluar dari dasar kolam, karena kotoran ikan & udang adalah bersifat racun yang dapat meracuni ikan maupun udang.

– Kemudian aplikasikan RI 1 Nutrisi Ikan & Udang dengan komposisi 30cc : 3 liter air diatas permukaan dasar kolam tadi, bertujuan untuk mengembalikan humus dan kandungan organik tanah sehingga limbah kotoran ikan & udang dapat terurai, diamkan selama + 2 hari.

– Tebarkan pupuk kandang pola Bokasi.

2. Cara Kerja Olah Bokasi

– Sediakan wadah untuk adonan ( Drum/Ember )

– Sediakan 100 kg pupuk kandang kering dan bersih

– Masukkan pupuk kandang tersebut kedalam wadah, kemudian is air sampai jenuh + 2cm dari permukaan pupuk kandang tersebut kemudian masukkan 500cc Nutrisi RI1 pakan Ikan & Udang aduk sampai merata.

– Tutup wadah adonan dengan rapat supaya proses olah bokasi menjadi sempurna selama 7 hari.

– Setelah proses olah bokasi terjadi dan pupuk kandang muali mengental, tuangkan kedalam kantung plastik kemudian remas dan lumatkan adonan pupuk kandang tersebut hingga membentuk adonan halus.

– Kemudian Pupuk pola olah bokasi siap ditebarkan, untuk perluas lahan 1m2 menghabiskan 5 kg pupuk dasar pola olah bokasi.

– Alirkan air kedalam kolam dengan kedalaman + 10 cm diamkan selama 2 hari biarkan dasar kolam menjadi jenuh air sehingga gelembung udara tidak terjadi lagi proses oksidasi sudah selesai, kemudian tambahkan air kedalam kolam sesuai kedalamam yqang diinginkan diamkan selama 3 hari setelah itu lanjutkan dengan tebar benih ikan maupun udang.

3. Tebar Benih Ikan maupun udang ( Pemeliharaan )

Dengan pakan buatan dan Nutrisi Pakan Ikan & Udang RI1 Organik

– Tebar benih sesuai kapasitas yang diinginkan idealnya + 50 s/d 60 ekor per 1M2 atau 5000 s/d 6000 ekor per 100 m2 atau 1 Are.

– Pada saat penebaran benih tidak perlu lagi memberikan pakan bagi ikan dan udang karena kesediaan pakan sudah cukup untuk kebutuhan selama 1 minggu.

– Aplikasi selanjutnya dilakukan setelah ikan & udang berumur 1 minggu, pada minggu ke 2 aplikasikan Nutrisi RI 1 Organik pakan Ikan & Udang dengan komposisi 30cc : 3 liter air tebarkan merata pada permukaan air kolam.

– selanjutnya pada minggu ke 3 aplikasikan RI1 Organik pakan Ikan & Udang 50 cc : 30 liter air tebarkan merata pada permukaan air kolam.

– Pada minggu ke 4 aplikasikan RI1 Organik 150 cc : 30 liter air tebarkan merata pada permukaan kolam sampai panen sesuai target umur dan besar ikan & udang yang diinginkan.

(Perhatian ! Untuk pakan buatan/pelet Volume pemakaiannya dapat dikurangi hingga 40 % atau pemberian pakan buatan/pelet dapat dilakukan 1 minggu 3 kali dengan volume normal setiap kali tebar)

Pemeliharaan & perawatan dengan Pakan RI1 Saja

– Tebar benih sesuai kapasitas yang diinginkan idealnya + 50 s/d 60 ekor per 1M2 atau 5000 s/d 6000 ekor per 100 m2 atau 1 Are.

– Pada saat penebaran benih tidak perlu lagi memberikan pakan bagi ikan dan udang karena kesediaan pakan sudah cukup untuk kebutuhan selama 1 minggu.

– Aplikasi selanjutnya dilakukan setelah ikan & udang berumur 1 minggu, pada minggu ke 2 aplikasikan Nutrisi RI 1 Organik pakan Ikan & Udang dengan komposisi 500cc : 30 liter air tebarkan merata pada permukaan air kolam.

– selanjutnya pada minggu ke 3 aplikasikan RI1 Organik pakan Ikan & Udang 750 cc : 30 liter air tebarkan merata pada permukaan air kolam.

– Pada minggu ke 4 aplikasikan RI1 Organik 1500 cc : 30 liter air tebarkan merata pada permukaan kolam sampai panen sesuai target umur dan besar ikan & udang yang diinginkan.

Manfaat & Kegunaannya

  • Dapat mengurangi kebutuhan pakan sampai maximum 40%
  • Dapat meniadakan 100 % pakan buatan / pelet cukup dengan RI1.
  • Dapat mrningkatkan daya tahan ikan & udang terhadap penyakit
  • Dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi ikan & Udang
  • Dapat memenuhi kebutuhan pakan bagi Ikan & Udang
  • Dapat membentuk aqua plankton & zooplankton sebagai pakan pokok Ikan & Udang
  • Dapat menjaga dan memperbaiki proses oksidasi
  • Tidak meninggalkan residu kimia didasar kolam
  • Dapat mencegah serangan penyakit
  • Cara aplikasi sangat mudah dan hemat
  • Pemakaian sedikit untuk lahan yang luas
  • Biaya murah
  • Meningkatkan pendapatan bagi petani
  • Membuka peluang kerja baru karna biaya tidak mahal.
  • Layak untuk dikonsumsi dan sehat

Perhatian ! :

  • Aplikasi dilakukan 1 minggu sekali
  • Aplikasi terbaik dilakukan pada pagi hari antara jam 06.00 s/d 09.00.
  • Dilarang mempergunakan Pupuk dan Obat – obatan anorganik.

I. Pendahuluan.
Lele merupakan jenis ikan yang digemari masyarakat, dengan rasa yang lezat, daging empuk, duri teratur dan dapat disajikan dalam berbagai macam menu masakan. PT. NATURAL NUSANTARA dengan prinsip K-3 (Kuantitas, Kualitas dan Kesehatan) membantu petani lele dengan paket produk dan teknologi.

II. Pembenihan Lele.
Adalah budidaya lele untuk menghasilkan benih sampai berukuran tertentu dengan cara mengawinkan induk jantan dan betina pada kolam-kolam khusus pemijahan. Pembenihan lele mempunyai prospek yang bagus dengan tingginya konsumsi lele serta banyaknya usaha pembesaran lele.

III. Sistem Budidaya.
Terdapat 3 sistem pembenihan yang dikenal, yaitu :
1. Sistem Massal. Dilakukan dengan menempatkan lele jantan dan betina dalam satu kolam dengan perbandingan tertentu. Pada sistem ini induk jantan secara leluasa mencari pasangannya untuk diajak kawin dalam sarang pemijahan, sehingga sangat tergantung pada keaktifan induk jantan mencari pasangannya.
2. Sistem Pasangan. Dilakukan dengan menempatkan induk jantan dan betina pada satu kolam khusus. Keberhasilannya ditentukan oleh ketepatan menentukan pasangan yang cocok antara kedua induk.
3. Pembenihan Sistem Suntik (Hyphofisasi).
Dilakukan dengan merangsang lele untuk memijah atau terjadi ovulasi dengan suntikan ekstrak kelenjar Hyphofise, yang terdapat di sebelah bawah otak besar. Untuk keperluan ini harus ada ikan sebagai donor kelenjar Hyphofise yang juga harus dari jenis lele.

IV. Tahap Proses Budidaya.
A. Pembuatan Kolam.
Ada dua macam/tipe kolam, yaitu bak dan kubangan (kolam galian). Pemilihan tipe kolam tersebut sebaiknya disesuaikan dengan lahan yang tersedia. Secara teknis baik pada tipe bak maupun tipe galian, pembenihan lele harus mempunyai :
Kolam tandon. Mendapatkan masukan air langsung dari luar/sumber air. Berfungsi untuk pengendapan lumpur, persediaan air, dan penumbuhan plankton. Kolam tandon ini merupakan sumber air untuk kolam yang lain.
Kolam pemeliharaan induk. Induk jantan dan bertina selama masa pematangan telur dipelihara pada kolam tersendiri yang sekaligus sebagai tempat pematangan sel telur dan sel sperma.
Kolam Pemijahan. Tempat perkawinan induk jantan dan betina. Pada kolam ini harus tersedia sarang pemijahan dari ijuk, batu bata, bambu dan lain-lain sebagai tempat hubungan induk jantan dan betina.
Kolam Pendederan. Berfungsi untuk membesarkan anakan yang telah menetas dan telah berumur 3-4 hari. Pemindahan dilakukan pada umur tersebut karena anakan mulai memerlukan pakan, yang sebelumnya masih menggunakan cadangan kuning telur induk dalam saluran pencernaannya.

B. Pemilihan Induk
Induk jantan mempunyai tanda :
– tulang kepala berbentuk pipih
– warna lebih gelap
– gerakannya lebih lincah
– perut ramping tidak terlihat lebih besar daripada punggung
– alat kelaminnya berbentuk runcing.
Induk betina bertanda :
– tulang kepala berbentuk cembung
– warna badan lebih cerah
– gerakan lamban
– perut mengembang lebih besar daripada punggung alat kelamin berbentuk bulat.

C. Persiapan Lahan.
Proses pengolahan lahan (pada kolam tanah) meliputi :
Pengeringan. Untuk membersihkan kolam dan mematikan berbagai bibit penyakit.
Pengapuran. Dilakukan dengan kapur Dolomit atau Zeolit dosis 60 gr/m2 untuk mengembalikan keasaman tanah dan mematikan bibit penyakit yang tidak mati oleh pengeringan.
Perlakuan TON (Tambak Organik Nusantara). untuk menetralkan berbagai racun dan gas berbahaya hasil pembusukan bahan organik sisa budidaya sebelumnya dengan dosis 5 botol TON/ha atau 25 gr (2 sendok makan)/100m2. Penambahan pupuk kandang juga dapat dilakukan untuk menambah kesuburan lahan.
Pemasukan Air. Dilakukan secara bertahap, mula-mula setinggi 30 cm dan dibiarkan selama 3-4 hari untuk menumbuhkan plankton sebagai pakan alami lele.
Pada tipe kolam berupa bak, persiapan kolam yang dapat dilakukan adalah :
– Pembersihan bak dari kotoran/sisa pembenihan sebelumnya.
– Penjemuran bak agar kering dan bibit penyakit mati. Pemasukan air fapat langsung penuh dan segera diberi perlakuan TON dengan dosis sama

D. Pemijahan.
Pemijahan adalah proses pertemuan induk jantan dan betina untuk mengeluarkan sel telur dan sel sperma. Tanda induk jantan siap kawin yaitu alat kelamin berwarna merah. Induk betina tandanya sel telur berwarna kuning (jika belum matang berwarna hijau). Sel telur yang telah dibuahi menempel pada sarang dan dalam waktu 24 jam akan menetas menjadi anakan lele.

E. Pemindahan.
Cara pemindahan :
– kurangi air di sarang pemijahan sampai tinggi air 10-20 cm.
– siapkan tempat penampungan dengan baskom atau ember yang diisi dengan air di sarang.
– samakan suhu pada kedua kolam
– pindahkan benih dari sarang ke wadah penampungan dengan cawan atau piring.
– pindahkan benih dari penampungan ke kolam pendederan dengan hati-hati pada malam hari, karena masih rentan terhadap tingginya suhu air.

F. Pendederan.
Adalah pembesaran hingga berukuran siap jual, yaitu 5 – 7 cm, 7 – 9 cm dan 9 – 12 cm dengan harga berbeda. Kolam pendederan permukaannya diberi pelindung berupa enceng gondok atau penutup dari plastik untuk menghindari naiknya suhu air yang menyebabkan lele mudah stress. Pemberian pakan mulai dilakukan sejak anakan lele dipindahkan ke kolam pendederan ini.

V. Manajemen Pakan.
Pakan anakan lele berupa :
– pakan alami berupa plankton, jentik-jentik, kutu air dan cacing kecil (paling baik) dikonsumsi pada umur di bawah 3 – 4 hari.
– Pakan buatan untuk umur diatas 3 – 4 hari. Kandungan nutrisi harus tinggi, terutama kadar proteinnya.
– Untuk menambah nutrisi pakan, setiap pemberian pakan buatan dicampur dengan POC NASA dengan dosis 1 – 2 cc/kg pakan (dicampur air secukupnya), untuk meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan tubuh karena mengandung berbagai unsur mineral penting, protein dan vitamin dalam jumlah yang optimal.

VI. Manajemen Air.
Ukuran kualitas air dapat dinilai secara fisik :
– air harus bersih
– berwarna hijau cerah
– kecerahan/transparansi sedang (30 – 40 cm).

Ukuran kualitas air secara kimia :
– bebas senyawa beracun seperti amoniak
– mempunyai suhu optimal (22 – 26 0C).

Untuk menjaga kualitas air agar selalu dalam keadaan yang optimal, pemberian pupuk TON sangat diperlukan. TON yang mengandung unsur-unsur mineral penting, lemak, protein, karbohidrat dan asam humat mampu menumbuhkan dan menyuburkan pakan alami yang berupa plankton dan jenis cacing-cacingan, menetralkan senyawa beracun dan menciptakan ekosistem kolam yang seimbang. Perlakuan TON dilakukan pada saat oleh lahan dengan cara dilarutkan dan di siramkan pada permukaan tanah kolam serta pada waktu pemasukan air baru atau sekurang-kurangnya setiap 10 hari sekali. Dosis pemakaian TON adalah 25 g/100m2.

VI. Manajemen Kesehatan.
Pada dasarnya, anakan lele yang dipelihara tidak akan sakit jika mempunyai ketahanan tubuh yang tinggi. Anakan lele menjadi sakit lebih banyak disebabkan oleh kondisi lingkungan (air) yang jelek. Kondisi air yang jelek sangat mendorong tumbuhnya berbagai bibit penyakit baik yang berupa protozoa, jamur, bakteri dan lain-lain. Maka dalam menejemen kesehatan pembenihan lele, yang lebih penting dilakukan adalah penjagaan kondisi air dan pemberian nutrisi yang tinggi. Dalam kedua hal itulah, peranan TON dan POC NASA sangat besar. Namun apabila anakan lele terlanjur terserang penyakit, dianjurkan untuk melakukan pengobatan yang sesuai. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa, bakteri dan jamur dapat diobati dengan formalin, larutan PK (Kalium Permanganat) atau garam dapur. Penggunaan obat tersebut haruslah hati-hati dan dosis yang digunakan juga harus sesuai.

Teknis Pemeliharaan Bandeng Organik


I. Pendahuluan.
Ikan bandeng merupakan adalah satu jenis ikan penghasil protein hewani yang tinggi. Usaha intensifikasi budidaya perlu dilakukan karena rendahnya produktivitas bandeng dengan budidaya tradisional. Peningkatan sistem budidaya juga harus diikuti dengan penggunaan teknologi baru.
PT. NATURAL NUSANTARA memberikan teknologi yang diperlukan dengan prinsip K-3 (Kuantitas, Kualitas dan Kesehatan).

II. Sifat Biologis.
Bandeng termasuk golongan ikan herbivora , yaitu bangsa ikan yang mengkonsumsi tumbuhan. Mampu mencapai berat rata-rata 0,6 kg pada usia 5 – 6 bulan dengan pemeliharaan yang intensif.

III. Penyediaan Benih.
Usaha penyediaan benih (nener) secara kontinyu dengan mutu yang baik dilakukan dengan sistem pembenihan yang intensif pada kolam-kolam khusus, yaitu kolam pematangan induk, pemijahan, peneneran dan kolam pembsaran. Dalam pembenihan bandeng langkah yang dilakukan adalah :
1. Pemilihan induk yang unggul . Induk yang unggul akan menurunkan sifat-sifatnya kepada keturunannya, Ciri-cirinya :
– bentuk normal, perbandingan panjang dan berat ideal.
– ukuran kepala relatif kecil, diantara satu peranakan pertumbuhannya paling cepat.
– susunan sisik teratur, licin, mengkilat, tidak ada luka.
– gerakan lincah dan normal.
– umur antara 4 5 tahun.

2. Merangsang pemijahan. Kematangan gonad dapat dipercepat dengan penggunaan hormone LHRH (Letuizing Hormon Releasing Hormon) melalui suntikan.`

3. Memijahkan. Pemijahan adalah pencampuran induk jantan dan berina yang telah matang sel sperma dan sel telurnya agar terjadi pengeluaran (ejakulasi) kedua sel tersebut. Setelah berada di air, sel sperma akan membuahi sel telur karena sistem pembuahan ikan terjadi diluar tubuh. Pemijahan dilakukan pada kolam khusus pemijahan

4. Penetasan. Telur yang mengapung di kolam pemijahan menetas setelah 24 – 26 jam dari awal pemijahan. Telur yang telah menetas akan menjadi larva yang masih mempunyai cadangan makanan dari kuning telur induk, sehingga belum perlu diberi pakan hingga umur 2 hari.

5. Merawat benih. Setelah berumur 9 hari larva dipindahkan ke kolam pemeliharaan nener . Di kolam ini larva diberi pakan alami berupa plankton. Penumbuhan plankton dilakukan dengan pemupukan dan pengapuran. Pemupukan yang tepat adalah dengan pupuk TON (TAMBAK ORGANIK NUSANTARA) yang mengandung berbagai unsur mineral penting untuk pertumbuhan plankton, diantaranya N,P,K,Mg, Ca, Mg, S, Cl dan lain-lain, juga dilengkapi dengan asam humat dan vulvat yang mempu memperbaiki tekstur dan meningkatkan kesuburan tanah dasar kolam dengan dosis 5 botol TON/ha atau 25 gr (2 sendok makan)/100 m2 pada tiap pemasukan air. Waktu peneneran 8 minggu. Pakan yang diberikan berupa tepung dengan kadar protein 30%. Untuk menambah nutrisi pakan pencampuiran pakan dengan NASA dengan dosis 2 – 5 /kg pakan sangat diperlukan, karena NASA mengandung unsur-unsur mineral penting yaitu N,P,K,Mg,Fe,Ca,S dan lain-lain, vitamin, protein dan lemak untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan nener.

IV. Pembesaran.
Setelah dipelihara di kolam peneneran selama 8 minggu, bandeng dipindahkan ke kolam pembesaran. Teknis pembesaran bandeng meliputi beberapa hal, yaitu :
1. Persiapan lahan.
Tahap ini dilakukan sebelum pemasukan air. kegiatan yang dilakukan selama persiapan lahan adalah :
– Pencangkulan dan pembalikan tanah. Bertujuan untuk membebaskan senyawa dan gas beracun sisa budidaya hasil dekomposisi bahan organik baik dari pakan maupun dari kotoran. Selain itu dengan menjadi gemburnya tanah, aerasi akan berjalan dengan baik sehingga kesuburan lahan akan meningkat.
– Pengapuran. Selama budidaya, ikan memerlukan kondisi keasaman yang stabil yaitu pada pH 7 – 8. Untuk mengembalikan keasaman tanah pada kondisi tersebut, dilakukan pengapuran karena penimbunan dan pembusukan bahan organik selama budidaya sebelumnya menurunkan pH tanah. Pengapuran juga menyebabkan bakteri dan jamur pembawa penyakit mati karena sulit dapat hidup pada pH tersebut. Pengapuran dengan kapur tohor, dolomit atau zeolit dengan dosis 1 TON /ha atau 10 kg/100 m2.
– Pemupukan. Fungsi utama pemupukan adalah memberikan unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan pakan alami, memperbaiki struktur tanah dan menghambat peresapan air pada tanah-tanah yang tidak kedap air (porous). Penggunaan TON untuk pemupukan tanah dasar kolam sangat tepat, karena TON yang mengandung unsur-unsur mineral penting, dan asam-asam organik utama memberikan bahan-bahan yang diperlukan untuk peningkatan kesuburan lahan dan pertumbuhan plankton. Dosis pemupukan TON adalah 5 botol/ha atau 25 gr/100 m2.
– Pengelolaan air. setelah dilakukan pemupukan dengan TON, air dimasukkan hingga setinggi 10 – 20 cm kemudian dibiarkan beberapa hari, untuk menumbuhkan bibit-bibit plankton. Air dimasukkan hingga setinggi 80 cm atau menyesuaikan dengan kedalaman kolam.

2. Pemindahan nener. Setelah plankton tumbuh (warna air hijau) dan kecerahan sedalam 30 – 40 cm, nener di kolam peneneran dipindahkan ke kolam pembesaran dengan hati-hati dengan adaptasi terhadap lingkungan yang baru.

3. Pemberian Pakan. Sesuai dengan sifat bandeng yang termasuk hewan herbivore, maka ikan ini suka memakan tumbuh-tumbuhan yang ada di kolam. Tumbuhan yang disukai bandeng adalah lumut, ganggang dan klekap. Untuk mempercepat pertumbuhan, perlu pakan buatan pabrik, dengan standar nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh optimal dengan kadar protein .minimal 25 – 28 %.

Sebagai hewan herbivora, unsur tumbuhan dalam pakan memang sangat penting,. Oleh karena itu, sebaiknya bahan baku unsur protein harus didominasi dari sumber tumbuhan atau nabati dari tepung kedelai atau bungkil kacang tanah. Sebagai acuan pemberian pakan adalah : Jumlah pakan 5 – 7% dari berat badan. Waktu pemberian 3 – 5 kali sehari.

Penambahan NASA pada pakan buatan merupakan pilihan yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan tubuh bandeng. NASA mengandung mineral-mineral penting, protein, lemak dan vitamin akan menambah kandungan nutrisi pakan. Dosis pencampuran NASA dengan pakan buatan adalah 2 – 5 cc/kg pakan dengan cara :
1. Timbang pakan sesuai dengan kebutuhan bandeng.
2. Basahi pakan dengan sedikit air agar pencampuran dengan NASA dapat merata.
3. Campurkan NASA sesuai jumlah pakan yang diberikan dengan dosis 2 – 5 cc/kg pakan.
4. Pakan siap untuk diberikan.
Pemberian pakan dengan menyebarkan secara merata pada seluruh areal kolam, agar seluruh bandeng dapat pakan.

V. Pengendalian hama dan Penyakit.
Penyakit penting yang sering menyerang bandeng adalah :
1. Pembusukan sirip, disebabkan oleh bakteri. Gejalanya sirip membusuk dari bagian tepi.
2. Vibriosis. Disebabkan oleh bakteri Vibriosis sp , gejalanya nafsu makan turun, pembusukan sirip, dan bagian perut bengkak oleh cairan.
3. Penyakit oleh Protozoa. Gejalanya nafsu makan hilang, mata buta, sisik terkelupas, insang rusak, banyak berlendir.
4. Penyakit oleh cacing renik. Sering disebabkan oleh cacing Diploctanum yang menyerang bagian insang sehingga menjadi pucat dan berlendir.
Penyakit dari bakteri, parasit dan jamur disebabkan lingkungan yang buruk, dan penurunan daya tahan tubuh ikan. Penurunan kualitas lingkungan disebabkan oleh tingginya timbunan bahan organik dan pencemaran lingkungan dari aliran sungai.. Bahan organik dan kotoran akan membusuk dan manghasilkan gas-gas yang berbahaya. Ketahanan tubuh ikan ditentukan konsumsi nutrisinya. Maka cara pengendalian penyakit harus menitikberatkan pada kedua faktor tersebut. Untuk mengatasi penurunan kualitas lingkungan dapat dilakukan perlakuan TON dengan dosis 5 botol/ha atau 25 gr (2 sendok makan)/100 m2 yang mengandung unsur mineral dan asam-asam organik penting yang mampu menetralkan berbagai gas berbahaya hasil pembusukan kotoran dalam kolam dan unsur mineral akan menyuburkan plankton sebagai pakan alami. Untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dalam jumlah yang ideal, perlu diberikan pakan dengan standar protein yang sesuai serta dengan penambahan/pencampuran NASA pada pakan buatan. NASA dengan kandungan mineral-mineral penting, vitamin, asam organic, protein dan lemak akan menambah dan melengkapi nutrisi pakan, sehingga ketahanan tubuh untuk hidup dan berkembang selalu tercukupi.

Teknis Pemeliharaan Udang Windu Organik

I. Pendahuluan
Budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1980-an, dan mencapai puncak produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun waktu tersebut udang windu merupakan penghasil devisa terbesar pada produk perikanan. Selepas tahun 1995 produksi udang windu mulai mengalami penurunan. Hal itu disebabkan oleh penurunan mutu lingkungan dan serangan penyakit. Melihat kondisi tersebut, PT. NATURAL NUSANTARA merasa terpanggil untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut dengan produk-produk yang berprinsip kepada Kualitas, Kuantitas dan Kelestarian (K-3).

II. Teknis Budidaya
Budidaya udang windu meliputi beberapa faktor, yaitu :
2.1. Syarat Teknis
– Lokasi yang cocok untuk tambak udang yaitu pada daerah pantai yang mempunyai tanah bertekstur liat atau liat berpasir yang mudah dipadatkan sehingga mampu menahan air dan tidak mudah pecah.
– Air yang baik yaitu air payau dengan salinitas 0-33 ppt dengan suhu optimal 26 – 300C dan bebas dari pencemaran bahan kimia berbahaya.
– Mempunyai saluran air masuk/inlet dan saluran air keluar/outlet yang terpisah.
– Mudah mendapatkan sarana produksi yaitu benur, pakan, pupuk , obat-obatan dan lain-lain.
– Pada tambak yang intensif harus tersedia aliran listrik dari PLN atau mempunyai Generator sendiri.

2.2. Tipe Budidaya.
Berdasarkan letak, biaya dan operasi pelaksanaannya, tipe budidaya dibedakan menjadi :
– Tambak Ekstensif atau tradisional.
Petakan tambak biasanya di lahan pasang surut yang umumnya berupa rawa bakau. Ukuran dan bentuk petakan tidak teratur, belum meggunakan pupuk dan obat-obatan dan program pakan tidak teratur.
– Tambak Semi Intensif.
Lokasi tambak sudah pada daerah terbuka, bentuk petakan teratur tetapi masih berupa petakan yang luas (1-3 ha/petakan), padat penebaran masih rendah, penggunaan pakan buatan masih sedikit.
– Tambak Intensif.
Lokasi di daerah yang khusus untuk tambak dalam wilayah yang luas, ukuran petakan dibuat kecil untuk efisiensi pengelolaan air dan pengawasan udang, padat tebar tinggi, sudah menggunakan kincir, serta program pakan yang baik.

2.3. Benur
. Benur yang baik mempunyai tingkat kehidupan (Survival Rate/SR) yang tinggi, daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang tinggi, berwarna tegas/tidak pucat baik hitam maupun merah, aktif bergerak, sehat dan mempunyai alat tubuh yang lengkap. Uji kualitas benur dapat dilakukan secara sederhana, yaitu letakkan sejumlah benur dalam wadah panci atau baskom yang diberi air, aduk air dengan cukup kencang selama 1-3 menit. Benur yang baik dan sehat akan tahan terhadap adukan tersebut dengan berenang melawan arus putaran air, dan setelah arus berhenti, benur tetap aktif bergerak.

2.4. Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan, meliputi :
– Pengangkatan lumpur. Setiap budidaya pasti meninggalkan sisa budidaya yang berupa lumpur organik dari sisa pakan, kotoran udang dan dari udang yang mati. Kotoran tersebut harus dikeluarkan karena bersifat racun yang membahayakan udang. Pengeluaran lumpur dapat dilakukan dengan cara mekanis menggunakan cangkul atau penyedotan dengan pompa air/alkon.
– Pembalikan Tanah. Tanah di dasar tambak perlu dibalik dengan cara dibajak atau dicangkul untuk membebaskan gas-gas beracun (H2S dan Amoniak) yang terikat pada pertikel tanah, untuk menggemburkan tanah dan membunuh bibit panyakit karena terkena sinar matahari/ultra violet.
– Pengapuran. Bertujuan untuk menetralkan keasaman tanah dan membunuh bibit-bibit penyakit. Dilakukan dengan kapur Zeolit dan Dolomit dengan dosis masing-masing 1 ton/ha.
– Pengeringan. Setelah tanah dikapur, biarkan hingga tanah menjadi kering dan pecah-pecah, untuk membunuh bibit penyakit.
– Perlakuan pupuk TON ( Tambak Organik Nusantara ). Untuk mengembalikan kesuburan lahan serta mempercepat pertumbuhan pakan alami/plankton dan menetralkan senyawa beracun, lahan perlu diberi perlakuan TON dengan dosis 5 botol/ha untuk tambak yang masih baik atau masih baru dan 10 botol TON untuk areal tambak yang sudah rusak. Caranya masukkan sejumlah TON ke dalam air, kemudian aduk hingga larut. Siramkan secara merata ke seluruh areal lahan tambak.

2.5. Pemasukan Air
Setelah dibiarkan 3 hari, air dimasukkan ke tambak. Pemasukan air yang pertama setinggi 10-25 cm dan biarkan beberapa hari, untuk memberi kesempatan bibit-bibit plankton tumbuh setelah dipupuk dengan TON. Setelah itu air dimasukkan hingga minimal 80 cm. Perlakuan Saponen bisa dilakukan untuk membunuh ikan yang masuk ke tambak. Untuk menyuburkan plankton sebelum benur ditebar, air dikapur dengan Dolomit atau Zeolit dengan dosis 600 kg/ha.

2.6. Penebaran Benur.
Tebar benur dilakukan setelah air jadi, yaitu setelah plankton tumbuh yang ditandai dengan kecerahan air kurang lebih 30-40 cm. Penebaran benur dilakukan dengan hati-hati, karena benur masih lemah dan mudah stress pada lingkungan yang baru. Tahap penebaran benur adalah :
– Adaptasi suhu. Plastik wadah benur direndam selama 15 30 menit, agar terjadi penyesuaian suhu antara air di kolam dan di dalam plastik.
– Adaptasi udara. Plastik dibuka dan dilipat pada bagian ujungnya. Biarkan terbuka dan terapung selama 15 30 menit agar terjadi pertukaran udara dari udara bebas dengan udara dalam air di plastik.
– Adaptasi kadar garam/salinitas. Dilakukan dengan cara memercikkan air tambak ke dalam plastik selama 10 menit. Tujuannya agar terjadi percampuran air yang berbeda salinitasnya, sehingga benur dapat menyesuaikan dengan salinitas air tambak.
– Pengeluaran benur. Dilakukan dengan memasukkan sebagian ujung plastik ke air tambak. Biarkan benur keluar sendiri ke air tambak. Sisa benur yang tidak keluar sendiri, dapat dimasukkan ke tambak dengan hati-hati/perlahan.

2.7. Pemeliharaan.
Pada awal budidaya, sebaiknya di daerah penebaran benur disekat dengan waring atau hapa, untuk memudahkan pemberian pakan. Sekat tersebut dapat diperluas sesuai dengan perkembangan udang, setelah 1 minggu sekat dapat dibuka. Pada bulan pertama yang diperhatikan kualitas air harus selalu stabil. Penambahan atau pergantian air dilakukan dengan hati-hati karena udang masih rentan terhadap perubahan kondisi air yang drastis. Untuk menjaga kestabilan air, setiap penambahan air baru diberi perlakuan TON dengan dosis 1 – 2 botol TON/ha untuk menumbuhkan dan menyuburkan plankton serta menetralkan bahan-bahan beracun dari luar tambak.
Mulai umur 30 hari dilakukan sampling untuk mengetahui pekembanghan udang melalui pertambahan berat udang. Udang yang normal pada umur 30 hari sudah mencapai size (jumlah udang/kg) 250-300. Untuk selanjutnya sampling dilakukan tiap 7-10 hari sekali. Produksi bahan organik terlarut yang berasa dari kotoran dan sisa pakan sudah cukup tinggi, oleh karena itu sebaiknya air diberi perlakuan kapur Zeolit setiap beberapa hari sekali dengan dosis 400 kg/ha. Pada setiap pergantian atau penambahan air baru tetap diberi perlakuan TON.
Mulai umur 60 hari ke atas, yang harus diperhatikan adalah manajemen kualitas air dan kontrol terhadap kondisi udang. Setiap menunjukkkan kondisi air yang jelek (ditandai dengan warna keruh, kecerahan rendah) secepatnya dilakukan pergantian air dan perlakuan TON 1-2 botol/ha. Jika konsentrasi bahan organik dalam tambak yang semakin tinggi, menyebabkan kualitas air/lingkungan hidup udang juga semakin menurun, akibatnya udang mudah mengalami stres, yang ditandai dengan tidak mau makan, kotor dan diam di sudut-sudut tambak, yang dapat menyebabkan terjadinya kanibalisme.

2.8. Panen.
Udang dipanen disebabkan karena tercapainya bobot panen (panen normal) dan karena terserang penyakit (panen emergency). Panen normal biasanya dilakukan pada umur kurang lebih 120 hari, dengan size normal rata-rata 40 – 50. Sedang panen emergency dilakukan jika udang terserang penyakit yang ganas dalam skala luas (misalnya SEMBV/bintik putih). Karena jika tidak segera dipanen, udang akan habis/mati.
Udang yang dipanen dengan syarat mutu yang baik adalah yang berukuran besar, kulit keras, bersih, licin, bersinar, alat tubuh lengkap, masih hidup dan segar. Penangkapan udang pada saat panen dapat dilakukan dengan jala tebar atau jala tarik dan diambil dengan tangan. Saat panen yang baik yaitu malam atau dini hari, agar udang tidak terkena panas sinar matahari sehingga udang yang sudah mati tidak cepat menjadi merah/rusak.

III. Pakan Udang.
Pakan udang ada dua macam, yaitu pakan alami yang terdiri dari plankton, siput-siput kecil, cacing kecil, anak serangga dan detritus (sisa hewan dan tumbuhan yang membusuk). Pakan yang lain adalah pakan buatan berupa pelet. Pada budidaya yang semi intensif apalagi intensif, pakan buatan sangat diperlukan. Karena dengan padat penebaran yang tinggi, pakan alami yang ada tidak akan cukup yang mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat dan akan timbul sifat kanibalisme udang.
Pelet udang dibedakan dengan penomoran yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan udang yang normal.
a. Umur 1-10 hari pakan 01
b. Umur 11-15 hari campuran 01 dengan 02
c. Umur 16-30 hari pakan 02
d. Umur 30-35 campuran 02 dengan 03
e. Umur 36-50 hari pakan 03
f. Umur 51-55 campuran 03 dengan 04 atau 04S
(jika memakai 04S, diberikan hingga umur 70 hari).
g. Umur 55 hingga panen pakan 04, jika pada umur 85 hari size rata-rata mencapai 50, digunakan pakan 05 hingga panen.
Kebutuhan pakan awal untuk setiap 100.000 ekor adalah 1 kg, selanjutnya tiap 7 hari sekali ditambah 1 kg hingga umur 30 hari. Mulai umur tersebut dilakukan cek ancho dengan jumlah pakan di ancho 10% dari pakan yang diberikan. Waktu angkat ancho untuk size 1000-166 adalah 3 jam, size 166-66 adalah 2,5 jam, size 66-40 adalah 2,5 jam dan kurang dari 40 adalah 1,5 jam dari pemberian.
Untuk meningkatkan pertumbuhan udang, perlu penambahan nutrisi lengkap dalam pakan. Untuk itu, pakan harus dicampur dengan POC NASA yang mengandung mineral-mineral penting, protein, lemak dan vitamin dengan dosis 5 cc/kg pakan untuk umur dibwah 60 hari dan setelah itu 10 cc/kg pakan hingga panen.

IV. Penyakit.
Beberapa penyakit yang sering menyerang udang adalah ;
1. Bintik Putih. Penyakit inilah yang menjadi penyebab sebagian besar kegagalan budidaya udang. Disebabkan oleh infeksi virus SEMBV (Systemic Ectodermal Mesodermal Baculo Virus). Serangannya sangat cepat, dalam beberapa jam saja seluruh populasi udang dalam satu kolam dapat mati. Gejalanya : jika udang masih hidup, berenang tidak teratur di permukaan dan jika menabrak tanggul langsung mati, adanya bintik putih di cangkang (Carapace), sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Virus dapat berkembang biak dan menyebar lewat inang, yaitu kepiting dan udang liar, terutama udang putih. Belum ada obat untuk penyakit ini, cara mengatasinya adalah dengan diusahakan agar tidak ada kepiting dan udang-udang liar masuk ke kolam budidaya. Kestabilan ekosistem tambak juga harus dijaga agar udang tidak stress dan daya tahan tinggi. Sehingga walaupun telah terinfeksi virus, udang tetap mampu hidup sampai cukup besar untuk dipanen. Untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak tersebut tambak perlu dipupuk dengan TON.

2. Bintik Hitam/Black Spot. Disebabkan oleh virus Monodon Baculo Virus (MBV). Tanda yang nampak yaitu terdapat bintik-bintik hitam di cangkang dan biasanya diikuti dengan infeksi bakteri, sehingga gejala lain yang tampak yaitu adanya kerusakan alat tubuh udang. Cara mencegah : dengan selalu menjaga kualitas air dan kebersihan dasar tambak.

3. Kotoran Putih/mencret. Disebabkan oleh tingginya konsentrasi kotoran dan gas amoniak dalam tambak. Gejala : mudah dilihat, yaitu adanya kotoran putih di daerah pojok tambak (sesuai arah angin), juga diikuti dengan penurunan nafsu makan sehingga dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kematian. Cara mencegah : jaga kualitas air dan dilakukan pengeluaran kotoran dasar tambak/siphon secara rutin.

4. Insang Merah. Ditandai dengan terbentuknya warna merah pada insang. Disebabkan tingginya keasaman air tambak, sehingga cara mengatasinya dengan penebaran kapur pada kolam budidaya. Pengolahan lahan juga harus ditingkatkan kualitasnya.

5. Nekrosis. Disebabkan oleh tingginya konsentrasi bakteri dalam air tambak. Gejala yang nampak yaitu adanya kerusakan/luka yang berwarna hitam pada alat tubuh, terutama pada ekor. Cara mengatasinya adalah dengan penggantian air sebanyak-banyaknya ditambah perlakuan TON 1-2 botol/ha, sedangkan pada udang dirangsang untuk segera melakukan ganti kulit (Molting) dengan pemberian saponen atau dengan pengapuran.
Penyakit pada udang sebagian besar disebabkan oleh penurunan kualitas kolam budidaya. Oleh karena itu perlakuan TON sangat diperlukan baik pada saat pengolahan lahan maupun saat pemasukan air baru.

A. Latar Belakang
Rumput laut (sea weeds) yang dalam dunia ilmu pengetahuan dikenal sebagai Algae sangat populer dalam dunia perdagangan akhir – akhir ini.
Rumput laut dikenal pertama kali oleh bangsa Cina kira – kira tahun 2700 SM. Pada saat itu rumput laut banyak digunakan untuk sayuran dan obat – obatan. Pada tahun 65 SM, bangsa Romawi memanfaatkannya sebagai bahan baku kosmetik. Namun dengan perkembangan waktu, pengetahuan tentang rumput lautpun semakin berkembang. Spanyol, Perancis, dan Inggris menjadikan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan gelas.
Kapan pemanfaatan rumput laut di Indonesia tidak diketahui. Hanya pada waktu bangsa Portugis datang ke Indonesia sekitar tahun 1292, rumput laut telah dimanfaatkan sebagai sayuran. Baru pada masa sebelum perang dunia ke – 2, tercatat bahwa Indonesia telah mengekspor rumput laut ke Amerika Serikat, Denmark, dan Perancis.

Sekarang ini rumput laut di Indonesia banyak dikembangkan di pesisir pantai Bali dan Nusa Tenggara. Mengingat panjangnya garis pantai Indonesia (81.000 km), maka peluang budidaya rumput laut sangat menjanjikan. Jika menilik permintaan pasar dunia ke Indonesia yang setiap tahunnya mencapai rata – rata 21,8 % dari kebutuhan dunia, sekarang ini pemenuhan untuk memasok permintaan tersebut masih sangat kurang, yaitu hanya berkisar 13,1%. Rendahnya pasokan dari Indonesia disebabkan karena kegiatan budidaya yang kurang baik dan kurangnya informasi tentang potensi rumput laut kepada para petani.

B. Kandungan
Rumput laut yang banyak dimanfaatkan adalah dari jenis ganggang merah (Rhodophyceae) karena mengandung agar – agar, keraginan, porpiran, furcelaran maupun pigmen fikobilin (terdiri dari fikoeretrin dan fikosianin) yang merupakan cadangan makanan yang mengandung banyak karbohidrat. Tetapi ada juga yang memanfaatkan jenis ganggang coklat (Phaeophyceae). Ganggang coklat ini banyak mengandung pigmen klorofil a dan c, beta karoten, violasantin dan fukosantin, pirenoid, dan lembaran fotosintesa (filakoid). Selain itu ganggang coklat juga mengandung cadangan makanan berupa laminarin, selulose, dan algin. Selain bahan – bahan tadi, ganggang merah dan coklat banyak mengandung jodium.

C. Manfaat
1. Agar – agar
Masyarakat pada umumnya mengenal agar – agar dalam bentuk tepung yang biasa digunakan untuk pembuatan puding. Akan tetapi orang tidak tahu secara pasti apa agar – agar itu. Agar – agar merupakan asam sulfanik yang meruapakan ester dari galakto linier dan diperoleh dengan mengekstraksi ganggang jenis Agarophytae. Agar – agar ini sifatnya larut dalam air panas dan tidak larut dalam air dingin.

Sekarang ini penggunaan agar – agar semakin berkembang, yang dulunya hanya untuk makanan saja sekarang ini telah digunakan dalam industri tekstil, kosmetik, dan lain – lain. Fungsi utamanya adalah sebagai bahan pemantap, dan pembuat emulsi, bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pembuat gel. Dalam industri, agar – agar banyak digunakan dalam industri makanan seperti untuk pembuatan roti, sup, saus, es krim, jelly, permen, serbat, keju, puding, selai, bir, anggur, kopi, dan cokelat. Dalam industri farmasi bermanfaat sebagai obat pencahar atau peluntur, pembungkus kapsul, dan bahan campuran pencetak contoh gigi. Dalam industri tekstil dapat digunakan untuk melindungi kemilau sutera. Dalam industri kosmetik, agar – agar bermanfaat dalam pembuatan salep, krem, lotion, lipstik, dan sabun. Selain itu masih banyak manfaat lain dari agar – agar, seperti untuk pembuatan pelat film, pasta gigi, semir sepatu, kertas, dan pengalengan ikan dan daging.

2. Keraginan
Keraginan merupakan senyawa polisakarida yang tersusun dari unit D-galaktosa dan L-galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa yang dihubungkan oleh ikatan 1 – 4 glikosilik. Ciri kas dari keraginan adalah setiap unit galaktosanya mengikat gugusan sulfat, jumlah sulfatnya lebih kurang 35,1%.
Kegunaan keraginan hampir sama dengan agar – agar, antara lain sebagai pengatur keseimbangan, pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi. Keraginan banyak digunakan dalam industri makanan untuk pembuatan kue, roti, makroni, jam, jelly, sari buah, bir, es krim, dan gel pelapis produk daging. Dalam industri farmasi banyak dimanfaatkan untuk pasta gigi dan obat – obatan. Selain itu juga dapat dimanfaatkan dalam industri tekstil, kosmetik dan cat.

3. Algin (Alginat)
Algin ini didapatkan dari rumput laut jenis algae coklat. Algin ini merupakan polimer dari asam uronat yang tersusun dalam bentuk rantai linier panjang. Bentuk algin di pasaran banyak dijumpai dalam bentuk tepung natrium, kalium atau amonium alginat yang larut dalam air.
Kegunaan algin dalam industri ialah sebagai bahan pengental, pengatur keseimbangan, pengemulsi, dan pembentuk lapisan tipis yang tahan terhadap minyak. Algin dalam industri banyak digunakan dalam industri makanan untuk pembuatan es krim, serbat, susu es, roti, kue, permen, mentega, saus, pengalengan daging, selai, sirup, dan puding. Dalam industri farmasi banyak dimanfaatkan untuk tablet, salep, kapsul, plester, dan filter. Industri kosmetik untuk cream, lotion, sampo, cat rambut,. Dan dalam industri lain seperti tekstil, kertas, fotografi, insektisida, pestisida, dan bahan pengawet kayu.

D. Fungsi TON dalam Ekologi Rumput Laut
Rumput laut pertama kali ditemukan hidup secara alami bukan hasil budidaya. Mereka tersebar di perairan sesuai dengan lingkungan yang dibutuhkannya. Rumput laut memerlukan tempat menempel untuk menunjang kehidupannya. Di alam tempat menempel ini bisa berupa karang mati, cangkang moluska, dan bisa juga berupa pasir dan lumpur.

Selain itu rumput laut sangat membutuhkan sinar matahari untuk melangsungkan proses fotosintesa. Banyaknya sinar matahari ini sangat dipengaruhi oleh kecerahan air laut. Supaya kebutuhan sinar matahari tersedia dalam jumlah yang optimal maka harus diatur kedalaman dalam membudidayakannya. Kedalaman idealnya adalah berada 30 – 50 cm dari permukaan air.

Proses fotosintesa rumput laut tidak hanya dipengaruhi oleh sinar matahari saja, tetapi juga membutuhkan unsur hara dalam jumlah yang cukup baik makro maupun mikro. Unsur hara ini banyak didapatkan dari lingkungan air yang diserap langsung oleh seluruh bagian tanaman. Untuk mensuplai unsur hara ini biasanya dilakukan pemupukan selama budidaya. Untuk membantu menyediakan unsur hara dalam jumlah yang optimal dan supaya cepat diserap oleh rumput laut ini, maka harus disediakan unsur hara yang sudah dalam keadaan siap pakai (ionik). Unsur hara ini banyak dikandung dalam TON (Tambak Organik Nusantara).

TON (Tambak Organik Nusantara), mengandung segala bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pertumbuhan rumput laut. Baik menyediakan unsur hara mikro lengkap, juga menyediakan unsur makro. Selain itu TON juga akan meningkatkan kualitas rumput laut, karena akan menurunkan tingkat pencemaran logam berat yang juga akan terserap oleh rumput laut. Jika logam berat ini tidak ada yang mengikat, maka akan ikut terserap dalam proses absorbsi unsur hara dari rumput laut, sehingga sangat berbahaya bagi konsumen. Dengan adanya TON, logam berat ini akan terikat dalam bentuk senyawa dan akan mengendap atau sulit terserap oleh proses absorbsi.

Pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh jumlah oksigen terlarut (DO), salinitas (kadar garam) dan temperatur. Kandungan Oksigen selain dipengaruhi oleh gerakan air juga dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara. Sehingga TON juga sangat penting untuk menunjang ketersediaan oksigen di perairan. Temperatur ideal bagi pertumbuhan rumput laut adalah berkisar 200 – 280 C

Dengan tersedianya unsur hara dalam jumlah yang optimal dan kondisi lingkungan yang seimbang karena pengaruh TON, maka kualitas dan kuantitas bahan – bahan yang dikandung oleh rumput laut juga akan meningkat.

Selain itu, pemakaian TON untuk budidaya rumput laut juga akan membantu mengikat senyawa – senyawa dan unsur – unsur berbahaya dalam perairan. Senyawa – senyawa dan unsur-unsur ini jika teradsorbsi dalam sistem metabolisme rumput laut, akan mengganggu pertumbuhan rumput laut dan juga akan menurunkan kualitas hasilnya. Selain itu jika rumput laut ini akan digunakan untuk bahan makanan, akan sangat berbahaya bagi yang menkonsumsinya. Kandungan senyawa karbon aktif dari TON akan sangat membantu untuk mereduksi senyawa-senyawa dan unsur – unsur berbahaya tersebut.

E. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pemakaian TON (Tambak Organik Nusantara)
Dalam menjalankan budidaya rumput laut, pertama yang harus diperhatikan adalah pemilihan lokasi budidaya. Sebaiknya lokasi budidaya diusahakan di perairan yang tidak mengalami fluktuasi salinitas (kadar garam) yang besar dan bebas dari pencemaran industri maupun rumah tangga. Selain itu pemilihan lokasi juga harus mempertimbangkan aspek ekonomis dan tenaga kerja.

Budidaya rumput laut dapat dilakukan di areal pantai lepas maupun di tambak. Dalam pembahasan sekarang ini kita akan menekankan pada budidaya di tambak. Hal ini mengingat peran TON yang tidak efektif jika diperairan lepas (pantai). Untuk budidaya perairan lepas dibedakan dalam beberapa metode, yaitu :
1. Metode Lepas Dasar
Dimana cara ini dikerjakan dengan mengikatkan bibit rumput laut pada tali – tali yang dipatok secara berjajar – jajar di daerah perairan laut dengan kedalaman antara 30 – 60 cm. Rumput laut ditanam di dasar perairan.

2. Metode Rakit
Cara ini dikerjakan di perairan yang kedalamannya lebih dari 60 cm. Dikerjakan dengan mengikat bibit rumput di tali – tali yang diikatkan di patok – patok dalam posisi seperti melayang di tengah – tengah kedalaman perairan.

3. Metode Tali Gantung
Jika dua metode di atas posisi bibit – bibit rumput laut dalam posisi horizontal (mendatar), maka metode tali gantung ini dilakukan dengan mengikatkan bibit – bibit rumput laut dalam posisi vertikal (tegak lurus) pada tali – tali yang disusun berjajar.

Pemakaian TON dengan 3 cara di atas hanya dapat dilakukan dengan sistem perendaman bibit. Karena jika TON diaplikasikan di perairan akan tidak efektif dan akan banyak yang hilang oleh arus laut. Metode perendaman bibit dilakukan dengan cara :
1. Larutkan TON dalam air laut yang ditempatkan dalam wadah .
2. Untuk 1 liter air laut diberikan seperempat sendok makan (5 – 10 gr) TON dan tambahkan 1 – 2 cc Hormonik.
3. Rendam selama 4 – 5 jam, dan bibit siap ditanam.

Pemakaian TON akan sangat efektif jika diaplikasikan dalam budidaya rumput laut di tambak. Cara budidaya di tambak ini dapat dilakukan dengan metode tebar. Caranya adalah sebagai berikut :
1. Tambak harus dilengkapi saluran pemasukan dan pengeluaran.
2. Tambak dikeringkan dahulu.
3. Taburkan kapur agar pH-nya netral ( 0,5 – 2 ton per-hektar tergantung kondisi keasaman lahan).
4. Diamkan selama 1 minggu.
5. Aplikasikan TON, dengan dosis 1 – 5 botol per-hektar (untuk daerah – daerah yang tingkat pencemarannya tinggi, dosisnya ditinggikan), dengan cara dilarutkan dengan air dahulu, kemudian disebar secara merata di dasar tambak.
6. Diamkan 1 hari
7. Masukkan air sampai ketinggian 70 cm.
8. Tebarkan bibit rumput laut yang sudah direndam dengan TON dan hormonik seperti cara perendaman di atas. Dengan kepadatan 80 – 100 gram/m2.
9. Bila dasar tambak cukup keras, bibit dapat ditancapkan seperti penanaman padi.
10. Tidak perlu ditambah pupuk makro.

F. Pemeliharaan dan aplikasi TON (Tambak Organik Nusantara) susulan.
Selama budidaya, harus dilakukan pengawasan secara kontinyu. Khusus untuk budidaya di tambak harus dilakukaan minimal 1 – 2 minggu setelah penebaran bibit, hal ini untuk mengontrol posisi rumput laut yang ditebar. Biasanya karena pengaruh angin, bibit akan mengumpul di areal tertentu, jika demikian harus dipisahkan dan ditebar merata lagi di areal tambak.

Kotoran dalam bentuk debu air (lumpur terlarut/ suspended solid) sering melekat pada tanaman, apalagi pada perairan yang tenang seperti tambak. Pada saat itu, maka tanaman harus digoyang – goyangkan di dalam air agar tanaman selalu bersih dari kotoran yang melekat. Kotoran ini akan mengganggu metabolisme rumput laut. Beberapa tumbuhan laut seperti Ulva, Hypea, Chaetomorpha, dan Enteromorpha sering membelit tanaman. Tumbuhan – tumbuhan tersebut harus segera disingkirkan dan dipisahkan dari rumput laut agar tidak menurunkan kualitas hasil. Caranya dengan mengumpulkannya di darat. Bulu babi, ikan dan penyu merupakan hewan herbivora yang harus dicegah agar tidak memangsa rumput laut. Untuk menghindari itu biasanya dipasang jaring disekeliling daerah budidaya. Untuk budidaya di tambak di lakukan dengan memasang jaring di saluran pemasukan dan pengeluaran.

G. Pemanenan
Pada tahap pemanenan ini harus diperhatikan cara dan waktu yang tepat agar diperoleh hasil yang sesuai dengan permintaan pasar secara kualitas dan kuantitas.

Tanaman dapat dipanen setelah umur 6 – 8 minggu setelah tanam. Cara memanen adalah dengan mengangkat seluruh tanaman rumput laut ke darat. Rumput laut yang dibudidayakan di tambak dipanen dengan cara rumpun tanaman diangkat dan disisakan sedikit untuk dikembangbiakkan lebih lanjut. Atau bisa juga dilakukan dengan cara petik dengan memisahkan cabang – cabang dari tanaman induknya, tetapi cara ini akan berakibat didapatkannya sedikit keraginan dan pertumbuhan tanaman induk untuk budidaya selanjutnya akan menurun.

Jika rumput laut dipanen pada usia sekitar satu bulan, biasanya akan diperoleh perbandingan berat basah dan berat kering 8 : 1, dan jika dipanen pada usia dua bulan biasanya akan didapat perbandingan 6 : 1. Untuk jenis gracilaria biasanya diperoleh hasil panen sekitar 1500 – 2000 kg rumput laut kering per- hektarnya. Diharapkan dengan penggunaan TON (Tambak Organik Nusantara) akan meningkat sekitar 30 – 100 %.

 

Teknik Penyusunan RDK dan RDKK

(Sumber : https://defishery.wordpress.com/2009/11/08/manajemen-kualitas-air/)

I. PENDAHULUAN

1. Dasar
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Lampiran 2 Pedoman Penyusunan Rencana Definitif Kelompok Tani (RDK) Dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK)

2. Latar Belakang
Program utama pembangunan pertanian yaitu: Peningkatan Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Kedua program tersebut pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan menuju Ketahanan Pangan Nasional maupun daerah, melalui tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu serta merata dengan harga terjangkau oleh seIuruh lapisan masyarakat di tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Untuk mewujudkan program ketahanan pangan tersebut, khususnya penyediaan pangan, perlu disusun rencana/sasaran setiap tahun. Petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian melalui musyawarah menyusun Rencana Definitif Kelompok (RDK) yang merupakan rencana kerja usahatani dari kelompok tani untuk satu periode 1 (satu) tahun berisi rincian kegiatan dan kesepakatan bersama dalam pengelolaan usahatani.

RDK hendaknya dijabarkan lebih lanjut oleh kelompok tani dalam suatu Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang merupakan alat perumusan untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi dan alat mesin pertanian, baik yang berdasarkan kredit/permodalan usahatani bagi anggota kelompok tani yang memerlukan maupun dari swadana petani. Pesanan berupa RDKK yang disusun melalui musyawarah anggota kelompok tani hendaknya disampaikan kepada Gabungan kelompok tani, Perusahaan Mitra (distributor pupuk dan benih) serta Perbankan (khusus untuk keperluan kredit) selambat-Iambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musim Tanam, sehingga teknologi dapat diterapkan sesuai anjuran.

Oleh karena itu penyusunan RDKK yang dilaksanakan oleh kelompok tani secara serentak dan tepat waktu merupakan kegiatan strategis, sehingga perlu suatu gerakan untuk mendorong petani/ kelompok tani menyusun RDKK.

Mekanisme penyusunan RDKK harus memperhatikan keinginan para petani, namun mengingat kemampuan petani dalam menyusun perencanaan masih terbatas, maka penyuluh pertanian perlu mendampingi dan membimbing petani/kelompok dalam menyusunnya, sehingga rencana yang disusun sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya.

3. Tujuan

Pedoman penyusunan RDK dan RDKK bertujuan:
1. Meningkatkan peran kelompok tani dalam menyusun rencana kegiatan usahatani berkelompok;
2. Meningkatkan peran penyuluh pertanian dalam membimbing kelompok tani penyusunan rencana kegiatan usahatani berkelompok.

3. Sasaran

Sasaran yang ingin dicapai adalah :
1. Tersusunnya rencana kegiatan usahatani berkelompok yang baik sebagai pedoman anggota kelompok dalam melaksanakan kegiatan usahataninya,
2. Tersusunnya rencana kebutuhan sarana produksi pertanian dan permodalan sebagai pendukung kegiatan usahatani;
3. Terlaksana tugas dan fungsi penyuluh secara optimal dalam membimbing kelompok tani penyusunan rencana kegiatan usahatani berkelompok.

4. Kata Kunci

1. Rencana Definitif Kelompok (RDK), adalah rencana kerja usahatani dari kelompok tani untuk 1 (satu), yang disusun melalui musyawarah dan berisi rincian kegiatan dan kesepakatan bersama dalam pengelolaan usahatani;
2. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) adalah rencana kebutuhan kelompok tani untuk 1 (satu) musim tanam yang disusun berdasarkan musyawarah anggota kelompok tani, meliputi kebutuhan benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian serta modal kerja, untuk mendukung pelaksanaan RDK yang dibutuhkan oleh petani yang merupakan pesanan kelompok tani kepada gabungan kelompok tani atau lembaga lain (distributor sarana produksi dan perbankan);
3. Penyuluhan Pertanian, adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup;
4. Penyuluh Pertanian PNS adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkuppertanian, perikanan, kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan;
5. Pertanian (mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan), adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat;
6. Usaha tani, adalah usaha di bidang pertanian, peternakan dan perkebunan;
7. Petani, adalah perorangan warga negara Indonesia beserta keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha di bidang pertanian, wanatani, minatani, agropasture, penangkaran satwa dan tumbuhan, di dalam dan di sekitar hutan, yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang;
8. Pekebun, adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha perkebunan;
9. Peternak, adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan;
10. Kontak tani adalah ketua atau mantan ketua kelompok tani yang masih aktif sebagai anggota kelompok dan diakui kepemimpinannya dalam menggerakkan anggota/petani untuk mengembangkan usahanya;
11. Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota;
12. Gabungan kelompok tani (GAPOKTAN) adalah kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha;
13. Pemberdayaan Kelompok, merupakan upaya memfasilitasi kelompok untuk menggunakan potensi dan kreatifitasnya sendiri dalam mencapai tujuan mensejahterakan petani anggotanya;
14. Intensifikasi Pertanian adalah upaya pengamalan ilmu dan teknologi dalam usahatani untuk meningkatkan Produktivitas dan efisiensi dengan memanfaatkan1 potensi tanaman, lahan, daya dan dana secara terpadu serta mempertahankan kelestarian sumberdaya alam.

II. PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOK (RDK) DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOK (RDKK)

1. Tata Cara Penyusunan RDK dan RDKK
1.1 Rencana Definitif Kelompok
Rencana Definitif Kelompok sebagai rencana kegiatan kelompok tani untuk 1 (satu) tahun yang berisi rincian kegiatan dan kesepakatan bersama dalam pengelolaan usahatani.
Rencana defenitif kelompok disusun dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pertemuan pengurus kelompok tani yang didampingi oleh Penyuluh Pertanian dalam rangka persiapan penyusunan RDK.
2. Pertemuan anggota kelompok tani dipimpin oleh Ketua Kelompok tani yang didampingi penyuluh pertanian untuk membahas, menyusun dan menyepakati rencana kegiatannya dalam pengelolaan usahatani antara lain ; pola tanam, sasaran areal tanam, sasaran produksi, sarana produksi dan permodalan, teknologi usahatani, jadwal kegiatan, pembagian tugas.
3. RDK dituangkan dalam bentuk format (terlampir) yang ditandatangani oleh ketua kelompok dan menjadi pedoman bagi anggota kelompok tani dalam menyelenggarakan kegiatan usahataninya.

1.2 Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK)
RDKK sebagai dasar rencana pengadaan dan pelayanan dari GAPOKTAN. Dalam pelaksanaan penyusunan RDKK mengacu kepada RDK masing-masing kelompok dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pertemuan pengurus kelompok tani yang didampingi oleh Penyuluh Pertanian dalam rangka persiapan penyusunan RDKK.
2. Pertemuan anggota kelompok tani dipimpin oleh Ketua Kelompok tani yang didampingi penyuluh pertanian untuk membahas, menyusun dan menyepakati daftar kebutuhan sarana produksi 6 tepat (tepat jenis, jumlah, waktu, tempat, harga dan mutu) yang akan dibiayai secara swadana maupun kredit dari tiap anggota kelompok tani. Daftar yang disusun akan berfungsi sebagai pesanan kelompok tani kepada GAPOKTAN. RDKK selesai paling lambat 1 bulan sebelum jadwal tanam.
3. Meneliti kelengkapan RDKK dan penandatanganan RDKK oleh Ketua kelompok tani yang diketahui oleh Penyuluh Pertanian.

2. Materi RDK dan RDKK
2.1 Rencana Definitif Kelompok (RDK)
Materi RDK meliputi:
1) Pola tanam dan pola usahatani yang disusun atas dasar pertimbangan :
a. Aspek teknis, meliputi; agroekosistem dan teknologi;
b. Aspek ekonomi, meliputi ; permintaan pasar, harga, keuntungan usahatani;
c. Aspek sosial, meliputi ; kebijakan pemerintah, kerja sama kelompok tani dan dukungan masyarakat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
2) Sasaran areal tanam dan produksi didasarkan atas;
a. Potensi wilayah kelompok tani;
b. Produktivitas dari masing-masing komoditi;
c. Kebutuhan konsumsi anggota kelompok dan permintaan pasar.
3) Teknologi usahatani,
a. Ketersediaan teknologi;
b. Rekomendasi teknologi;
4) Sarana produksi dan permodalan, didasarkan atas;
a. Luas areal usahatani kelompok tani;
b. Teknologi yang akan diterapkan;
c. Kemampuan permodalan anggota kelompok tani;
5) Jadwal kegiatan, mengacu kepada rencana kegiatan usahatani;
6) Pembagian tugas disesuaikan dengan kesediaan dan kesepakatan kelompok.

2.2 Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK)
Materi RDKK terdiri dari :
1) Jenis dan luas masing-masing komoditi yang diusahakan
2) Perhitungan kebutuhan:
a. benih
b. pupuk
c. pestisida
d. biaya garap dan pemeliharaan
e. biaya panen dan pasca panen
3) Jadwal penggunaan sarana produksi (sesuai kebutuhan lapangan)

Masing-masing kebutuhan tersebut ditentukan jumlah maupun nilai uangnya dan diperinci yang akan dibiayai secara swadana dan kredit.

III. MEKANISME PELAKSANAAN RDKK

1. Mekanisme Pengajuan RDKK
Proses pengajuan RDKK baik swadana maupun kredit dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1) RDKK yang telah disusun dibuat rangkap 3 (tiga), Lembar pertama disampaikan kepada GAPOKTAN sebagai pesanan sarana produksi pertanian dan permodalan, lembar ke-2 sebagai arsip penyuluh dan lembar ke-3 untuk arsip kelompok tani;
2) GAPOKTAN mengkompilasi RDKK dari kelompok tani dan menyampaikan hasilnya ke Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan;
3) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan melakukan verifikasi terhadap kompilasi RDKK dari GAPOKTAN sebelum diteruskan ke KPPKP atau Dinas Pertanian, apabila terdapat ketidaklengkapan RDKK tersebut dikembalikan ke GAPOKTAN untuk dilakukan perbaikan. Selanjutnya Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan meneruskan RDKK yang telah diverifikasi ke KPPKP atau Dinas Pertanian rangkap 2 (dua);
4) KPPKP atau Dinas Pertanian meneruskan setiap RDKK yang disampaikan oleh Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan ke unit pelayanan sarana produksi dan permodalan (distributor sarana produksi dan perbankan) setelah disetujui Pelaksana Kegiatan di KPPKP atau Dinas Pertanian. Disamping itu KPPKP atau Dinas Pertanian mengkompilasi RDKK yang telah masuk.

2. Mekanisme Penyaluran Sarana Produksi Pertanian dan Permodalan
2.1 Sarana Produksi Pertanian
Penyaluran sarana produksi dilakukan oleh distributor yang ditunjuk, langsung ke GAPOKTAN dengan tahapan sebagai berikut:
1) Atas dasar kompilasi RDKK yang diterima dari POSKO III, distributor menyusun rencana dan jadwal penyaluran sarana produksi dan selanjutnya dikonfirmasikan ke GAPOKTAN;
2) GAPOKTAN menginformasikan rencana dan jadwal penyaluran yang telah disepakati ke masing-masing POKTAN;
3) Atas dasar informasi GAPOKTAN, POKTAN menyiapkan anggotanya untuk menerima sarana produksi sesuai jadwal ditetapkan dan memenuhi kreteria 6 (enam) tepat.
Apabila Gapoktan belum mampu sebagai penyalur saprodi dapat bekerja sama dengan kios resmi yang sudah ada.

2.2 Permodalan
1) Penyalur kredit yang ditunjuk (perbankan) memverifikasi RDKK yang diterima dari POSKO III selanjutnya menyusun rencana dan jadwal pencairan kredit yang dikonfirmasikan ke GAPOKTAN;
2) Penyaluran dana kredit melalui GAPOKTAN, untuk selanjutnya menyelesaikan transaksi pengadaan sarana produksi dengan distributor. Dana kredit di luar sarana produksi diserahkan langsung kepada anggota kelompok melalui kelompok tani.

Teknis penyaluran sarana produksi dan permodalan diatur tersendiri bersama instansi terkait.

IV. GERAKAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN RDK/ RDKK

1. Persiapan Penyusunan RDK dan RDKK
1) Sosialisasi manfaat dan kegunaan RDK bagi para petani, stakeholders lainnya untuk peningkatan dan pengembangan usaha tani;
2) Inventarisasi faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha tani di masing-masing wilayah;
3) Meningkatkan kemampuan pendamping ( penyuluh, kepala desa, tokoh masyarakat setempat);
4) Meningkatkan kemampuan anggota kelompok dalam menyusun RDK dan RDKK.

2. Pelaksanaan Gerakan RDK dan RDKK
1) Penyusunan RDK dilaksanakan secara serentak pada hari Krida Pertanian (Juni-Juli ) untuk perencanaan usaha tani musim tanam Oktober-Maret dan musim tanam April-September;
2) Penyusunan RDKK selesai dilaksanakan pada Bulan Agustus untuk kegiatan Musim Tanam Oktober-Maret dan Bulan Pebruari untuk kegiatan musim tanam April-September, kemudian disampaikan kepada GAPOKTAN;
3) Penyampaian RDKK ke GAPOKTAN sampai realisasi penyaluran sarana produksi dan kredit dilaksanakan dalam jangka waktu 1 bulan;
4) Penyaluran masing-masing jenis sarana produksi disesuaikan dengan kebutuhan lapangan;
5) Pelaksanaan kegiatan usaha tani dilaksanakan secara gerakan bersama dalam kelompok sesuai dengan jadwal yang tercantum dalam RDK.

V. SUPERVISI DAN EVALUASI

1. Supervisi
Supervisi diselenggarakan secara terkoordinasi, berkala dan berkelanjutan, untuk memperlancar penyusunan RDK/RDKK serta gerakan-gerakannya mencapai sasaran yang diharapkan. Supervisi dilakukan secara bertingkat, yaitu :

1) Tim Supervisi Pusat melakukan supervisi ke Provinsi dalam rangka memantau sampai seberapa jauh penyusunan RDK/ RDKK dilaksanakan, permasalahan yang ada, serta saran pemecahannya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota;
2) Tim supervisi provinsi melakukan supervisi ke kabupaten/kota dan kecamatan;
3) Tim supervisi kabupaten/kota melakukan supervisi ke kecamatan, desa dan kelompok tani;
4) Pembinaan gerakan penyusunan RDK/ RDKK dilakukan oleh :
a. Camat selaku Ketua Posko IV melakukan pembinaan agar gerakan penyusunan RDK/RDKK diwilayahnya berjalan lancar;
b. Anggota Posko IV lainnya membina GAPOKTAN yang ada diwilayah kerjanya sesuai Tupoksi masing-masing;
c. Penyuluh Pertanian membimbing penerapan teknologi usaha tani yang dianjurkan.

Tim supervisi di masing-masing tingkatan ditetapkan oleh Ketua POSKO.

2. Evaluasi dan Pelaporan
Evalusi dan pelaporan dilaksanakan secara berjenjang untuk mengetahui kemajuan dan permasalahan yang timbul dalam penyusunan serta pelaksanaan gerakan-gerakan RDK dan RDKK sebagai bahan perbaikan perencanaan dimasa yang akan datang.

 

MINAPOLITAN

(Sumber : https://defishery.wordpress.com/2009/11/08/ikhtiologi/)

minapolitan merupakan bagian dari kawasan agropolitan. dimana berasal dari kata MINA dan POLITAN. mina = ikan. dan politan = kawasan.

KAWASAN AGROPOLITAN : Menurut UU Penataan Ruang No 26/2007, didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis.

KAWASAN MINAPOLITAN berdasarkan turunan kawasan Agropolitan : adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengeloaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem minabisnis.
Batasan Istilah dan Konsepsi Minapolitan

* Sentra pengembangan adalah suatu hamparan komoditas perikanan berskala ekonomi di suatu wilayah minaekosistem, dimana wilayah tersebut dilengkapi dengan sarana prasarana yang dibutuhkan, kelembagaan, pengolahan/pemasaran, dan sektor lain yang menunjang perkembangan dari sentra komoditas tersebut.

* Masterplan adalah rencana induk multi tahun komoditas ikan hias di kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar, kegiatannya meliputi komoditas unggulan dan komoditas penunjangnya serta pembangunan kegiatan lainnya yang serasi dan dibutuhkan sehingga pembangunan minaekosistem dengan komoditas unggulannya akan dapat mencapai sasaran, yaitu kesejahteraan pembudidaya dan pertumbuhan ekonomi wilayah.
* Kawasan minapolitan (berdasarkan turunan dari kawasan agropolitan) adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dari hierarki keruangan satuan sistem pemukiman dan sistem minabisis. Minapolitan/agropolitan menurut Friedman dan Douglass (1985) adalah aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah pedesaan denga jumlah penduduk antara 50.000 jiwa sampai dengan 150.000 jiwa.
* Komoditas andalan adalah sejumlah komoditas yang dapat dibudidayakan atau dikembangkan disuatu wilayah Kabupaten berdasarkan analisis kesesuaian aquaekologi (air, tanah dan iklim).
* Komoditas unggulan (misalnya ikan hias) adalah salah satu komoditas andalan yang paling menguntungkan untuk diusahakan di suatu wilayah yang mempunyai prospek pasar dan peningkatan pendapatan/kesejahteraan pembudidaya ikan dan keluarga serta mempunyai potensi sumberdaya lahan yang cukup besar.
* Komoditas penunjang adalah komoditas-komoditas lain yang dapat dipadukan pengusahaannya dengan komoditas pokok (unggulan) yang dikembangkan di suatu lokasi atau sentra komoditas unggulan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, sarana/prasarana) dan peningkatan pendapatan pembudidaya ikan melalui peningkatan produksi maupun keterpaduan pengusahaannya akan meningkatkan efisiensi/saling memanfaatkan
* Minabisnis merupakan suatu kegiatan penanganan komoditas secara komprehensif mulai dari hulu sampai hilir (pengadaan dan penyaluran minainput, proses produksi, pengolahan, dan pemasaran).

Konsep Pengembangan Kawasan Minapolitan

Berdasarkan issue dan permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi, pengembangan kawasan minapolitan merupakan alternative solusi untuk pengembangan wilayah (perdesaan). Kawasan minapolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat minapolitan dan desa-desa disekitarnya membentuk kawasan minapolitan. Disamping itu, kawsan minapolitan ini juga dicirikan dengan kawasan perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha minabisnis dipusat minapolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangun perikanan (minabisnis) diwilayah sekitarnya

Dalam pengembangannya, kawasan tersebut tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan minapolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan. Dengan demikian, tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan.

Disamping itu pentingnya pengembangan kawasan minapolitan di Indonesia diindikasikan oleh ketersediaan lahan perikanan dan tenaga kerja yang murah, telah terbentuknya kemampuan (skill) dan pengetahuan (knowledge) di sebagian besar pembudidaya, jaringan (network) terhadap sektor hulu dan hilir yang sudah terjadi, dan kesiapan pranata (institusi). Kondisi ini menjadikan suatu keuntungan kompetitif (competitive advantage) Indonesia dibandingkan denga negara lain karena kondisi ini sangat sulit untuk ditiru (coping) (Porter, 1998). Lebih jauh lagi, mengingat pengembangan kawasan minapolitan ini menggunakan potensi local, maka konsep ini sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya social local (local social culture).

Secara lebih luas, pengembangan kawasan minapolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal dan manusia. Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan minapolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud.

Dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan secara terintegrasi, perlu disusun masterplan pengembangan kawasan minapolitan yang akan menjadi cuan penyusunan program pengembangan. Adapun muatan yang terkandung didalamnya adalah:

1. Penetapan pusat agropolitan/minapolitan yang berfungsi sebagai (Douglas 1986):

1. Pusat perdagangan dan transportasi perikanan (aquacultural trade/transport center).
2. Penyedia jasa pendukung perikanan (aquacultural support services).
3. Pasar konsumen produk non-perikanan (non aquacultural consumers market).
4. Pusat industry perikanan (aqua based industry).
5. Penyedia pekerjaan non perikanan (non-aquacultural employment).
6. Pusat minapolitan dan hinterlandnya terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten).

2. Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai (Douglas, 1986):

1. Pusat produksi perikanan (aquacultural production).
2. Intensifikasi perikanan (aquacultural intensification).
3. Pusat pendapatan perdesaan da permintaan untuk barang-barang dan jasa non-perikanan (rural income and demand for non-aquacultural goods and services).
4. Produksi ikan siap jual dan diversifikasi perikanan (cash fish production and aquacultural diversification).

3. Penetapan sektor unggulan:

1. Merupakan sektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya.
2. Kegiatan minabisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar (sesuai dengan kearifan local).
3. Mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor.

4. Dukungan sistem infrastruktur

Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan minapolitan diantaranya: jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air, dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi).

5. Dukungan sistem kelembagaan.

1. Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan minapolitan yang merupakan bagian dari pemerintah daerah dengan fasilitasi pemerintah pusat.
2. Pengembangan sistem kelembagaan insentif dan disinsentif pengembangan kawasan minapolitan.

Melalui keterkaitan tersebut, pusat minapolitan dan kawasan produksi perikanan berinteraksi satu sama lain secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan untuk meningkatkan niali tambah (value added) produksi kawasan minapolitan sehingga pembangunan perdesaan dapat dipacu dan migrasi desa-kota yang terjadi dapat dikendalikan.
Pengembangan Wilayah

Perwilayahan atau regionalisasi adalah pembagian wilayah nasional dalam satuan geografi (atau daerah administrasi) sehingga setiap bagian mempunyai sifat tertentu yang khas (Gitlin dalam Jayadinata, 1991:174). Ini dimaksudkan pula untuk pemerataan pembangunan

Pengembangan wilayah atau regional planning adalah semua usaha yang dengan sadar merencanakan pengembangan daerah ditinjau dari berbagai segi sebagai satu kesatuan, yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hubungan manusia dan alamnya (Nurzaman 19xx:2). Berbagai segi tersebut meliputi: ekonomi, sosial, maupun fisik. Sehingga hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh seorang regional planner ialah menyelaraskan struktur hubungan spasial dari suatu aktifitas ekonomi (Friedmann, 1966:39). Pengembangan wilayah antara lain ditujukan untuk:

1. Meningkatkan keserasian&keseimbangan antar pembangunan sektoral dengan regional
2. Meningkatkan keserasian & keseimbangan pembangunan antarwilayah,
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan dan
4. Meningkatkan keserasian hubungan antar pusat-pusat wilayah dengan hinterlandnya serta hubungan antara kota & desa (Muta’ali,1995).

Rondinelli (1985), mengungkapkan bahwa tingkat perkembangan wilayah (regional growth) dapat diukur dalam 3 indikator, yaitu:

1. Karakteristik sosio-ekonomi dan demografi, diukur melalui pendapatan perkapita, kebutuhan fisik (fasilitas) minimum, PDRB, investasi, jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, dan kepadatan penduduk.
2. Kontribusi industri dan produksi pertanian diukur melalui prosentase penyerapan tenaga kerja, jumlah perusahaan komersil, luas total lahan, produktivitas pertanian.
3. Transportasi, diukur melalui kualitas, kepadatan, tipe dan panjang jalan.

Menurut Soepono (1990:161), pertumbuhan wilayah dapat diukur dari indikator-indikator berikut ini; pertumbuhan penduduk, pendapatan perkapita atau PDRB, dan Perubahan struktur spasial wilayah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengembangan wilayah merupakan perpaduan antara pengembangan spasial dan non spasial.
Penataan Ruang

Kegiatan penataan ruang, menurut UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, meliputi keseluruhan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pertimbangan utama dalam penataan ruang meliputi kriteria kawasan budidaya dan non budidaya dalam pemanfaatan lahan, kondisi sosial ekonomi wilayah dan ‘interest’ (minat sektor pembangunan, aspirasi daerah, kaitan antar wilayah dan lain sebagainya). Secara garis besar penataan ruang bertujuan menunjang:

1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budidaya
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk: mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas SDM; mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan

Bagian wilayah berupa ruang yang merupakan transisi antara ruang laut dan ruang darat lebih dikenal sebagai pesisir. Pengertian Pesisir menurut Jacub Rais (1996) adalah suatu konsep keruangan yang mana terjadi interaksi darat-laut, yang harus dibedakan dengan pantai, karena pantai adalah pengertian fisik sebagai bagian dari pesisir. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota.

Menurut Dahuri et.al.(2000:6), untuk kepentingan pengelolaan, batasan pesisir ke arah darat dapat ditetapkan menjadi 2 jenis, yaitu batasan untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day to day management). Apabila terdapat kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir, maka wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu). Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan (perencanaan dan pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan.

Berbagai aktifitas yang dapat dilakukan di pesisir dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah dan pembangunan ekonomi (Cicin-Sain dan Knetch:1998, dalam Sondita, 2001:9), meliputi:
Aktifitas Perwilayahan dan Ekonomi di Kawasan Pesisir
Fungsi Aktifitas
1. Perencanaan

Wilayah

* Pengkajian lingkungan pesisir dan pemanfaatannya
* Penentuan zonasi pemanfaatan ruang
* Pengaturan proyek-proyek pembangunan pesisir dan kedekatannya dengan garis pantai
* Penyuluhan masyarakat untuk apresiasi terhadap kawasan pesisir/ lautan
* Pengaturan akses umum terhadap pesisir dan lautan

2. Pembangunan Ekonomi

* Industri perikanan tangkap
* Perikanan rakyat
* Wisata massal dan ekowisata, wisata bahari
* Perikanan budidaya
* Perhubungan laut dan pembangunan pelabuhan
* Pertambangan lepas pantai
* Penelitian kelautan & Akses terhadap sumberdaya genetika

Sumber: Cicin-Sain dan Knetch : 1998

Perencanaan dan pengelolaan pesisir secara sektoral berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumberdaya atau ruang pesisir oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, atau industri minyak dan gas (Dahuri et.al., 2001:11), pengelolaan semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan untuk melakukan aktifitas pembangunan pada wilayah pesisir yang sama. Konflik yang sering terjadi di wilayah pesisir dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Konflik di antara pengguna yang mengenai pemanfaatan daerah pesisir dan laut tertentu. Menurut Miles (1991, dalam Prihartini et.al. 2001:24), konflik antar pengguna meliputi: (a) Kompetisi terhadap ruang dan sumberdaya pesisir dan laut (b) Dampak negatif dari suatu kegiatan pemanfaatan terhadap kegiatan yang lain, (c) Dampak negatif terhadap ekosistem
2. Konflik di antara lembaga pemerintah yang melaksanakan program yang berkaitan dengan pesisir dan laut; yang disebabkan oleh ketidakjelasan mandat hukum dan misi yang berbeda, perbedaan kapasitas, perbedaan pendukung atau konstituensi, serta kurangnya komunikasi dan informasi (Cicin-Sain, 1998).

Adapun sebagai upaya menghindari terjadinya konflik pemanfataan ruang pesisir maka diperlukan prinsip-prinsip penataan ruang pesisir (Anonim, 2003:4), sebagai berikut:

1. Penataan ruang wilayah pesisir perlu menetapkan batas-batas daerah pengembangan di lautan dengan prinsip menjamin pemanfaataan yang berkelanjutan, terutama bagi ekosistem yang memiliki dampak luas dan penting bagi ekosistem laut lainnya, serta memberi kesempatan pemulihan area yang telah rusak.
2. Mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda dalam satu daerah pantai dan pesisir secara bersinergi satu dengan lainnya, tanpa ada satu pihak yang dirugikan.
3. Dalam rangka pengembangan dan penataan ruang wilayah pesisir diperlukan keterpaduan program, baik lintas sektor maupun daerah. Dalam kerangka tersebut, pelaksanaan pembangunan yang konsisten dengan rencana tata ruang yang telah disusun sangat mendukung terwujudnya keterpaduan pelaksanaan pembangunan.
4. Perlu diarahkan untuk menyediakan ruang yang memadai bagi kegiatan masyarakat pesisir yang spesifik, yakni pemanfaatan sumberdaya di laut. Strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada kegiatan darat dalam mengejar pertumbuhan ekonomi selama ini terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan , namun menjadikan masyarakat pesisir semakin terpinggirkan.

Oleh karena itulah, dibutuhkan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Menurut Dahuri et.al. (2001:11), perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktifitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.
Perikanan

Subsektor perikanan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru perekonomian Indonesia mengingat prospek pasar, baik dalam negeri maupun internasional cukup cerah (Parwinia, 2001:1).

Menurut Soselisa (2001:5), perikanan didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya hewan atau tanaman air yang hidup bebas di laut atau perairan umum. Adapun menurut Mubyarto (1984:23), yang dimaksud dengan perikanan ialah segala usaha penangkapan, budidaya ikan serta pengolahan sampai pemasaran hasilnya. Sedangkan menurut UU No 9 tahun 1985, perikanan ialah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yaitu kegiatan ekonomi bidang penangkapan/pembudidayaan ikan.

Klasifikasi Ikan didalam UU No 9 tahun 1985 adalah: Pisces (ikan bersirip), crustacea (udang, kepiting, dan sebangsanya), Mollusca (kerang, cumi-cumi, dsb), Echinodermata (teripang, bulu babi dsb), Amphibi (kodok, dsb), Reptilia (buaya, penyu,dsb), Mammalia (paus, pesut, dsb), Algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidup di air), dan biota perairan lain yang berkaitan dengan jenis-jenis diatas. Untuk kepentingan pengelolaan (Anonim, 2001:II-38), ikan laut digolongkan sebagai berikut:

a) Ikan Karang,

b) Rumput Laut,

c) Ikan Hias, misalnya: Napoleon,

d) Ikan Demersal, ialah kelompok ikan yang hidup dan mencari makan di dasar laut/perairan, seperti: kakap, pari

e) Ikan Pelagis Kecil, ialah ikan yang hidup dan mencari makan di laut bagian atas dekat dengan permukaan, meliputi: layang, teri, tembang, lemuru, dan belanak,

f) Ikan Pelagis Besar, umumnya termasuk kategori ikan ekonomis penting, diantaranya tuna, tongkol, cucut, dan layangan, serta

g) Krustasea, meliputi: udang peneaid, lobster, kerang, Cumi-Cumi

Ikan merupakan sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri. Disamping renewable, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan mempunyai sifat ’open access’ dan ’common property’, artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain: tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation/overfishing), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment). Sebagai komoditi ekonomi, sifat komoditi perikanan dapat diuraikan:

1. Jumlah dan kualitas hasil perikanan dapat berubah-ubah karena sangat tergantung pada keadaan cuaca dalam tahun yang bersangkutan (Hanafiah, 1986:4)
2. Lokal dan spesifik, tidak dapat diproduksi di semua tempat (Soekartawi, 1999:177)
3. Perputaran modal cepat
4. Jumlahnya banyak tetapi nilainya relatif sedikit/bulky (Soekartawi, 1999:177)
5. Mudah rusak (perishable) dan resiko tinggi sehingga jika pemasarannya tidak cepat sampai ke konsumen harga ikan bisa turun drastis (Rahardi et.al, 2001:14).

Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sub-subsektor perikanan (Setyohadi, 1997:33), diantaranya:

1. Nelayan,
2. Tengkulak Ikan atau pedagang pengumpul,
3. Koperasi Perikanan,
4. Pengusaha Perikanan,
5. Konsumen Ikan, dan
6. Departemen Kelautan dan Perikanan Khususnya Direktorat Jenderal Perikanan ditingkat nasional dan propinsi serta Dinas Perikanan dan Kelautan di Kabupaten/Kota,

Departemen Pertanian (1985) merumuskan bahwa perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan perikanan ditempuh melalui empat usaha pokok yaitu:

1. Ekstensifikasi, yakni upaya peningkatan produksi perikanan/perairan melalui perluasan/ penambahan sarana produksi dan/atau areal baru meliputi perluasan daerah penangkapan ikan (fishing ground) bagi usaha penangkapan ikan (Anonim, 2001:xx)
2. Intensifikasi, yang diarahkan untuk mencapai produktifitas yang optimal dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya perikanan,
3. Diversifikasi, merupakan upaya penganekaragaman usaha perikanan dan pengembangan industri pengolahan, dan
4. Rehabilitasi, meliputi perbaikan sarana/prasarana penunjang sumberdaya perikanan.

Empat usaha tersebut diupayakan secara terpadu, disesuaikan dengan kondisi sumberdaya, kebutuhan masyarakat serta memperhatikan pola tata ruang dan pembangunan sektor/subsektor lain (F.X. Murdjijo, 1997:15).

Dalam pelaksanaan pembangunan perikanan terdapat syarat mutlak dan syarat pelancar (Mosher, 1986 dalam Aisyah, 2003:17). Syarat mutlak merupakan syarat yang harus ada agar pembangunan perikanan berjalan lancar, jika salah satu syarat tersebut dihilangkan maka pelaksanaan pembangunan perikanan akan terhenti (kegiatan perikanan dapat berjalan namun sifatnya statis). Syarat mutlak (Banoewidjoyo, 1987 dalam Aisyah, 2003:17) adalah:

1. Adanya pasar hasil perikanan dan jalur pemasaran yang pendek,
2. Perkembangan teknologi perikanan,
3. Tersedianya bahan dan alat produksi secara lokal,
4. Adanya perangsang produksi bagi nelayan, serta
5. Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu untuk hasil perikanan.

Sedangkan yang termasuk syarat pelancar, diantaranya:

1. Pelaksanaan pendidikan pembangunan,
2. Pemberian kredit dan sarana produksi,
3. Kegiatan gotong-royong dikalangan petani ikan,
4. Perbaikan dan perluasan lahan untuk kegiatan perikanan

Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas (Soselisa, 2001:2). Menurut UU No. 19 tahun 1985 tentang Perikanan, penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, menangkap, mengumpulkan, menyimpan, mengolah atau mengawetkannya.

Perikanan tangkap menggunakan peralatan utama kapal yang dilengkapi dengan alat tangkap, baik kapal bermotor maupun non motor. Alat tangkap yang biasanya digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan di perairan Indonesia diantaranya:

1. Long line,
2. Pole and Line;
3. Jaring insang hanyut (Drift Gill Net);
4. Pukat cincin (Purse Seine) atau jaring lingkar.

Konsep Pengembangan Kegiatan Fungsional Perikanan (Agribisnis Perikanan)

Dalam PROPENAS, strategi yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan serta produksi perikanan Indonesia adalah penerapan sistem agribisnis terpadu berkelanjutan di bidang perikanan. Untuk mewujudkan usaha tersebut, kebijakan yang ditempuh adalah :

1. Meningkatkan keterkaitan antara subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi tinggi.
2. Pengembangan agribisnis harus mampu meningkatkan aktifitas pedesaan.
3. Pengembangan agribisnis diarahkan pada pengembangan mitra usaha antara skala besar dan skala kecil secara serasi, sehingga nilai tambah dari kegiatan agribisnis dapat dinikmati secara adil oleh seluruh pelakunya.
4. Pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra produksi perikanan dalam suatu skala ekonomi yang efisien.

Pembangunan nasional berwawasan agribisnis perlu difasilitasi sedikitnya oleh dua strategi dasar yaitu:

(1) Pendekatan agropolitan dalam pengembangan agribisnis, dan

(2) Restrukturisasi dan konsolidasi agribisnis.

Secara konsepsional, sistem agribisnis dapat diartikan sebagai semua aktifitas mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai kepada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh produsen primer dan agroindustri, yang saling terkait satu sama lain (Parwinia, 2001:7). John Davis dan Ray Goldberg (1957) yang merupakan salah satu pencetus konsep agribisnis mendefinisikannya sebagai berikut: “Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distributions of farm supplies; production operations on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them”. Secara skematis Agribisnis dapat dilihat pada gambar 2.1.

Menurut Soekartawi (1993, dalam Winarta, 2003:9), yang dimaksud dengan agribisnis perikanan adalah suatu kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan, hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan perikanan atau kegiatan usaha yang menunjang perikanan. Sebagai sebuah sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait. Terputusnya salah satu bagian akan menyebabkan timpangnya sistem tersebut.

Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem hulu, usahatani, hilir, dan penunjang (Syahrani, 2001:4). Menurut Saragih (1998), batasan agribisnis adalah sistem utuh dan saling terkait di antara seluruh kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan pertanian. Menurut Muslich (1999, dalam Winarta, 2003:9).

Konsep pembangunan ekonomi agribisnis perikanan meliputi empat subsistem, yakni:

1. Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribussiness), yaitu kegiatan industri dan perdagangan yang menghasilkan sarana produksi primer seperti alat tangkap, kapal, dan lain sebagainya.
2. Subsistem usaha tani (on-farm agribussiness), yakni kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi perikanan primer, yakni kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan.
3. Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribussiness), yakni kegiatan ekonomi yang mengolah komoditi perikanan menjadi produk olahan, pemasaran dan distribusinya, dan
4. Subsistem penunjang kegiatan perikanan (agrosupporting institutions).

Pada pembahasan berikut akan dideskripsikan kegiatan yang berlangsung pada masing-masing subsistem tersebut:

1. Subsistem Agribisnis Hulu, Meliputi kegiatan perencanaan produk, perencanaan lokasi usaha, perencanaan standar produksi, dan pengadaan tenaga kerja, pengadaan dan penyaluran sarana produksi berupa kapal dan alat tangkap,dll (Rahardi et.al., 2001:6)
2. Subsistem Agribisnis Usahatani, merupakan kegiatan penangkapan ikan di laut atau perairan lain pada perikanan tangkap dan kegiatan yang dimulai dari pembesaran/ pemeliharaan, pemberian pakan dan pemupukan, pengaturan air, pengendalian hama dan penyakit, sampai dengan panen pada perikanan budidaya (Ditjen Perikanan,1994).
3. Subsistem Agribisnis Hilir mencakup segala kegiatan pengolahan pasca produksi primer (penangkapan) hingga ke pemasaran. Industri hasil perikanan (fish processing industry), yakni seluruh mata rantai kegiatan dalam usaha pengolahan hasil laut, seperti pengalengan, pengeringan, pembekuan dan sebagainya. Jenis industri ini disebut sebagai industri sekunder. Pengemasan (packing) juga termasuk dalam rangkaian kegiatan pengolahan dan agroindustri.

Menurut Kristiawati (2001), berdasarkan jenis pengolahan yang dilakukan agroindustri perikanan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yakni:

1. Industri primer, yang mencakup industri penanganan ikan hidup, penanganan ikan segar (fillet, sashimi, loins), industri pembekuan dan pendinginan ikan.
2. Industri Pengolahan sekunder, mencakup industri pengolahan ikan kaleng dan ikan kemasan lainnya serta industri pengolahan tradisional seperti pengasinan, penggaraman, pindang, dsb.
3. Industri pengolahan tersier, meliputi setiap bentuk industri yang menggunakan ikan sebagai bahan tambahan, seperti indutri terasi, petis, abon, tepung ikan,dsb.

Syaiful (2003:4) menggolongkan Industri Hasil Perikanan (IHP) yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir, meliputi : Industri penanganan ikan hidup, Industri penanganan ikan segar, Industri pembekuan ikan, Industri pengalengan ikan, Industri pengolahan tradisional, Industri pengolahan produk diversifikasi dan hasil samping, Industri tepung ikan dan pakan ternak, Industri rumput laut. Www.belitungisland.com dalam studi profil investasi pulau Belitung menstratifikasi agroindustri berbasis perikanan dalam kelompok berikut ini :

Standar Kapasitas Produksi Agroindustri Perikanan
Jenis Agroindustri Skala Kapasitas produksi
Musim Barat Musim Timur Rata-rata
Industri Pembekuan

Ikan (cold storage)
Kecil 100 kg/hari 10 ton/hari –
Industri Penangkapan

&Pendinginan Ikan
Kecil – – 15 ton/hari
Industri Pengasinan

Ikan
Kecil – – 500 ton/thn
Industri Pengalengan

Ikan
Kecil – -100.000 ton/thn

Sumber: http://www.belitungisland.com

Penawaran hasil perikanan bersumber dari produksi, kelebihan stok dan impor (Parwinia:2003). Untuk hasil perikanan seperti shellfish yang sifatnya cepat rusak, hanya dapat disimpan selama beberapa jam setelah panen/penangkapan kecuali disimpan dalam keadaan dingin (refrigated condion), maka produksi merupakan sumber penawaran terpenting (Hanafiah et.al., 1986:80). Menurut Rahardi et.al (2001:4), sasaran pemasaran komoditi perikanan berkaitan erat dengan tiga variabel, yakni: Jenis ikan yang dipasarkan, Konsumen yang dituju, dan Jumlah permintaan konsumen.

Pasar domestik diisi oleh permintaan komoditi perikanan oleh masyarakat untuk konsumsi harian (Nikijuluw,1997:280), dan kebutuhan industri pengolahan yang melayani konsumen domestik, baik yang sifatnya industri rumah tangga maupun industri skala menengah dan besar. Produk dari agroindustri maupun dari nelayan kemudian dipasarkan mengikuti rantai pemasaran tertentu. Menurut Hanafiah (1986:28), panjang pendeknya saluran tata niaga yang dilalui oleh suatu komoditi perikanan tergantung pada beberapa faktor, yakni:

1. Jarak antara produsen dan konsumen,
2. Cepat tidaknya produk rusak,
3. Skala produksi,
4. Modal pengusaha.
5. Subsistem Agribisnis Penunjang kegiatan perikanan (agrosupporting institutions), merupakan kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis seperti perbankan, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, transportasi. Salah satu subsistem penunjang yang memiliki peran signifikan ialah organisasi nelayan.

Keterkaitan Fungsional dalam Pengembangan Kegiatan Perikanan

Secara sektoral, perkembangan wilayah terjadi melalui satu atau beberapa pertumbuhan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan kegiatan ekonomi akan merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi lainnya, terutama kegiatan sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Perkembangan wilayah melibatkan hubungan berbagai kegiatan dalam perekonomian daerah yang luas. Berbagai rangkaian kegiatan memberikan peluang-peluang produksi dari suatu kegiatan ke kegiatan lain di dalam perekonomian daerah, sehingga mengakibatkan pertumbuhan atau kemunduran wilayah (Hoover,1977 :37). Rangkaian ini dapat berupa keterkaitan hulu dan hilir. Berbagai teori tentang pendorong pertumbuhan daerah menekankan peranan permintaan output-output daerah dan rangkaian kegiatan atau sektor ekonomi yang mengarah ke muka (keterkaitan hilir).

Konsep teori kutub pertumbuhan menekankan perlunya industri utama (leading industri) dikembangkan disuatu wilayah dan memiliki kaitan-kaitan antar industri yang kuat dengan sektor-sektor lain. Kaitan-kaitan ini dapat berbentuk (Glasson,1977:174):

1. Kaitan ke depan (forward linkage), dalam hal ini industri tersebut mempunyai rasio penjualan hasil industri antara yang tinggi terhadap penjualan total
2. Kaitan ke belakang (backward linkage), dalam hal ini industri tersebut mempunyai rasio yang tinggi terhadap input.

Teori kutub pertumbuhan sangat bertumpu pada kedua kaitan ini karena berperan dalam penjalaran pertumbuhan dari sektor utama ke sektor pendukung yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dalam wilayah maupun pertumbuhan ekonomi wilayah lain.

Di Indonesia, setelah diberlakukannya konsep otonomi daerah dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang bottom-up, sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di setiap daerah harus dapat mendayagunakan sumberdaya yang terdapat atau dikuasai oleh masyarakat di daerah tersebut. Cara yang paling efektif untuk membangkitkan pengembangan sektor ekonomi berbasis kegiatan sumberdaya alam di Indonesia adalah melalui pengembangan agribisnis, yang tidak saja mencakup pengembangan pertanian primer (on farm agribusiness) tetapi juga mencakup industri yang menghasilkan sarana produksi (up stream agribusiness) dan industri-industri yang mengolah hasil pertanian primer dan kegiatan perdagangannya (down-stream agribusiness).

Keterkaitan yang harmonis antara sub-subsistem agribisnis perikanan mutlak dibutuhkan untuk mencapai tingkat produktifitas dan nilai jual yang tinggi pada komoditi perikanan (Anonim, 2002:2). Menurut Sadjad (2003:1), sebagai sebuah pola sistem, agribisnis merupakan sebuah entitas yang ditopang oleh subsistem yang diantara satu sama lainnya terjalin hubungan saling ketergantungan yang agregatif dan berfungsi untuk mencapai seluruh target sistem, bukan sekedar target masing-masing subsistem. Antar subsistem terjadi “harmonious orderly interaction” dan agribisnis yang dibangun merupakan bentuk “social economic organization” yang berorientasi bisnis.

Hirchman mengemukakan bahwa dalam kegiatan produksi mekanisme perangsang pembangunan yang tercipta merupakan akibat adanya hubungan antar berbagai industri (sektor) dalam menyediakan barang-barang yang digunakan sebagai bahan mentah bagi industri (sektor) lain. Interaksi ini terdiri atas pengaruh hubungan ke belakang (backward linkages) atau keterkaitan hulu, dan pengaruh hubungan ke depan (forward linkage) atau keterkaitan hilir. Pengaruh keterkaitan hulu adalah tingkat rangsangan yang ditimbulkan oleh industri terhadap perkembangan industri/sektor lain yang akan menyediakan input bagi industri tersebut. Sedangkan pengaruh keterkaitan hilir adalah tingkat rangsangan yang ditimbulkan oleh suatu industri terhadap perkembangan industri yang menggunakan output industri pertama sebagai inputnya.
Aspek Lingkungan dalam Pengembangan Kegiatan Perikanan

Dalam mewujudkan sistem agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan ada dua isu lingkungan yang perlu dijawab: Pertama, Meningkatkan tuntutan masyarakat global akan produk agribisnis yang memenuhi atribut ramah lingkungan (eco-labelling) dan aman dikonsumsi (food safety). Kedua, Kurang diperhatikannya aspek lingkungan ke dalam kegiatan agribisnis di Indonesia sehingga mengakibatkan: Penurunan produktivitas sumberdaya alam; meningkatnya biaya input dan proses agribisnis untuk memenuhi standar mutu pasar; dan terancamnya keberlanjutan kegiatan agribisnis dalam jangka panjang.

Oleh karena itulah, Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dalam kebijakan dan program pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian 2001-2004 merumuskan Program Pengembangan Agribisnis Berwawasan Lingkungan (Eco-agribusiness). Program ini tersusun dari sub-program pengembangan Eco-Agroindustri, Eco-Farming dan Organic-Farming, yang saling mendukung dan secara keseluruhan merupakan implementasi dari kebijakan dan strategi yang difokuskan pada pengembangan instrumen sistem pengelolaan lingkungan untuk mewujudkan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan.

Program pengembangan Eco-agribisnis menyangkut seluruh rangkaian kegiatan agribisnis, baik agribisnis hulu (up-stream agribusiness), usahatani (on-farm agribusiness), maupun hilir (down-stream agribusiness). Sasaran program ini adalah: Meningkatnya daya saing dan kualitas produk agribisnis karena memenuhi atribut eco-labelling dan food safety yang dituntut konsumen sehingga memacu ekspor; Berkembangnya usaha baru (terutama mikro,kecil dan menengah) dan kesempatan kerja produktif di subsistem hulu/hilir yang mendukung pengembangan eco-agribusiness Terpeliharanya kualitas dan produktivitas SDA sehingga menjamin pengembangan agribisnis berkelanjutan dalam jangka panjang; Meningkatnya efisiensi, efektivitas dan produktivitas proses produksi karena penerapan instrumen pengelolaan lingkungan, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam memelihara produktivitas sumberdaya alam sehingga menjamin pengembangan agribisnis yang berkelanjutan dalam jangka panjang pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep “hasil maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield/MSY). Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Menurut Suyasa (2003:3), konsep MSY berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum, dan belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (social oriented) dan ekonomi.

Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost. Hasil kompromi 2 pendekatan tersebut melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Dengan demikian, besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan Total Allowable Catch (TAC). Di Indonesia, konsep TAC diaplikasikan dengan nama JTB atau Jumlah Tangkapan diperbolehkan yang diatur dalam SK Mentan No. 995/Kpts/IK.210/ 9/1999. JTB adalah banyaknya sumberdaya ikan yang boleh ditangkap dengan memperhatikan pengamanan konservasinya di wilayah perikanan Indonesia. Penetapan jumlah JTB disuatu kawasan penangkapan ikan (fishing ground) sebesar 80% dari MSY.

sumber : ferrianto djais,DKP.2009


  PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PADA UNIT USAHA BUDIDAYA CBIB - Cara Budidaya ...