Deskripsi Ampas Tahu
Sumber : http://lositasustri.blogspot.com/2012/10/kandungan-protein-pada-pelet-ikan-yang.html
Ampas tahu merupakan limbah dari pembuatan tahu. Bahan utama pembuatan tahu adalah kacang kedele (Glycine max Merr) dengan kandungan proten berkisar 33- 42% dan kadar lemak 18-22% (Rachtamianto, 1974). Proses pembuatan tahu meliputi tahap perendaman kedelai, penggilingan, pendidhan bubur kedele, penyaringan atau pemerasan, penggumpalan sari kedelai dan pengempresannya. Pada proses penyaringan, bahan yang tersaring yaitu berupa padatan yang kita kenal sebagai ampas. Jumlah protein dari ampas tahu sangat bervariasi, terganting pada proses pembuatannya. Pada pembuatan tahu secara tradisional dilakukan secara manual, sehingga akan dihasilkan ampas tahu dengan kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan secara mekanis. Ampas tahu biasanya berasal dari kacang kedele yang telah dimasak, sehingga ampas tahu mempunyai nilai biologis yang lebih tinggi daripada biji kedelai itu sendiri (Winarno, 1985).
Ampas tahu memiliki daya tahan yang rendah, karena ampas tahu segar masih mengandung kadar air tinggi yaitu sekitar 84,5 persen dari bobotnya. Ampas tahu basah akan segera menjadi rusak dalam waktu 2-3 hari sehingga tidak disukai oleh ikan. Masalah ini dapat ditangani dengan cara dijemur atau di dalam oven lalu digiling sehingga menjadi tepung, namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Ampas tahu kering mengandung kadar air sekitar 10,0 – 5,5 persen (Pulungan dkk. 1984).
Penggunaan ampas tahu segar pada ikan masih dan ternak lainnya seperti babi, sapi perah, unggas, dan ikan (Lubis, 1983). Ampas tahu masih mengandung protein sebesar 17 persen dari jumlah protein kedelai. Bila kandungan protein kedelai sebesar 35 persen, maka kandungan protein ampas tahu sebesar 6 persen berdasarkan berat segar (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Usaha peningkatan daya awet ampas tahu selama penyimpanan, dan sekaligus peningkatan nilai gizi ampas tahu perlu dilakukan untuk meningkatkan jumlah pemberian dalam ransum ikan. Salah satu usaha adalah dengan pembuatan silase. Bolsen dan Sapienza (1993) mengemukakan bahwa dalam pembuatan slase akan berlangsung proses fermentasi yang dilakukan oleh mikroorganisme. Fermentasi adalah suatu proses metabolisme dimana enzim dari mikroorganisme melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kmia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada substrat organik dan menghasilkan produk tertentu. Bahan makanan yang telah mengalami fermentasi biasanya mempunyai nlai gizi yang lebih tinggi dari asalnya.
2.2. Proses Pembuatan Silase.
Menurut Cullison dan Lowrey (1987), silase adalah pakan hasil pengawetan dari bahan yang berkadar air tinggi, umumnya hijauan rumput, dibawah kondisi anaerob alam tempat yang disebut silo, sedangkan menurut Susetyo (1980) silase adalah bahan pakan yang telah disimpan dalam keadaan anaerob dengan maksud mempertahankan warna dan palatabilitasnya walaupun telah disimpan beberapa waktu lamanya. Ensilase adalah proses pembuatannya sedangkan tempat pembuatannya dinamakan silo (Bolsen dan Sapienza, 1983).
Proses pembuatan silase memerlukan waktu 2 sampa 3 minggu (Cullison dan Lowrey, 1987). Menurut Bath dkk (1985), pembentukan asam asetat berlangsung selama 3 sampai 5 hari pertama dan dilanjutkan dengan pembentukan asam laktat dan berheti pada sekitar hari ke 20 dimana pH mencapai sekitar 4,0. Secara garis besar proses pembuatan silase terdiri dari empat fase (Bolsen dan
Sapienza, 1983), yaitu :
(1) Fase Aerob
Fase ini dimulai sejak bahan dimasukkan ke dalam silo. Untuk menghindari dampak negatif dari fase aerob ini, maka pengisian dan penutupan silo harus dilakukan dalam waktu singkat dan cepat.
(2) Fase Fermentatif
Fase ni merupakan masa aktif pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat. Bakteri tersebut akan memfermentasi gula menjadi asam laktat disertai produksi asam asetat, etanol, karbondioksida, dan lain-lain. Masa fermentatif aktif berlangsung selama 1 minggu-1 bulan. Fermentasi gula yang cepat oleh bakteri penghasil asam laktat disebabkan oleh rendahnya pH akan menghentikan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan.
(3) Fase Stabil.
Fase ini terjadi setelah masa aktif pertumbuhan bakteri asam laktat berakhir. Faktor utama yang berpengaruh pada kualitas silase selama fase ini adalah permeabilitas silo terhadap oksien. Tingkat kehilangan bahan kering dapat dikurangi jika silo ditutup dan disegel dengan baik sehingga hanya sedikit sekali aktivitas mikroba
yang dapat terjadi pada fase ini.
(4) Fase Pengeluaran Silase
Fase ini dimulai pada saat silo dibuka dan siasenya diberikan kepada ikan. Pada fase ini oksigen bebas akan mengkontaminasi permukaan silase yang terbuka, sehingga menyebabkan perkembangan mikroorganisme aerob.
2.4. Faktor yang Memacu Pertumbuhan Ikan.
Aspek fisiologi pencernaan dan pakan merupakan faktor penting untuk memacu
pertumbuhan, karena menurut Wiadnya, dkk (2000), lambatnya pertumbuhan diduga
disebabkan dua faktor utama, yaitu :
a. Kondisi internal ikan sehubungan dengan kemampuan ikan dalam mencerna dan
memanfaatkan pakan untuk pertambahan bobot tubuh. Benih ikan nila gift
merupakan ikan yang termasuk hasil perbaikan genetika dari ikan mujair dan ikan
nila, sehingga potensi tumbuhnya lebih baik.
b.Kondisi eksternal pakan, yang formulasinya belum mengandung sumber nutrien
yang tepat dan lengkap bagi ikan sehingga tidak dapat memacu pertumbuhan pada
tingkat optimal.
2.5. Penggunaan Ampas Tahu pada Ikan
Ampas tahu telah digunakan oleh para petani ikan sebagai pakan tambahan, dengan pemberian secara langsung dalam karung yang dilubangi, namun belum diketahui efisiensi pertumbuhannya pada ikan. Komposisi ampas tahu dan ampas tahu hasil pengawetan (silase ampas tahu) .
Tabel 8. Perbandingan komposisi ampas tahu dengan silase ampas tahu
Protein
|
Air
|
Serat Kasar
|
pH
| |
Ampas Tahu
|
24,02 %
|
90,18 %
|
21,55%
|
-
|
Silase Ampas Tahu
|
27,99 %
|
83,18 %
|
21,42 %
|
3-4
|
Protein merupakan sumber utama yang dibutuhkan oleh ikan. Kualitas protein ditentukan oleh kelengkapan asam amino di dalamnya. Protein nabati nabati umumya defisien asam amino lysine dan metionin, yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ikan (Ensminger, 1993). Maka dari itu penggunaan silase ampas tahu sebagai sumber protein harus dilengkapi dengan asam amino sintetis. Metionin merupakan asam amino esensial yang dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan.
Dilihat dari komposisinya, kandungan protein silase ampas tahu cukup tinggi, namun serat kasarnya juga cukup tinggi. Karena serat kasar cukup tinggi maka penggunaannya harus dibatasi. Ikan nila gift termasuk ikan omnivora yang cenderung herbivora. Hasil penelitian Mudawanah (2005) menunjukkan bahwa penggunaan ampas tahu yang ditepungkan dalam pelet sebanyak 30% tidak menghambat pertumbuhan benih ikan gurame.
Protein nabati dalam pelet komersial yang biasa digunakan adalah tepung kedele. Menurut Ensminger (1993) maksimal penggunaan tepung kedele pada ikan adalah 50 %. Silase Ampas tahu merupakan hasil pengawetan ampas tahu, yang bahan asalnya dari kacang kedele. Penggunaan silase ampas tahu 50% dalam pelet diharapkan dapat mengganti penggunaan tepung kedele dan tepung ikan yang masih merupakan bahan impor pada industri pelet komersial.
Pelet merupakan bentuk pakan yang paling sesuai untuk ikan, karena teksturnya halus, kompak, nilai gizi merata, dan mudah pemberiannya. Filler (bahan pengisi) dalam pembuatan pelet dapat digunakan pakan remah, tepung tapioka dan tepung jagung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar