Ini Keuntungan Budidaya Ikan Nila dengan Teknologi Bioflok
- Teknologi mutakhir bioflok digunakan dalam budi daya ikan nila. Ikan nila dipilih karena kelebihannya, seperti adaptif terhadap perubahan iklim
- Teknologi bioflok menjadi pilihan tepat untuk nila, karena menghemat biaya operasional dari efisiensi pakan, lebih hemat penggunaan air sehingga lebih ramah lingkungan dan sesuai prinsip berkelanjutan
- Efisien pakan, terlihat dari nilai FCR yang rendah yaitu 1,05 dibanding budi daya konvensional dengan nilai 1,5. Artinya jika ingin menghasilkan ikan nila 1 kg, hanya diperlukan 1,05 kg pakan saja
- Di Indonesia, penggunaan teknologi bioflok untuk budi daya, terutama nila masih belum merata. Untuk itu, Pemerintah menugaskan UPT di bawah Ditjen Perikanan Budidaya KKP untuk mengawal agar penggunaan teknologi tersebut bisa tepat guna dan tidak keliru dalam penerapannya
Prinsip keberlanjutan yang dianut teknologi bioflok untuk perikanan budi daya, dinilai sudah memberikan banyak keuntungan bagi pengembangan budi daya ikan. Teknologi ini meningkatkan jumlah produksi, sekaligus menggenjot pendapatan pembudidaya secara signifikan. Komoditas yang berhasil dikembangkan dengan teknologi bioflok, salah satunya adalah ikan nila.
Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebijakto menjelaskan pengembangan teknologi bioflok untuk budi daya ikan nila semakin dirasakan manfaatnya oleh pembudi daya ikan. Salah satunya, karena berhasil meningkatkan kelangsungan hidup ikan nila secara signifikan.
“Itu meningkat signifikan. Untuk kelangsungan hidup atau survival rate ikan nila dengan teknologi bioflok sudah berhasil mencapai angka 90 persen,” ungkap Slamet, pekan lalu di Jakarta.
baca : Teknologi Bioflok Ternyata Menguntungkan Budidaya Ikan Nila, Begini Penjelasannya
Keunggulan lainnya, menurut Slamet, adalah tingkat penggunaan pakan menjadi semakin efisien, dan nilai feed conversion ratio (FCR) juga semakin rendah menjadi 1,05. Angka tersebut menunjukkan, jika pembudi daya ingin menghasilkan ikan nila sebanyak 1 kilogram, maka dibutuhkan pakan sebanyak 1,05 kg.
Angka FCR terkini itu, kata Slamet, menurun drastis jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa, dengan nilai FCR bisa mencapai 1,5. FCR merupakan perbandingan berat pakan dengan berat total (biomass) ikan dalam satu siklus periode budi daya. Semakin turun angka FCR, maka semakin baik kualitas dan produksi budi daya yang dihasilkan.
Teknologi bioflok pada budi daya ikan nila juga terbukti meningkatkan kepadatan dalam kolam. Jika menggunakan sistem konvensional, kepadatan maksimal hanya 10 ekor ikan nila/meter kubik, maka dengan menggunakan bioflok kepadatan menjadi 100 ekor/meter kubik.
Menurut Slamet, keberhasilan yang sudah dicapai tersebut, semakin menguatkan bahwa pengembangan budi daya nila dengan sistem bioflok menjadi salah satu terobosan untuk meningkatkan produksi nila secara nasional. Teknologi tersebut diyakini bisa meningkatkan pendapatan pembudi daya secara signifikan dan tetap mengutamakan prinsip keberlanjutan.
“Penerapan teknologi ini terbukti efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya air dan lahan serta adaptif terhadap perubahan iklim,” tuturnya.
baca juga : Bioflok, Budidaya Ikan Lele dan Nila di Lahan Terbatas
Komoditas Potensial
Slamet mengatakan ikan nila bisa menjadi salah satu komoditas air tawar potensial dikembangkan di Indonesia. Karena nila bisa bertahan dari perubahan lingkungan, tumbuh dengan cepat, dan lebih resisten terhadap penyakit. Keunggulan tersebut menjadi kombinasi yang tepat dan pas untuk memicu produksi ikan nila secara nasional.
Terlebih lagi, ikan nila semakin diminati masyarakat sehingga meningkatkan permintaan pasar yang tinggi. Konsumen penyuka nila tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.
“Komoditas ekspor terutama untuk ke Amerika Serikat dalam bentuk fillet. Oleh karena itu, produktivitasnya harus dipacu terus menerus,” ucapnya.
Melihat keunggulan dan keuntungan penggunaan teknologi bioflok, Slamet mendorong penguasaan dan penggunaan teknologi tersebut bisa semakin meluas ke berbagai pelosok Nusantara. Penyebaran teknologi tersebut salah satunya bakal dilakukan unit pelaksana teknis (UPT) Ditjen Perikanan Budi daya.
Pelibatan UPT untuk penyebaran bioflok ke seluruh daerah, menurut Slamet, agar teknologi tersebut bisa tepat guna dan tidak keliru dalam penerapannya. Dengan kata lain, teknologi bioflok akan terasa keunggulan dan keuntungannya, jika mengikuti kaidah cara budi daya ikan yang baik.
“Seperti penggunaan benih unggul, pakan sesuai SNI (standar nasional Indonesia), serta pemantauan kualitas air budidaya,” jelas dia.
Slamet meyakini teknologi ini mampu menyediakan sumber protein dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Teknologi bioflok mampu menyediakan dua hal sekaligus, yaitu program perbaikan gizi dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Salah satu daerah yang menerapkan bioflok untuk ikan nila, adalah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, melalui ada kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) Indra Makmur. Menurut Ketua Pokdakan Indra Makmur Syamsul Bahari, dengan bioflok, ikan nila yang dihasilkan lebih gemuk dan kandungan air dalam daging lebih sedikit.
baca juga : Kampung Bioflok untuk Ketahanan Pangan Papua Barat. Seperti Apa?
Pengumpul Rupiah
Syamsul merinci biaya investasi kelompoknya dengan menggunakan bioflok. Untuk pembuatan kolam beton ukuran 15 meter kubik dibutuhkan Rp2 juta, pengadaan pompa air sebesar Rp500.000 dan biaya operasional keseharian. “Total biaya operasional sebesar Rp3,9 juta,” tuturnya.
Dengan periode pemeliharaan selama 3 bulan, Syamsul menjelaskan dapat diproduksi 279 kg ikan nila dengan ukuran panen 200 gram/ekor. Jika harga per ekor diasumsikan Rp26 ribu, maka pendapatan kotor kelompok tersebut dari sekali panen bisa mencapai sebesar Rp7 juta.
“Keuntungan bersih budidaya ikan nila sistem bioflok yang dapat saya peroleh dari setiap kolam mencapai Rp3,1 juta per siklus, saya memiliki 10 unit kolam dengan rincian 2 bak tandon dan 8 kolam budidaya, sehingga pendapatan bersih selama periode budi daya yang saya lakukan dapat mencapai Rp24,8 juta”, sambungnya.
“Dengan budi daya nila sistem bioflok ini menjadi sumber pendapatan keluarga bagi pembudi daya dan pihak-pihak lain yang terkait dengan usaha ini, karena hasilnya dapat dijual ke usaha perdagangan ikan, rumah makan, jasa rekreasi pemancingan, pengolahan fillet dan lainnya,” sebutnya.
Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi Supriyadi mengatakan, ikan nila dipilih untuk sebagai komoditas lanjutan sistem bioflok, karena nila termasuk kelompok herbivora. Dengan demikian proses pembesarannya bisa berjalan lebih cepat.
Selain itu, menurut Supriyadi, ikan nila dipilih karena mampu mencerna flok yang tersusun atas berbagai mikroorganisme, yaitu bakteri, algae, zooplankton, fitoplankton, dan bahan organik sebagai bagian sumber pakannya. Kemampuan tersebut dinilai menguntungkan dalam budi daya di kolam.
menarik dibaca : Teknologi Digital Mulai Digunakan untuk Perikanan Budidaya Nasional
Menurut Supriyadi, keunggulan yang dihasilkan dari budi daya bioflok memang banyak, termasuk meningkatkan kelangsungan hidup hingga lebih dari 90 persen dan tanpa pergantian air. Air bekas budi daya juga diklaimnya tidak berbau jika menggunakan bioflok. Keunggulan tersebut membuat bioflok tidak mengganggu lingkungan sekitar dan dapat disinergikan dengan budi daya tanaman, misalnya sayur-sayuran dan buah-buahan.
“Hal ini dikarenakan adanya mikroorganisme yang mampu mengurai limbah budi daya menjadi pupuk yang menyuburkan tanaman,” ungkap dia.
Diketahui, produksi ikan nila secara nasional terus mengalami peningkatan dan itu ditandai dengan capaian produksi pada 2016 sebesar 1.114.156 ton, dan kemudian meningkat lagi pada 2017 menjadi 1.265.201 ton. Adapun, sentra budidaya ikan nila di Indonesia terdapat di Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar