Keamanan Pangan Produk Perikanan, Kunci Bersaing di Pasar Internasional
Keamanan pangan menjadi faktor penting dalam pengembangan sektor perikanan budidaya di masa sekarang dan akan datang. Faktor tersebut, menjadi bagian tak terpisahkan dari suplai kebutuhan pangan nasional maupun internasional, dan karenanya itu harus selalu dijaga demi meningkatkan daya saing di pasar domestik ataupun ekspor.
Pentingnya menjaga keamanan pangan, menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, akan memengaruhi sejauh mana kualitas produk yang dihasilkan. Untuk itu, setiap produk yang dihasilkan dari sektor perikanan budidaya, harus memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dan bisa dipertanggungjawabkan dari sisi mutu dan keamanan.
Bentuk menjaga keamanan pangan yang lumrah dilakukan pada sektor perikanan budidaya, kata Slamet, di antaranya adalah pengendalian residu dan kontaminan pada proses produksi perikanan budidaya (akuakultur). Jaminan seperti itu, wajib dilakukan oleh pembudidaya, karena itu akan menentukan kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan.
“Jadi, dengan tren kebutuhan ikan yang kian meningkat seperti sekarang, perikanan budidaya harus bisa menjadi yang paling depan dalam menyuplai kebutuhan tersebut. Tetapi, harus ada jaminan bahwa mutu dan keamanan sudah terpenuhi,” ucapnya, akhir pekan lalu di Jakarta.
Slamet mengatakan, pentingnya keamanan pangan untuk selalu dijunjung dalam proses produksi perikanan budidaya, tidak lain karena itu juga menjadi amanat dari Undang-Undang No.18/2012 tentang Ketahanan Pangan. Untuk itu, agar prinsip tersebut tersebut bisa terjaga dan diterapkan, KKP menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.39/2015 tentang Pengendalian Resido Obat Ikan, Kimia, dan Kontaminan.
Berkaitan dengan pemantauan residu, Slamet menyebutkan, pihaknya melakukan pemantauan dan uji non compliant (NC) selama periode 2010 hingga 2018. Dari proses tersebut, didapatkan hasil tren penurunan secara berkelanjutan dan itu terus berlanjut hingga triwulan IV 2018, di mana belum ada satupun sampel yang terdeteksi mengandung residu atau NC.
Sistem Monitoring Nasional
Apa yang sudah didapat tersebut, menurut Slamet, seketika meningkatkan kepercayaan kepercayaan dari konsumen yang menjadi pembeli (buyer) dari produk akuakultur. Dengan terbebas dari residu, buyer juga merasa puas dan pada akhirnya itu meningkatkan kepercayaan produk perikanan Indonesia. Kata dia, semua itu menjadi bukti bahwa pembangunan sistem monitoring residu nasional sudah berjalan baik.
“Hingga saat ini, belum pernah mendapat laporan atau surat Rapid Allert System For Food and Feed (RASFF) dari negara buyer, khususnya terkait cemaran atau residu pada produk perikanan budidaya kita yang di ekspor,” jelas dia.
Dengan capaian itu, bagi Slamet sudah jelas bahwa pengendalian residu berhasil meningkatkan prestasi perikanan budidaya di masa internasional. Hal itu, akan menambah kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia dan diharapkan bisa meningkatkan kinerja ekspor perikanan dari sektor perikanan budidaya.
“Hasil audit DG Sante juga simpulkan tak ada temuan mayor pada proses produksi akuakultur,” tambah dia.
Yang dimaksud dengan DG Sante, tidak lain adalah tim auditor dari Uni Eropa yang melakukan audit sistem mutu dan keamanan pangan pada Oktober 2018 di Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Setelah melakukan audit, tim melaporkan hasil investigasinya kepada KKP dan menjelaskan tentang temuan nihil pada proses produksi perikanan budidaya.
“Memang ada temuan, tapi tidak bersifat mayor. Artinya, lebih terhadap kesesuian persyaratan antara regulasi nasional dengan regulasi yang berlaku di Uni Eropa,” tandasnya.
Selain menyampaikan laporan hasil investigasi, Slamet mengungkapkan, tim auditor UE menyampaikan tiga rekomendasi untuk Indonesia berkaitan dengan perdagangan produk perikanan di Uni Eropa. Di benua biru tersebut, konsumen yang tidak lain adalah masyarakat Eropa, sangat memperhatrikan faktor keamanan pangan untuk setiap produk dari seluruh dunia, utamanya dari Indonesia.
Adapun, tiga rekomendasi yang dimaksud, adalah:
- Ruang lingkup Perencanaan Monitoring Residu Nasional (National Residue Monitoring Plan/NRMP) harus sudah mencakup kegiatan pembenihan, substansi uji erythromycin serta lokasi yang akan ekspor ke UE. Juga, harus dilakukan uji sampel meskipun dari segi produksi masih relatif rendah.
- Penerapan ISO 17025 yang menjadi paduan dari persyaratan manajemen dan persyaratan teknis, saat di laboratorium harus dioptimalkan. Termasuk, kegiatan validasi dan tindak lanjut hasil profisiensi tes.
- Tindak lanjut dan investigasi yang dilakukan terhadap unit budidaya yang terdeteksi residu harus diperluas ke kolam/tambak dan lingkungan sekitarnya.
Menurut Slamet, ketiga rekomendasi tersebut menjadi tantangan bagi Indonesia untuk bisa konsisten dalam memenuhi kriteria produksi yang disyaratkan dan memenuhi prinsip keamanan pangan dan keterjaminan mutu produk. Ketiga rekomendasi tersebut, juga bisa menjdai acuan untuk kebijakan sistem pengendalian residu nasional.
“Kami berharap prosedur monitoring residu bisa dijalankan oleh semua pihak yang terlibat. Mulai dari pengambilan sampel sesuai alokasi sampel, pengiriman sampel, pengujian dan input data di setiap tahapan,” tutur dia.
Agar semua upaya untuk mewujudkan produk perikanan Indonesia terbebas dari residu, Slamet juga menyebutkan, optimialisasi penggunaan anggaran, penempatan personil/sumber daya manusia (SDM) yang kompeten pelaksana monitoring residu, dan upaya pengembangan kapasitas laboratorium penguji residu menjadi bagian penting yang harus dilakukan tanpa henti.
Rekomendasi Uni Eropa
Lebih teknis, Slamet juga mengakui, pihaknya merespon tiga rekomendasi dari UE dengan mendorong pemetaan rencana aksi mulai dari pemerintah pusat, provinsi, sampai laboratorium. Dengan kata lain, perencanaan, implementasi yang didukung dengan ketersediaan regulasi dan standar operasional prosedur (SOP) dan sudah diharmonisasikan dengan regulasi internasional harus mulai jadi fokus perhatian.
Agar pengendalian residu bisa dilakukan dengan baik, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastui menyebut bahwa keterlibatan pembudidaya menjadi faktor dominan untuk saat ini. Hal itu, karena pembudidaya adalah pelaku utama bisnis perikanan budidaya dan untuk mengedalikannya KKP sudah menerbitkan panduan cara produksi ikan yang baik (CPIB).
Menurut Susi, untuk mewujudkan CPIB, pembudidaya harus mendapatkan sertifikat yang biaya sertifikasinya membutuhkan kisaran Rp15-20 juta. Untuk itu, KKP akan terus memberikan insentif pembuatan sertifikat bagi pembudidaya dan pelaku usaha sektor perikanan di Indonesia. Dengan insentif, diharapkan kesadaran pelaku usaha, terutama yang bertujuan ekspor, bisa semakin meningkat lagi.
Selain sertifikasi CPIB, insentif juga diberikan kepada pelaku usaha yang melaksanakan pemantauan residu. Cara seperti itu dilakukan, karena KKP ingin produk perikanan Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di pasar ekspor. Dengan demikian, diharapkan permintaan ekspor juga akan meningkat karena kepercayaan terhadap produk semakin baik.
Susi sendiri berjanji akan menambah anggaran untuk pembiayaan insentif sertifikasi CPIB dan pemantauan residu bagi usaha perikanan budidaya. Untuk kepentingan itu, dia menyebut akan memanfaatkan dana yang ada untuk digunakan dengan bermanfaat atau self blocking dengan mengalihkan alokasi dana dari yang tidak penting.
“Kalau untuk yang tidak perlu, akan dikurangi (dananya). Seperti seminar-seminar, biasanya itu sekali seminar bisa menghabiskan biaya hingga Rp300 juta. Jika dialihkan, sudah berapa sertifikat itu yang bisa diberikan kepada pembudidaya. Selama untuk mendorong ekspor, kita akan dorong,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar