Penyakit Ikan Masih Intai Budidaya Air Tawar di Indonesia?
Kematian ikan akibat serangan penyakit dan penurunan kualitas lingkungan hingga saat ini masih menjadi persoalan serius dan semakin kompleks. Salah satu penyebabnya, karena cuaca ekstrem yang terjadi di Indonesia terjadi dengan disertai intensitas hujan yang tinggi. Kondisi tersebut, memicu munculnya kembali sejumlah penyakit ikan yang diwaspadai.
Demikian disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tri Hariyanto di Jakarta, pekan lalu. Penyakit ikan yang muncul setelah cuaca ekstrem terjadi, di antaranya adalah Motil Aeromonas Septicemia (MAS).
“Ini harus kita waspadai, dengan sedini mungkin melakukan upaya mitigasi,” ucapnya.
Penyakit MAS sendiri disebabkan oleh bakteri Aerommonas hydrophila dan dikenal juga dengan nama lain Bacterial Hemorrhagic Septicemia (BHS) atau Hemorrhagic Septicemia. Saat muncul di suatu kawasan, penyakit MAS tidak memperlihatkan gejala klinis, yang membuatnya sulit dideteksi.
Di Indonesia, penyakit MAS sudah pernah muncul pada 1980 yang menyebabkan wabah penyakit ikan yang mengerikan dan mengakibatkan kematian 82,2 ton ikan di Jawa Barat dalam waktu sebulan saja. Setelah Indonesia, pada 1981 penyakit MAS juga mewabah di Malaysia dan Thailand, dan dilanjutkan di Myanmar dan Filipina pada 1985.
Penyakit MAS juga menyerang di Sri Lanka, Bangladesh, India, dan Nepal. Dan, hingga sekarang, penyakit tersebut juga masih sering muncul di Asia Tenggara, salah satunya di Indonesia dan mengakibatkan kematian ikan dengan jumlah yang besar.
Selain penyakit MAS yang biasa disebut bercak merah, Tri mengingatkan, akibat cuaca yang ekstrem, potensi resiko jenis penyakit lintas batas baru juga mengancam usaha perikanan budidaya yang ada di Indonesia. Penyakit tersebut contohnya adalah Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND), White Feces Syndrome (WFS), Enterozyton Hepatopenaei (EHP), dan Tilapia Lake Virus ( TiLV).
Agar ancaman penyebaran penyakit ikan itu bisa dicegah, Tri menyebut perlu adanya kerja sama lintas sektoral dan bahkan lintas negara. Antara lain dengan memperketat risk analysis import, termasuk melakukan pengawasan pada pintu-pintu masuk pelabuhan muat ekspor.
Tri kemudian merinci, permasalahan pada usaha budidaya udang yang sering dialami para pembudiaya, adalah karena belum lepasnya dari resiko wabah virus WSSV, IMNV dan penyakit WFD, sehingga mengancam produktivitas budidaya udang di sentral-sentral produksi.
“Mitigasi dan peringatan dini menjadi hak mutlak dilakukan. Peta sebaran penyakit, kecenderungan penyebaran beserta pemicunya, dan langkah antisipatif harus diketahui secara real time dan sampai ke pembudidaya secara cepat,” jelasnya.
Budidaya Klaster
Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto menjelaskan, penyebaran penyakit ikan dan penurunan kualitas lingkungan memang terus terjadi di sejumlah daerah dalam beberapa waktu terakhir. Tetapi, kejadian tersebut bisa diantisipasi para pembudidaya dengan menerapkan prinsip Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB).
Antisipasi penyebaran penyakit ikan, juga diperlukan pemenuhan sertifikasi lingkungan seperti izin lingkungan yang mencakup dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan atau dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).
“Dokumen-dokumen tersebut harus dipenuhi oleh para pembudidaya ikan, utamanya bagi unit usaha skala menengah/besar dan memiliki resiko dampak penting bagi lingkungan hidup,” ujar dia.
Selain itu, KKP terus mendorong pendekatan pengembangan budidaya berbasis klaster, untuk menjamin pengelolaan budidaya secara terintegrasi, bertanggung jawab dan berkelanjutan.
“Kita perkuat biosecurity, pengelolaan limbah, dan manajemen pengelolaan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir,” tegas dia.
Semua langkah tersebut perlu dilakukan, karena Pemerintah berupaya mencegah terulangnya kematian massal ikan seperti di danau Maninjau, Sumatera Barat dan waduk Cirata, Jawa Barat, yang disebabkan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan.
Slamet menjelaskan dalam empat tahun terakhir, selalu terjadi kematian massal pada ikan dan mencapai puncak pada 2016, dimana saat itu terjadi kematian massal ikan di perairan umum. Pada 2016, total ikan yang mati secara bersamaan sedikitnya mencapai 4.725 ton ikan mati atau sekitar 0,95 persen dari total produksi budidaya keramba jaring apung (KJA) air tawar secara nasional.
Menurut Slamet, dengan asumsi harga ikan di pasaran Rp10 ribu per kilogram, jumlah ikan yang mati tersebut diperkirakan mengakibatkan kerugian ekonomi sampai Rp47,25 miliar. Selain itu, kematian massal pada ikan tersebut juga berpotensi menurunkan produksi perikanan budidaya yang berasal dari KJA perairan umum hingga 23,5 persen.
Dokumen Srategi
Agar kejadian seperti di atas tidak berulang lagi, KKP membentuk Tim Kerja yang berasal dari berbagai elemen, yaitu Satuan Tugas Pengelolaan Usaha KJA di waduk Cirata yang bertugas melakukan pengawasan, melakukan hal hal antisipatif, memberikan rekomendasi berkaitan dengan pengelolaan usaha KJA di sana.
Sedangkan, Tim Kerja Penanganan Kematian Massal Ikan bertugas dalam melakukan langkah antisipatif dan pengendalian terhadap kematian massal ikan. Tim Kerja ini, kata dia, diharapkan dapat memberikan informasi dini, menentukan langkah antisipatif dan rekomendasi bagi upaya penanggulan secara komprehensif.
Selain menyiapkan tim sendiri, Pemerintah Indonesia juga menyiapkan dokumen strategi nasional untuk pengendalian kesehatan ikan dan lingkungan. Strategi tersebut tertuang dalam dokumen National Strategy on Aquatic Animal Health and Environment. Dokumen tersebut berasal dari dari lembaga pangan dunia PBB (FAO).
Perwakilan FAO untuk Indonesia Mark Smulders mengatakan, dokumen yang diserahkan tersebut merupakan salah satu output kerjasama antara kedua belah pihak, yakni KKP-FAO dalam proyek TCP/INS/3402. Di dalam proyek tersebut, termuat stretegi umum yang komprehensif dalam membangun dan meningkatkan kapasitas pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan di Indonesia.
“Saya berharap strategi pengelolaan ini dapat diimplementasikan untuk mengurangi resiko serangan penyakit ikan dan upaya pengendalian lingkungan,” tukas dia.
Sebelum penyakit MAS mengintai ikan air tawar di Indonesia, pada 2017 juga Indonesia mendapat ancaman dari penyakit ikan dari virus Tilapia Lake Virus (TiLV) yang mengancam ikan komoditas Tilapia yang menjadi andalan Indonesia seperti Nila dan Mujair.
Menurut Slamet Soebjakto, sebagai komoditas unggulan, Tilapia dikenal punya daya tahan bagus terhadap kualitas air dan penyakit. Tak hanya itu, ikan tersebut juga dikenal bisa adaptif terhadap berbagai kondisi lingkungan di sekitarnya.
“Tak lupa, Tilapia ini bisa efisien dalam membentuk protein kualitas tinggi dari berbagai bahan organik, serta memiliki kemampuan tumbuh yang baik serta dapat dibudidayakan di air tawar maupun payau,” jelas dia belum lama ini.
Mengingat ada banyak kelebihan yang dimiliki Tilapia, upaya untuk menjaga komoditas tersebut dari keterpurukan selalu dilakukan Pemerintah. Salah satu yang selalu dijauhkan, adalah kehadiran virus yang bisa mematikan Tilapia di dalam kolam.
Menurut Slamet Soebjakto, ancaman virus yang saat ini sedang mengintai Tilapia adalah TiLV. Virus tersebut sangat berbahaya karena sudah menyerang di negara lain seperti Ekuador, Israel, Mesir, dan Kolombia. Serangannya bisa mencapai perairan umum maupun kolam yang di dalamnya ada Tilapia.
Selain di negara Asia, Amerika Selatan, dan Afrika, Slamet menuturkan, virus TiLV juga sudah menyerang negara di kawasan Asia Tenggara. Negara seperti Thailand dilaporkan juga telah terjangkit penyakit ini. Untuk itu, kata dia, kewaspadaan harus semakin ditingkatkan agar penyakit TiLV dapat dicegah masuk ke Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar