Akhirnya, Teknologi Bioflok untuk Lele Masuk Pesantren
Budidaya sistem bioflok yang terbukti lebih baik dari sistem
konvensional, akhirnya diterapkan di pondok pesantren yang tersebar di
15 provinsi mulai Juli nanti. Program tersebut, menggandeng dua
organisasi kemasyarakatan (Ormas) terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) Slamet Soebjakto menjelaskan, program tersebut untuk tahap pertama
akan dilaksanakan di 73 pesantren dengan menyasar 78.500 santri yang
ada di dalamnya. Saat ini, 15 pesantren yang dimaksud tersebut sedang
melakukan proses identifikasi dan verifikasi.
“Setelah itu kemudian akan ditentukan siapa calon penerima program
tersebut. Setelah itu, baru akan dilaksanakan secara serentak di
pondok-pondok pesantren yang ditunjuk,” ujar dia belum lama ini.
Slamet mengatakan, ada dua alasan kenapa KKP memilih pondok pesantren
sebagai lokasi untuk menggelar program lele bioflok. Pertama, karena
pesantren adalah lembaga non formal yang menjadi lingkungan paling
efektif untuk belajar pengenalan usaha. Dengan demikian, program usaha
lele bioflok ini diharapkan bisa cepat diterima dan bisa membantu untuk
mewujudkan pemberdayaan umat.
Kedua, Slamet melanjutkan, dipilihnya pesantren, karena Pemerintah
memiliki tanggung jawab moral untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia (SDM) di lingkungan pesantren melalui penyediaan dan peningkatan
gizi berbasis ikan.
“Saat ini tingkat konsumsi ikan di lingkungan pesantren hanya sekitar 9
kilogam per kapita per tahun, melalui program ini paling tidak ada
peningkatan menjadi 15 kilogram per kapita per tahun,” ungkap dia.
Budidaya sistem bioflok sendiri, kata Slamet, adalah budidaya yang akan
meningkatkan produktivitas hingga tiga kali lipat dibandingkan sistem
konvensional. Selain itu dari kualitas produk, bioflok diakui konsumen
bahwa daging lele yang dihasilkan memiliki citarasa lebih enak dengan
warna daging lebih putih.
Slamet menyebut, dengan potensi yang baik, dia optimis potensi ekonomi
yang ada di pondok pesantren bisa digerakkan secara maksimal dan
berikutnya kemajuan akan diraih oleh pondok pesantren tersebut.
Lebih jauh Slamet menggambarkan, dengan asumsi per paket bantuan
sebanyak 12 kolam bulat (diameter 3 m), produksi lele yang dihasilkan
bisa mencapai 12,15 ton per tahun dengan nilai pendapatan mencapai Rp182
juta. Dengan kata lain, pembudidaya di pesantren akan mendapatkan nilai
tambah keuntungan rata-rata sebesar Rp3.900 per kg.
Koperasi Pesantren
Untuk melaksanakan program tersebut, Slamet menjelaskan, KKP
menyalurkannya melalui koperasi yang ada di pesantren. Koperasi tersebut
sekaligus akan berperan sebagai pengelola kegiatan usaha dan penyangga
akses pasar. Untuk itu, koperasi harus bisa berperan aktif menjadi mitra
usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan para santri.
“Sisa dari hasil penjualan terhadap produksi ikan lele, agar digunakan
untuk mengembangkan usaha budidaya ikan. Penting melakukan re-investasi
untuk kesinambungan usaha,” tutur dia.
Nahnudin, perwakilan dari Ponpes Mihbahul Huda, Tegal, Jawa Tengah
menyampaikan apresiasi atas realisasi program “Lele Bioflok Masuk
Pesantren” ini. Dirinya menyambut baik upaya Pemerintah yang mulai
konsen melirik pesantren sebagai objek pemberdayaan.
“Dengan adanya pengenalan usaha lele bioflok ini, nanti selain untuk
kepentingan usaha, juga sebagai ladang pembelajaran untuk mencetak
wirausahawan di kalangan para santri yang selama ini hanya mendapatkan
pembelajaran mengaji saja. Selama ini kami hanya konsen belajar ngaji,
mulai saat ini kemampuan santri akan lebih,” ungkapnya
Hal senada juga diungkapkan Samsul Arifin dari Ponpes Al Amiriah.
Menurut dia, program ini diharapkan akan mendorong kemandirian pesantren
melalui pengenalan usaha agribisnis budidaya lele. Terlebih, kata dia,
jumlah santri yang ada di pesantren jumlahnya cukup banyak mencapai 300
orang santri inap dan 1.200 santri sekolah.
“Kami mengucapkan terimakasih kepada pemerintah yang telah memberikan
dukungan dan perhatian bagi perkembangan pesantren yang ada di
Indonesia,” pungkas dia.
Ketahanan Pangan
Selain untuk pengembangan ekonomi dan peningkatan gizi santri di
pesantren, Slamet menyebut bahwa program budidaya lele bioflok juga
bermanfaat besar untuk menciptakan ketahanan pangan. Tujuan itu bisa
tercapai, karena ikan adalah lauk pauk yang bisa menggantikan berbahan
nabati yang selama ini dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Slamet Soebjakto mengatakan, untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional
yang semakin tinggi, maka langkah utama yang perlu dilakukan adalah
melalui intensifikasi teknologi yang efektif dan efisien. Salah satunya,
adalah dengan mengintensifkan penggunaan teknologi bioflok dalam sistem
budidaya perikanan.
“Semua pelaku perikanan budidaya harus berkreasi mengedepankan Iptek
dalam pengelolaan usaha budidaya ikan. Intinya dengan kondisi saat ini,
produktivitas budidaya harus bisa dipacu dalam lahan terbatas dan dengan
penggunaan sumberdaya air yang efisien,” ungkap dia.
Menurut Slamet, dalam mewujudkan ketahanan pangan yang bersumber dari
ikan, masyarakat saat ini dihadapkan pada kondisi terjadinya perubahan
iklim disertai penurunan kualitas lingkungan secara global. Kondisi
tersebut kemudian diperparah dengan semakin sedikitnya lahan untuk
kebutuhan pangan dan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan
nasional.
“Kebutuhan pangan dari ikan akan meningkat tajam seiring dengan target
Indonesia untuk meningkatkan konsumsi masyarakat hingga 50 kilogram per
orang per kapita pada 2019. Dengan target itu, maka suplai ikan perlu
setidaknya 14,6 juta ton per tahun,” ujar dia.
Salah satu upaya untuk menambah suplai ikan untuk masyarakat, kata
Slamet, adalah dengan menambah produksi ikan secara nasional. Namun,
untuk melakukan itu, diperlukan upaya yang sangat keras karena produksi
ikan nasional berada dalam kondisi fluktuatif.
Sementara itu Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan
Perikanan (PSDKP) Nilanto Perbowo mengungkapkan, potensi sumber daya
ikan di Indonesia dikenal sangat berlimpah. Tetapi, dari potensi besar
tersebut, minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan sebagai lauk masih
harus terus ditingkatkan.
Menurut Nilanto, ikan sebagai sumber protein sangat relevan untuk
mendukung program prioritas Pemerintah dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup masyarakat Indonesia. Selain itu, ikan juga meningkatkan
kemandirian ekonomi masyarakat berbasis pada kelautan dan perikanan.
“Jika konsumsi ikan nasional meningkat, ini dapat menjadi penghela
industri perikanan nasional. Ini juga dapat meningkatkan produktivitas
masyarakat dan mewujudkan kemandirian ekonomi untuk mendukung percepatan
pembangunan industri perikanan nasional,” ungkap dia.
Nilanto mengungkapkan, dengan potensi sumber daya yang dimiliki
Indonesia sekarang, itu juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong perluasan
dan kesempatan kerja, serta meningkatkan ketersediaan dan konsumsi
sumber protein ikan bagi masyarakat.
Untuk itu, perlu didorong minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan hingga
lebih memasyarakat. Salah satunya caranya, kata Nilanto, yaitu melalui
program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN) yang sudah
dicanangkan oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri pada 4 April 2004.
“Gerakan ini untuk membangun kesadaran gizi individu maupun kolektif
masyarakat agar gemar mengonsumsi ikan. Gerakan ini melibatkan seluruh
komponen atau elemen bangsa. Ini bukan hanya menjadi tugas KKP saja,
tetapi juga menjadi tugas seluruh komponen institusi, lembaga, dan
masyarakat,” ucap dia.
Lebih lanjut Nilanto mengatakan, hingga saat ini Indonesia masih
menghadapi permasalahan gizi pada Balita yang tersebar di seluruh
daerah. Berdasarkan Global Nutrition Report yang dirilis pada 2014,
sebanyak 37,2 persen Balita mengalami pertumbuhan kerdil (stunting), 12,1 persen pertumbuhan kurang dari standar usianya (wasting) dan 11,9 persen mengalami kelebihan berat badan (overweight).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar