Kampung Bioflok untuk Ketahanan Pangan Papua Barat. Seperti Apa?
Kabupaten Manokwari di Provinsi Papua Barat menjadi kawasan percontohan
untuk pembangunan kampung bioflok yang berfokus pada pengembangan lele.
Manokwari dipilih berhasil mengembangkan lele bioflok di Distrik Prafi
pada 2017. Keberhasilan itu, diharapkan bisa menular ke distrik lain
yang akan ditunjuk.
Pengembangan budidaya lele berbasis kawasan, menurut Direktur Jenderal
Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto,
memang dilatarbelakangi keberhasilan Distrik Prafi pada penghujung 2017
dan itu memotivasi Pemerintah untuk mengembangkan konsep yang sama
dengan basis kawasan yang lebih luas.
“Kita akan menginisiasi konsep ini di Kabupaten Manokwari secara lebih
luas berbasis kawasan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (21/2/2018).
Walau baru pertama dikembangkan dengan basis kawasan yang lebih luas,
Slamet mengatakan, dia optimis program tersebut tetap bisa sukses
diterapkan. Hal itu didasarkan, karena Manokwari menyimpan potensi dan
permintaan yang besar terhadap ikan air tawar, termasuk lele. Untuk itu,
konsep kampung bioflok dinilai pas dan tepat untuk diterapkan di ibu
kota Papua Barat itu.
Peluang besar yang sudah menunggu di Manokwari, diharapkan itu bisa
membantu untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal dan sekaligus untuk
membangun benteng ketahanan pangan melalui konsumsi ikan. Apalagi, saat
ini konsumsi ikan masyarakat Papua Barat sudah mencapai 46
kilogram/kapita/tahun.
Untuk tahap awal, Slamet menyebut, pembangunan kampung bioflok akan
difokuskan di Distrik Prafi, khususnya di satuan permukiman 4 (SP4).
Model yang dibangun perdana itu, ke depan diharapkan bisa menjadi embrio
pengembangan konsep serupa di kawasan lain di seluruh Indonesia.
“Dengan dibangun pengembangan berbasis kawasan, itu juga membantu
percepatan pengembangan budidaya ikan di Papua Barat. Dengan demikian,
nantinya masyarakat di provinsi tersebut bisa mudah mendapatkan
kebutuhan ikan air tawar, khususnya lele,” tuturnya.
Untuk itu, KKP memberikan bantuan pembangunan unit pembenihan rakyat
(UPR), penyediaan bibit unggul, dan dukungan usaha lele bioflok. Selain
itu, untuk mempercepat terwujudnya kesuksesan kampung bioflok, KKP juga
memberikan bantuan pakan mandiri dan pendampingan teknologi oleh tenaga
ahli yang didatangkan dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar
(BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat.
Pasokan Benih
Sebagai Provinsi yang baru pertama kali mengembangkan budidaya ikan air
tawar dengan teknologi bioflok, Slamet mengatakan perlu ada komitmen
dari semua pihak menyangkut ketersediaan benih yang bermutu dan murah.
Untuk itu, dia berjanji akan melakukan penataan sistem logistik benih di
Manokwari dan Papua Barat terlebih dahulu.
“Induk kita suplai dari UPT/UPTD untuk mencukupi kebutuhan benih pada
UPR yang ada di Manokwari. Jadi, pembudidaya lebih mudah mengakses benih
berkualitas secara mudah. Begitupun dengan pakan, kita akan support melalui pakan mandiri dalam satu kawasan ini,” jelas dia.
Untuk 2017, Slamet mengatakan, alokasi dana sudah disiapkan untuk
pembangunan UPR yang akan mendukung pasokan benih, khususnya ikan lele.
Untuk tahap awal, UPR ditargetkan bisa melakukan produksi benih sebanyak
300 ribu ekor dan jumlah tersebut diharapkan akan terus bertambah dan
stabil di kisaran 2-3 juta ekor/tahun.
Salah satu kelompok pembenih yang ikut dalam program UPR adalah Mintawan
Jaya. Kelompok tersebut akan fokus untuk mengembangkan benih bagi
kebutuhan ikan lele, dan umumnya ikan air tawar di Manokwari dan Papua
Barat.
Menurut Ketua Mintawan Jaya Harno, permintaan benih saat ini mulai
meningkat seiring mulai menggeliatnya usaha budidaya lele di Manokwari.
Dia menyebut, permintaan benih tidak hanya datang dari Manokwari saja,
melainkan dari daerah lain seperti Sorong.
“Akhir tahun lalu dengan harga benih Rp400 per ekor kita mampu meraup
pendapatan minimal Rp120 juta hanya dalam hitungan lima bulan,”
jelasnya.
Anggota Komisi IV DPR RI Michael Watimena mengatakan, rencana KKP untuk
membangun kampung bioflok di Manokwari patut untuk diapresiasi. Tetapi,
agar pengembangan lebih bagus, sebaiknya KKP fokus juga untuk melakukan
konservasi keragaman jenis ikan endemik lokal yang hanya bisa ditemukan
di Papua Barat saja.
“Papua memiliki keragaman jenis ikan lokal yang cukup banyak, harus
didorong untuk melakukan konservasi melalui teknologi budidaya,” ucap
dia.
Sementara itu Ketua Kelompok Budidaya Ikan (Pokdakan) Sumber Rejeki
Sunarto yang ada di Distrik Prafi, mengatakan bahwa usaha lele bioflok
yang dikenalkan KKP pada 2017 merupakan yang pertama kali di Papua.
Usaha tersebut diyakini bisa mendapat sambutan bagus dari masyarakat,
karena kebutuhan terhadap ikan lele termasuk tinggi di Papua dan harus
didatangkan dari luar pulau.
Menurut Sunarto, harga ikan lele di pasaran saat ini ada di kisaran
Rp35.000 hingga Rp40.000 per kilogram. Sementara, permintaan lele dari
pasar dari waktu ke waktu cenderung terus memperlihatkan kenaikan. Dia
mencontohkan, pembeli yang datang ke Pokdakan Sumber Rejeki sudah
mengajukan permintaan hingga 270 kg per minggu.
“Seminggu lagi kami akan panen perdana dengan perkiraan hasil produksi
minimal 1,5 ton untuk 6 kolam. Kami harapkan nanti pasar bisa
terpenuhi,” papar dia.
Terus meningkatknya permintaan ikan lele, menurut Sunarto, didukung juga
dengan keberagaman masyarakat Manokwari yang diperkirakan warganya
sebagian di antaranya berasal dari masyarakat transmigran yang datang
dari luar Papua sejak 1979. Untuk itu, dia optimis permintaan ikan air
tawar tidak hanya berfokus pada lele saja.
“Kalau orang Sumatera cenderung suka ikan Nila, Sementara orang Jawa
lebih suka ikan lele. Kondisi ini menguntungkan pasar karena punya
segmen sendiri-sendiri,” tegasnya.
Teknologi Bioflok
Slamet Soebjakto mengungkapkan, penggunaan teknologi bioflok menjadi
pilihan, karena inovasi teknologi tersebut bisa meningkatkan produksi
dalam jumlah yang banyak. Teknologi tersebut bisa mendorong program
Pemerintah untuk pemenuhan gizi masyarakat dan sekaligus membangun
ketahanan pangan dengan biaya murah.
“Bioflok itu mampu menggenjot produktivitas lele, penggunaan lahan yang
tidak terlalu luas dan juga hemat sumber air,” ungkap dia.
Menurut Slamet, semua efek positif itu bisa didapat, karena teknologi
tersebut mengadopsi bentuk rekayasa lingkungan yang mengandalkan suplai
oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme, dan secara langsung dapat
meningkatkan nilai kecernaan pakan.
“Dengan mengunakan teknologi bioflok, produksi lele bisa mengalami
peningkatan hingga tiga kali lipat dari produksi biasa. Ini yang disukai
para pembudidaya dan bermanfaat untuk menambah suplai ikan secara
nasional,” ungkap dia.
Slamet membandingkan, untuk budidaya dengan sistem konvensional dengan
padat tebar 100 ekor/m3 itu memerlukan waktu 120-130 hari untuk panen.
Sedangkan untuk sistem bioflok dengan padat tebar 500-1000 ekor/m3 itu
hanya membutuhkan 100-110 hari saja.
Tidak hanya itu, Slamet menyebut, teknologi bioflok membuat produksi
lele di banyak daerah menjadi sangat efisien. Dia mencontohkan, dengan
rata-rata padat tebar 1.000 ekor/m3, maka dalam satu kolam bulat ukuran
diameter 3 m, dapat ditebar benih lele sebanyak minimal 3.000 ekor.
“Dengan ukuran dan jumlah ekor yang ditanam tersebut, bioflok mampu
menghasilkan lele konsumsi mencapai lebih dari 300 kilogram per siklus.
Artinya jika dibanding dengan teknologi konvensional, bioflok mampu
menaikan produktivitas lebih dari 3 kali lipat,” papar dia.
Dengan kelebihan itu, Slamet menyebut kalau budidaya dengan bioflok
sangat menguntungkan. Hal itu karena, pendapatan dari satu kolam akan
mengalami peningkatan tiga kali lipat jika dibandingkan dengan
menggunakan budidaya biasa.
Kelebihan lain dari teknologi bioflok ini, kata Slamet, adalah bisa
mengintegrasikan diri dengan sistem lain seperti hidroponik, yaitu
memanfaatkan air buangan limbah budidaya yang mengandung mikroba sebagai
pupuk untuk tanaman sayuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar