Seperti Apa Peran Teknologi Bioflok untuk Ketahanan Pangan Nasional?
Peran ikan sebagai benteng ketahanan pangan nasional, hingga kini
dinilai masih belum maksimal. Padahal, dengan potensi yang dimiliki
Indonesia, ikan berpeluang menggantikan lauk pauk berbahan nabati
sebagai pendukung utama ketahanan pangan. Oleh itu, Pemerintah Indonesia
ditantang untuk terus melakukan inovasi untuk memanfaatkan ikan sebagai
penopang ketahanan pangan utama.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) Kementerian Kelautan dan
Perikanan Slamet Soebjakto mengatakan, untuk mencukupi kebutuhan pangan
nasional yang semakin tinggi, maka langkah utama yang perlu dilakukan
adalah melalui intensifikasi teknologi yang efektif dan efisien.
“Semua pelaku perikanan budidaya harus berkreasi mengedepankan Iptek
dalam pengelolaan usaha budidaya ikan. Intinya dengan kondisi saat ini,
produktivitas budidaya harus bisa dipacu dalam lahan terbatas dan dengan
penggunaan sumberdaya air yang efisien,” ungkap dia di Jakarta awal
pekan ini.
Menurut Slamet, dalam mewujudkan ketahanan pangan yang bersumber dari
ikan, masyarakat saat ini dihadapkan pada kondisi terjadinya perubahan
iklim disertai penurunan kualitas lingkungan secara global. Kondisi
tersebut kemudian diperparah dengan semakin sedikitnya lahan untuk
kebutuhan pangan dan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan
nasional.
“Kebutuhan pangan dari ikan akan meningkat tajam seiring dengan target
Indonesia untuk meningkatkan konsumsi masyarakat hingga 50 kilogram per
orang per kapita pada 2019. Dengan target itu, maka suplai ikan perlu
setidaknya 14,6 juta ton per tahun,” ujar dia.
Salah satu upaya untuk menambah suplai ikan untuk masyarakat, kata
Slamet, adalah dengan menambah produksi ikan secara nasional. Namun,
untuk melakukan itu, diperlukan upaya yang sangat keras karena produksi
ikan nasional berada dalam kondisi fluktuatif.
Teknologi Bioflok
Slamet Soebjakto mengungkapkan, salah satu upaya yang dilakukan KKP
dalam menambah suplai ikan secara nasional, adalah dengan mengembangkan
inovasi teknologi sistem bioflok dalam budidaya lele. Teknologi
tersebut, kata dia, dinilai berhasil karena bisa meningkatkan produksi
dalam jumlah yang banyak.
“Bioflok ini menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat,
apalagi saat ini produk lele sangat memasyarakat sebagai sumber gizi
yang digemari,” jelas dia.
Tentang teknologi tersebut, Slamet memaparkan, saat ini popularitasnya
semakin meningkat di kalangan masyarakat dan pembudidaya ikan. Kondisi
itu bisa terjadi, karena teknologi tersebut dinilai mampu menggenjot
produktivitas lele, penggunaan lahan yang tidak terlalu luas dan juga
hemat sumber air.
Menurut Slamet, semua efek positif itu bisa didapat, karena teknologi
tersebut mengadopsi bentuk rekayasa lingkungan yang mengandalkan suplai
oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme, dan secara langsung dapat
meningkatkan nilai kecernaan pakan.
“Dengan mengunakan teknologi bioflok, produksi lele bisa mengalami
peningkatan hingga tiga kali lipat dari produksi biasa. Ini yang disukai
para pembudidaya dan bermanfaat untuk menambah suplai ikan secara
nasional,” ungkap dia.
Slamet membandingkan, untuk budidaya dengan sistem konvensional dengan
padat tebar 100 ekor/m3 itu memerlukan waktu 120-130 hari untuk panen.
Sedangkan untuk sistem bioflok dengan padat tebar 500-1000 ekor/m3 itu
hanya membutuhkan 100-110 hari saja.
Tidak hanya itu, Slamet menyebut, teknologi bioflok membuat produksi
lele di banyak daerah menjadi sangat efisien. Dia mencontohkan, dengan
rata-rata padat tebar 1.000 ekor/m3, maka dalam satu kolam bulat ukuran
diameter 3 m, dapat ditebar benih lele sebanyak min. 3.000 ekor.
“Dengan ukuran dan jumlah ekor yang ditanam tersebut, bioflok mampu
menghasilkan lele konsumsi mencapai lebih dari 300 kilogram per siklus.
Artinya jika dibanding dengan teknologi konvensional, bioflok mampu
menaikan produktivitas lebih dari 3 kali lipat,” papar dia.
Dengan kelebihan itu, Slamet menyebut kalau budidaya dengan bioflok
sangat menguntungkan. Hal itu karena, pendapatan dari satu kolam akan
mengalami peningkatan tiga kali lipat jika dibandingkan dengan
menggunakan budidaya biasa.
Kelebihan lain dari teknologi bioflok ini, kata Slamet, adalah bisa
mengintegrasikan diri dengan sistem lain seperti hidroponik. Sistem
tersebut,yaitu memanfaatkan air buangan limbah budidaya yang mengandung
mikroba sebagai pupuk untuk tanaman sayuran.
“Tentunya ini adalah bentuk keberhasilan inovasi teknologi budidaya, dan
sekaligus menjadi jawaban tepat bagiamana memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat saat ini. Inovasi teknologi harus mampu menjawab tantangan
dan masalah, serta mampu memanfaatkan peluang yang ada,” tambah dia.
Manfaat positif yang dihasilkan dari teknologi tersebut, menurut Slamet,
membuktikan kalau bioflok adalah teknologi yang ramah lingkungan. Fakta
tersebut juga menjadi catatan positif karena teknologi budidaya
perikanan kini mengarah pada konsep keberlanjutan.
Ketua I Assosiasi Pengusaha Catfish Indonesia Iimsa Hemawan menyampaikan
budidaya lele bioflok merupakan usaha yang mengandalkan teknologi,
sehingga faktor kedisiplinan dalam penerapan prosedur operasi standar
(SOP) menjadi sangat penting.
“Pendampingan teknologi harus dilakukan secara intens, dengan metode
yang memungkinkan masyarakat memahami dan mengadopsi secara mudah,”
jelas dia.
Dengan penggunaan teknologi, Slamet berharap, target produksi ikan lele
secara nasional yang diproyeksikan sebesar 1,39 juta ton pada 2017 bisa
tercapai. Saat ini, realisasi hingga triwulan 1, produksi nasional lele
sudah mencapai 225 ribu ton
Bioflok untuk Pesantren
Untuk memasyarakatkan teknologi bioflok, Pemerintah Indonesia menjadikan
pesantren di berbagai daerah sebagai lokasi pengembangan untuk budidaya
perikanan tersebut. Dengan cara tersebut, ke depan diharapkan produksi
ikan, khususnya lele bisa meningkat secara nasional dan akan membantu
suplai bahan pangan ikan nasional.
“Kita punya tanggung jawab moral untuk membangun pesantren, bukan hanya
secara ekonomi saja, namun juga bagaimana turut serta dalam meningkatkan
kualitas SDM yang ada. Dengan mulai memperkenalkan ikan sebagai sumber
pangan bagi mereka, kita ingin generasi muda di lingkungan pondok
pesantren lebih cerdas dengan mulai membiasakan mengkonsumsi ikan,”
ungkap dia.
Untuk melaksanakan pengenalan teknologi tersebut, Slamet menuturkan, KKP
pada tahun ini menyalurkan bantuan untuk 7 pesantren, 12 kelompok
pembudidaya dan 2 lembaga pendidikan. Kesemuanya itu ada di 16 provinsi
yang mencakup wilayah perbatasan RI seperti Belu (Nusa Tenggara Timur),
Sarmi dan Wamena (Papua), Nunukan (Kalimantan Utara).
Khusus untuk pesantren, Slamet memperkirakan akan ada 78.500 santri yang
ikut serta dalam program pengembangan budidaya berbasis bioflok
tersebut. Program tersebut nantinya akan menghasilkan pergerakan ekonomi
di pondok pesantren dan yayasan.
Dukungan ini diharapkan akan mampu menghasilkan produksi ikan lele
konsumsi sebanyak 370,8 ton per siklus atau 1.452 ton, dengan nilai
ekonomi produksi sebesar Rp21,78 miliar per tahun. Untuk hasil produksi
tersebut, diperkirakan tenaga kerja yang dapat terlibat mencapai 1.030
orang.
“Kedua, meningkatnya konsumsi ikan per kapita di kalangan masyarakat pondok pesantren,” kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar