Pengertian Budidaya Lele Sistem Bioflok, Keuntungan dan Kelemahannya
(sumber :http://www.bertaniorganik.com/2017/08/19/pengertian-budidaya-lele-sistem-bioflok-keuntungan-dan-kelemahannya/)
Meskipun lele tergolong sebagai jenis ikan yang tahan terhadap segala jenis air, akan tetapi jika dalam pembudidayaan tidak diberi perlakuan khusus, besar kemungkinan hasil budidayanya tidak akan maksimal.
Semakin mahalnya biaya pakan, serangan penyakit, serta tidak seragamnya pertumbuhan lele pada budidaya lele konvensional membuat banyak pembudidaya frustasi.
Namun beberapa tahun belakangan, muncul sebuah inovasi budidaya lele yang cukup fenomenal. Sistem budidaya tersebut disebut dengan budidaya lele sistem bioflok. Menurut berbagai literatur, sistem bioflok ini dinilai lebih efektif dibanding sistem budidaya lele kolam konvensional. Bahkan disebut mampu mendongkrak produktifitas lele hingga 105 % hanya dalam waktu 3 bulan. Hal ini karena dalam budidaya sistem bioflok, dengan menggunakan kolam yang sempit dapat diproduksi jumlah lele yang lebih banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Dengan begitu biaya produksi menjadi berkurang dengan hasil produksi lebih banyak.
Lalu apa sebenarnya budidaya lele sistem bioflok?
Bioflok berasal dari kata bio yang berarti kehidupan dan floc yang berarti gumpalan. Sehingga bioflok dapat didefinisikan sebagai bahan organik hidup yang menyatu menjadi gumpalan-gumpalan.
Sedangkan budidaya lele sistem bioflok adalah sistem budidaya lele dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mengolah limbah budidaya lele itu sendiri. Dengan menumbuhkan mikroorganisme, limbah budidaya ikan lele akan menjadi gumpalan-gumpalan kecil (flok). Gumpalan-gumpalan yang terdiri dari berbagai mikroorganisme air seperti bakteri, algae, fungi, protozoa, metazoa, rotifera, nematoda, gastrotricha dan organisme lain yang tersuspensi dengan detritus, kemudian akan menjadi makanan-makanan alami ikan. Proses penumbuhan mikroorganisme tersebut dilakukan dengan memberikan kultur bakteri nonpathogen (probiotik) dan memasang aeratoer yang akan menyuplai oksigen serta mengaduk kolam.
Keharusan pengadukan dan aerasi dalam pengolahan limbah ini dikarenakan bahan organik yang mengendap akan menimbulkan kondisi anaerob yang dapat merangsang bakteri anaerob untuk mengurai bakteri anorganik menjadi senyawa yang lebih sederhana dan beracun berupa ammonia, Nitrit, H2S, dan Metana.
Teknologi bioflok yang sejatinya digunakan dalam pengolahan limbah ini kemudian coba diterapkan di Thailand dalam budidaya ikan nila, yang pada perkembangannya kemudian diterapkan pula dalam budidaya udang. Teknologi ini kemudian banyak diterapkan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Brasil, Australia dll. Sementara penerapan teknologi bioflok dalam budidaya ikan di Indonesia belum lama dikembangkan.
Beberapa Permasalahan Yang Sering Terjadi Pada Sistem Biofloc
(sumber :http://www.bertaniorganik.com/2017/08/19/pengertian-budidaya-lele-sistem-bioflok-keuntungan-dan-kelemahannya/)
Meskipun lele tergolong sebagai jenis ikan yang tahan terhadap segala jenis air, akan tetapi jika dalam pembudidayaan tidak diberi perlakuan khusus, besar kemungkinan hasil budidayanya tidak akan maksimal.
Semakin mahalnya biaya pakan, serangan penyakit, serta tidak seragamnya pertumbuhan lele pada budidaya lele konvensional membuat banyak pembudidaya frustasi.
Namun beberapa tahun belakangan, muncul sebuah inovasi budidaya lele yang cukup fenomenal. Sistem budidaya tersebut disebut dengan budidaya lele sistem bioflok. Menurut berbagai literatur, sistem bioflok ini dinilai lebih efektif dibanding sistem budidaya lele kolam konvensional. Bahkan disebut mampu mendongkrak produktifitas lele hingga 105 % hanya dalam waktu 3 bulan. Hal ini karena dalam budidaya sistem bioflok, dengan menggunakan kolam yang sempit dapat diproduksi jumlah lele yang lebih banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Dengan begitu biaya produksi menjadi berkurang dengan hasil produksi lebih banyak.
Lalu apa sebenarnya budidaya lele sistem bioflok?
Bioflok berasal dari kata bio yang berarti kehidupan dan floc yang berarti gumpalan. Sehingga bioflok dapat didefinisikan sebagai bahan organik hidup yang menyatu menjadi gumpalan-gumpalan.
Sedangkan budidaya lele sistem bioflok adalah sistem budidaya lele dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mengolah limbah budidaya lele itu sendiri. Dengan menumbuhkan mikroorganisme, limbah budidaya ikan lele akan menjadi gumpalan-gumpalan kecil (flok). Gumpalan-gumpalan yang terdiri dari berbagai mikroorganisme air seperti bakteri, algae, fungi, protozoa, metazoa, rotifera, nematoda, gastrotricha dan organisme lain yang tersuspensi dengan detritus, kemudian akan menjadi makanan-makanan alami ikan. Proses penumbuhan mikroorganisme tersebut dilakukan dengan memberikan kultur bakteri nonpathogen (probiotik) dan memasang aeratoer yang akan menyuplai oksigen serta mengaduk kolam.
Sejarah dan Perkembangan Bioflok
Awalnya teknologi bioflok adalah sebuah teknologi yang digunakan dalam pengolahan limbah. Dalam proses pengolahan limbah, bahan organik berupa limbah lumpur harus terus diaduk dan diaerasi. Tujuannya agar limbah selalu dalam kondisi tersuspensi sehingga dapat diuraikan oleh bakteri heterotrof secara aerobik menjadi senyawa anorganik.Keharusan pengadukan dan aerasi dalam pengolahan limbah ini dikarenakan bahan organik yang mengendap akan menimbulkan kondisi anaerob yang dapat merangsang bakteri anaerob untuk mengurai bakteri anorganik menjadi senyawa yang lebih sederhana dan beracun berupa ammonia, Nitrit, H2S, dan Metana.
Teknologi bioflok yang sejatinya digunakan dalam pengolahan limbah ini kemudian coba diterapkan di Thailand dalam budidaya ikan nila, yang pada perkembangannya kemudian diterapkan pula dalam budidaya udang. Teknologi ini kemudian banyak diterapkan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Brasil, Australia dll. Sementara penerapan teknologi bioflok dalam budidaya ikan di Indonesia belum lama dikembangkan.
Beberapa Permasalahan Yang Sering Terjadi Pada Sistem Biofloc
- Flocs di kolam berbusa
- Biofloc terlalu pekat
- Biofloc ketebalannya berkurang (normal 10‐20 cm sechi disk) dan warna air mengarah ke hijau
- Biofloc ketebalannya berkurang (normal 10‐20 cm sechi disk) dan warna air mengarah ke coklat merah
- Warna hijau biru (BGA) atau merah (Dinoflagellata) tetap ada
Hal-hal yang perlu Diperhatikan dalam Sistem Biofloc
- Bahan organik harus cukup (TOC > 100 mgC/L) dan selalu teraduk.
- Nitrogen disintesis menjadi mikrobial protein dan dapat dimakan langsung oleh udang dan ikan.
- Perlu disuplay C organik (molase, tepung terigu, tepung tapioka) secara kontinue atau sesuai dgn amonia dalam air • Oksigen harus cukup serta alkalinitas dan pH harus terus dijaga
Kekurangan Sistim Bioflok
- Tidak bisa diterapkan pada tambak yang bocor/rembes karena tidak ada/sedikit pergantian air.
- Memerlukan peralatan/aerator cukup banyak sebagai suply oksigen.
- Aerasi harus hidup terus (24 jam/hari).
- Pengamatan harus lebih jeli dan sering muncul kasus Nitrit dan Amonia.
- Bila aerasi kurang, maka akan terjadi pengendapan bahan organik. Resiko munculnya H2S lebih tinggi karena pH airnya lebih rendah.
- Kurang cocok untuk tanah yang mudah teraduk (erosi). Jadi dasar harus benar-benar padat (dasar berbatu / sirtu, semen atau plastik HDPE).
- Bila terlalu pekat, maka dapat menyebabkan kematian bertahap karena krisis oksigen (BOD tinggi).
- Untuk itu volume Suspended Solid dari floc harus selalu diukur. Bila telah mencapai batas tertentu, floc harus dikurangi dengan cara konsumsi pakan diturunkan.
Kelebihan Sistim Bioflok
- PH relatif stabil pH 7 – pH 7,8
- PH nya cenderung rendah, sehingga kandungan amoniak (NH3) relatif kecil.
- Tidak tergantung pada sinar matahari dan aktivitasnya akan menurun bila suhu rendah.
- Tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga biosecurity (keamanan) terjaga.
- Limbah tambak (kotoran, algae, sisa pakan, amonia) didaur ulang dan dijadikan makanan alami berprotein tinggi
- Lebih ramah lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar